Mata Kuliah Masa’ilul Fiqhiyyah
PENDAHULUAN
Fiqh dirumuskan sebagai karya intelektual tentang hukum dengan basis
teks-teks keagamaan terutama Al-Qur’an dan Hadits. Rumusan sistematis ini dan
epistimologis tertentu terhadap gugus persoalan manusia baik dalam urusan
personal maupun sosial.
Dalam prosesi pernikahan, aturan normatif yang mendasari konsep metode
dan pelaksanaannya sersah dalam institusi hukum syariat menelurkan butir-butir
keputusan yang titik sentralnya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Sebagaimana karakteristik masalah Fiqhiyyah lainnya. Aturan asasi pernikahan
juga menyimpan banyak polemik. Salah satu prasyarat yang sangat krusial
diperdebatkan adalah Eksistensi Perwalian dalam Nikah. Apakah salah satu elemen
yang menentukan keabsahan prosesi nikah?.
Dengan metode perdekatan yang dipakai oleh para ulama dlaam menganalisa
realitas sosial, sejarah pembentukan dan penerapan syariat memang sangat
dipengaruhi kondisi daerah di mana syariat tersebut dirumuskan.
A. NIKAH
Arti nikah menurut istilah ilmu fiqh ialah akad antara
seseorang calon suami dengan seorang
wali nikah yang menjamin halalnya bersetubuh antara suami dan sitrinya dengan
kalimat nikah / kawin.[1]
Dalam pengertian yang transparan, nikah didefinisikan
sebagai suatu ikatan perjanjian yang secara lebih khusus legalitasnya dibentuk
oleh Syari’ (Allah dan Rosul) dengan tujuan supaya mempelai lelaki mendapatkan
hak kepemilikan terhadap mempelai wanita dalam istimta’. Sedangkan dipihak
wanita mendapatkan izin resesi (halal) baginya istimta’ dengan si lelaki.[2]
B. WALI NIKAH
Wali / perwalian dalam pernikahan adalah suatu
kekuasaan atau wewenang syar’I atas segolongan manusian yang dilimpahkan kepada
orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu
demi kemaslahatannya sendiri. Pembahasan mengenai hal ini meliputi berbagai
masalah dan persoalan yang mendapat banyak reaksi dari fuqoha’ dan melahirkan
banyak kesimpulan yang berfariatif.
C. EKSISTENSI WALI DALAM
NIKAH
Sebagaimana karakteristik masalah Fiqhiyah lainnya
aturan asasi pernikahan juga menyimpan banyak polemik. Salah satu prasyarat
yang sangat krusial diperdebatkan adalah eksistensi perwalian dalam nikah
Sekian banyak pendapat ulama’ tentang eksistensi
perwalian dalam pernikahan dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk hasil
ijtihad ulama’, yaitu:
- Versi pertama:
“Termasuk syarat prioritas akad nikah.” Pendapat ini
didukung oleh Imam Malik dalam riwayat As Shoh serta Imam Syafi’i.
- Versi kedua:
“Bukan termasuk syarat keabsahan pernikahan dilakukan
antara sekufu (sepadan dalam tinjauan syara’)” pendapat ini didukung oleh Imam
Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya’bi dan Al-Zuhri.
- Versi ketiga:
“Tafshil (perincian), termasuk syarat akad nikah bila
mempelai wanita masih virgin (gadis) dan bukan termasuk syarat nikah bila
mempelai wanita sudah janda”. Pendapat ini didukung oleh Abu Dawud A-Dhoriry.
D. FAKTOR KHILAFIYAH
Tidak diketemukannya dua sumber dalil primer Al-Qur’an
dan Hadits yang dalam tampilan teksnya menampakkan (dzohir) ketentuan hadirnya
wali dalam prosesi akad nikah, lebih-lebih tampilan yang menjelaskan secara
transparan (nash). Bahkan sumber-sumber dalil yang bisa digunakan refernsi oleh
pendukung semuanya dalam kapasitas tak pasti (muhtamil) sebaliknya landasan
ayat dan hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh versi yang tidak setuju wali
sebagai syarat akad nikah dalam kapasitas ayng bersifat tidak pasti. Sehingga
semua denotasi referensi ayat maupun hadits tersebut selai kandungan teksnya
tidak pasti juga keotentikannya (keshohihannya) masih diperdebatkan.
Hujjah dari versi yang setuju hadirnya wali sebagai
prasyarat nikah (versi pertama), Firman Allah SWT yang Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa idahnya.
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang
ma’ruf” (Q.S. Al-Baqoroh : 232)
Konteks ayat ini merupakan seruan dengan ditujukan
pada wali pengantin perempuan dalam kapasitas sebagai pihak yang punya hak atau
wewenang menikahkan. Persepsi ini dapat dianalisir dengan ada apa di balik
larangan tersebut kecuali sang mukhatab (orang yang mendapat seruan) punya
kemampuan menghalang-halangi yang dalam hal ini yang tepat adalah wali
perempuan, sebab jika perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri tentu
keberadaan wali tidak akan mampu menghalang-halangi. Hadits yang Artinya: Rasulullah saw bersabda: siapa perempuan
yang menikah tanpa izin dari wali, maka nikahnya batil, batil, batil. Apabila
ia menjima’nya maka waib mahar baginya sebab apa yang tertimpa padanya. Apabila
mereka (para wali) menolak (menikahkan) paka sulthan sebagai wali seseorang yang
tidak ada walinya. (H.R. Tirmidzi)
Hujjah versi yang tidak setuju hadirnya wali dalam
prosesi nikah sebagai prasyarat nikah (versi kedua). Firman Allah SWT yang Artinya:
“Kemudian apabila telah habis masa
idahnya maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S.
Al-Baqoroh : 234)
Dari referensi hadits ini versi Abu Dawud Al-Dzohiri
(versi ketiga) dengan analisa fundamentalitas (harfiyah) memilih persyaratan
wali hanya pada pernikahan anak yang masih gadis. Tidak pada janda.
E. NIKAH TANPA WALI
Imam Syafi’I, Maliki dan Hambali berpendapat jika
wanita baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya
ada pada wali. Akantetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya. Wali
tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya
wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Akad yang
diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad
itu sendiri memerlukan persetujuannya.
Sedangkan Imam Hanafi menyatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh
memilih sendiri suaminya, dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia
perawan ataupun janda. Tidak ada seorangpun yang mempunyai wewenang atas dirinya
tau menantang pilihannya, dengan syarat yang dipilihnya itu sekufu (sepadan)
dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil.
F. NIKAH TANPA WALI KAJIAN
PSIKOLOGIS
Dengan memahami kembali definisi serta tujuan nikah,
maka konsekuensi langsung dari akad nikah bila dihubungkan dengan laki-laki
dapat memberikan hak kepemilikan yang secara khusus pada wanita yang
dinikahinya. Dimana tidak halal laki-laki lain selain dirinya. Ketentuan ini
menyikapi kosongnya paradigma hukum yang merestui sistem poliandri. Sedangkan
konsekuensinya bila dihubungkan dengan pihak perempuan ialah memperbolehkan
istimta’ tetapi tidak seperti hak milik yang secara khusus pada laki-laki.
Sebab laki-laki punya hak poligami.[3]
Dinamika perjalanan hidup manusia dengan karakteristik
dan kondisi psikologis yang cenderung penuh dengan rasa ingin tahu membuat
motivasi yang begitu membara sehingga potensi konflikpun menjadi problem yang
terelakkan ketika keinginan mendapat reaksi tidak setuju dari pihak orang tua.
Ayah dalam kapasitasnya sebagai wali bagi putrinya
bertanggung jawab menjaga dan memelihara masa depan anak, kebahagiaan,
kemapanan bagi kelangsungan hidupnya merupakan point penting yang harus dijaga
dengan tetap memelihara aspek-aspek normatif untuk menciptakan kesejahteraan
hidup yang bermartabat.
Dengan memposisikan konsep perwalian sebagai dinamika
perkembangan hidup yang sangat urgen dan diperlukan peranannya untuk ikut
mengatur atau bahkan menentukan pernikahan seorang wanita, misi yang terkandung
dalam interfensi wali adalah menjaga dan mengantisipasi kehormatan, martabat,
dan kedudukan perempuan agar tidak terlanjur terpikat atau salah memilih jodoh
yang tidak sepadan (sekufu) mengingat perempuan memiliki dorongan biologis yang
lebih kuat, maka perlu ada manajemen yang secara sistematis sebagai kontrol.
Dari berbagai literatur bacaan, dapat disimpulkan
bahwa salah satu dari tujuan perkawinan ialah untuk membentuk rumah tangga
bahagia dengan penuh rasa kasih sayang, cinta mencintai yang mesra serta abadi,
disertai dengan kerukunan dengan semua anggota keluarga, terutama dengan orang
tua kedua belah pihak kalau masih hidup, kerukunan dengan tetangga dan handai
taulan.[4]
Mengingat kaum wanita sudah biasa menjadi sorotan kaum
pria, jiwanya mudah tersinggung dan syahwat / keinginannya lebih kuat atau
lebih banyak dari kaum pria, mudah dirayu dengan perkataan lemah lembut dan
menarik hatinya, dan kaum wanita mudah tertarik dan mudah meniru keadaan yang dianggapnya aneh yang
berada pada temannya, maka ketika eksistensi perwalian tidak lagi dianggap
sebagai prasyarat nikah dalam artian wanita dianggap syah menikahkan dirinya
sendiri, maka tidak ada lagi penghargaan terhadap orang tua yang notabene
berkeinginan menjaga dan memelihara masa depan anak hingga ia menikah.
Fenomena “kebebasan” pergaulan bukan tidak mungkin
membawa dampak negatif yang cukup besar terhadap jiwa ketika perempuan
mendapatkan legalitas menikahkan diri tanpa wali. Hal ini tentu sangat
bersebrangan dengan tujuan nikah itu sendiri. Wallahu a’lam.
KESIMPULAN
Meski ada riwayat hadits Aisyah ra yang eksistensinya masih diperdebatkan
sebagai dalil-dalil yang sohih, kalaupun sohih namun ketentuan yang terkandung
dalam hadits hanya berupa syarat idzin wali, bila dikalkulasikan ketentuan itu
bersifat umum, maka tidak ada larangan wanita akad sendiri, karena aturan yang
disebutkan hanya soal persetujuan wali bukan hadirnya wali dalam prosesi
pernikahan.
Misi yang terkandung dalam interfensi wali menjaga dan mengantisipasi
kehormatan, martabat dan kedudukan perempuan, agar tidak salah memilih jodoh
mengingat perempuan memiliki dorongan biologis dan emosi yang lebih kuat, seta
jiwa yang labil maka tentu maka tentu sangat diperlukan manajemen yang sistematis sebagai kontrol,
dalam hal ini wali sangat berperan penting.
“Menjaga konsep lama yang maslahat dan
mengadopsi konsep baru yang lebih maslahat”.
DAFTAR PUSTAKA
-
Jawad Mughniyah, Muhammad 2006.
Fiqh Lima Madzhab. Jakarta :
Penerbit Lentera.
-
Team FKI 2003,2003 Esensi
Pemikiran Mujtahid Ponpes Lirboyo Kediri Jawa Timur; Forum Kajian Ilmiah Purna
Siswa 2003, Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Pospes Kediri Jawa Timur.
-
Chafidh Afnan Muhammad dan A.
Ma’ruf Asrari, 2007, Tansisi Silam, Surabaya
: Khalista.
-
Anwar, Moch,H. Fiqih Islam.Sahabat
Penuntun Umat
bagus bro artikelnya, mantap penjelasannya
ReplyDeleteSouvenir Murah Kediri