Breaking

LightBlog

Saturday, March 9, 2013

NIKAH TANPA WALI KAJIAN PSIKOLOGIS

Mata Kuliah Masa’ilul Fiqhiyyah

PENDAHULUAN
Fiqh dirumuskan sebagai karya intelektual tentang hukum dengan basis teks-teks keagamaan terutama Al-Qur’an dan Hadits. Rumusan sistematis ini dan epistimologis tertentu terhadap gugus persoalan manusia baik dalam urusan personal maupun sosial.
Dalam prosesi pernikahan, aturan normatif yang mendasari konsep metode dan pelaksanaannya sersah dalam institusi hukum syariat menelurkan butir-butir keputusan yang titik sentralnya bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Sebagaimana karakteristik masalah Fiqhiyyah lainnya. Aturan asasi pernikahan juga menyimpan banyak polemik. Salah satu prasyarat yang sangat krusial diperdebatkan adalah Eksistensi Perwalian dalam Nikah. Apakah salah satu elemen yang menentukan keabsahan prosesi nikah?.
Dengan metode perdekatan yang dipakai oleh para ulama dlaam menganalisa realitas sosial, sejarah pembentukan dan penerapan syariat memang sangat dipengaruhi kondisi daerah di mana syariat tersebut dirumuskan.

A.    NIKAH
Arti nikah menurut istilah ilmu fiqh ialah akad antara seseorang  calon suami dengan seorang wali nikah yang menjamin halalnya bersetubuh antara suami dan sitrinya dengan kalimat nikah / kawin.[1]
Dalam pengertian yang transparan, nikah didefinisikan sebagai suatu ikatan perjanjian yang secara lebih khusus legalitasnya dibentuk oleh Syari’ (Allah dan Rosul) dengan tujuan supaya mempelai lelaki mendapatkan hak kepemilikan terhadap mempelai wanita dalam istimta’. Sedangkan dipihak wanita mendapatkan izin resesi (halal) baginya istimta’ dengan si lelaki.[2]

B.     WALI NIKAH
Wali / perwalian dalam pernikahan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’I atas segolongan manusian yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatannya sendiri. Pembahasan mengenai hal ini meliputi berbagai masalah dan persoalan yang mendapat banyak reaksi dari fuqoha’ dan melahirkan banyak kesimpulan yang berfariatif.

C.    EKSISTENSI WALI DALAM NIKAH
Sebagaimana karakteristik masalah Fiqhiyah lainnya aturan asasi pernikahan juga menyimpan banyak polemik. Salah satu prasyarat yang sangat krusial diperdebatkan adalah eksistensi perwalian dalam nikah
Sekian banyak pendapat ulama’ tentang eksistensi perwalian dalam pernikahan dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk hasil ijtihad ulama’, yaitu:
  1. Versi pertama:
“Termasuk syarat prioritas akad nikah.” Pendapat ini didukung oleh Imam Malik dalam riwayat As Shoh serta Imam Syafi’i.
  1. Versi kedua:
“Bukan termasuk syarat keabsahan pernikahan dilakukan antara sekufu (sepadan dalam tinjauan syara’)” pendapat ini didukung oleh Imam Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya’bi dan Al-Zuhri.
  1. Versi ketiga:
“Tafshil (perincian), termasuk syarat akad nikah bila mempelai wanita masih virgin (gadis) dan bukan termasuk syarat nikah bila mempelai wanita sudah janda”. Pendapat ini didukung oleh Abu Dawud A-Dhoriry.

D.    FAKTOR KHILAFIYAH
Tidak diketemukannya dua sumber dalil primer Al-Qur’an dan Hadits yang dalam tampilan teksnya menampakkan (dzohir) ketentuan hadirnya wali dalam prosesi akad nikah, lebih-lebih tampilan yang menjelaskan secara transparan (nash). Bahkan sumber-sumber dalil yang bisa digunakan refernsi oleh pendukung semuanya dalam kapasitas tak pasti (muhtamil) sebaliknya landasan ayat dan hadits yang dipakai sebagai hujjah oleh versi yang tidak setuju wali sebagai syarat akad nikah dalam kapasitas ayng bersifat tidak pasti. Sehingga semua denotasi referensi ayat maupun hadits tersebut selai kandungan teksnya tidak pasti juga keotentikannya (keshohihannya) masih diperdebatkan.
Hujjah dari versi yang setuju hadirnya wali sebagai prasyarat nikah (versi pertama), Firman Allah SWT yang Artinya: “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa idahnya. Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf” (Q.S. Al-Baqoroh : 232)
Konteks ayat ini merupakan seruan dengan ditujukan pada wali pengantin perempuan dalam kapasitas sebagai pihak yang punya hak atau wewenang menikahkan. Persepsi ini dapat dianalisir dengan ada apa di balik larangan tersebut kecuali sang mukhatab (orang yang mendapat seruan) punya kemampuan menghalang-halangi yang dalam hal ini yang tepat adalah wali perempuan, sebab jika perempuan bisa menikahkan dirinya sendiri tentu keberadaan wali tidak akan mampu menghalang-halangi. Hadits yang Artinya: Rasulullah saw bersabda: siapa perempuan yang menikah tanpa izin dari wali, maka nikahnya batil, batil, batil. Apabila ia menjima’nya maka waib mahar baginya sebab apa yang tertimpa padanya. Apabila mereka (para wali) menolak (menikahkan) paka sulthan sebagai wali seseorang yang tidak ada walinya. (H.R. Tirmidzi)

Hujjah versi yang tidak setuju hadirnya wali dalam prosesi nikah sebagai prasyarat nikah (versi kedua). Firman Allah SWT yang Artinya: “Kemudian apabila telah habis masa idahnya maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Q.S. Al-Baqoroh : 234)
Dari referensi hadits ini versi Abu Dawud Al-Dzohiri (versi ketiga) dengan analisa fundamentalitas (harfiyah) memilih persyaratan wali hanya pada pernikahan anak yang masih gadis. Tidak pada janda.

E.     NIKAH TANPA WALI
Imam Syafi’I, Maliki dan Hambali berpendapat jika wanita baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali. Akantetapi jika ia janda maka hak itu ada pada keduanya. Wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itupun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu sang wali. Akad yang diucapkan hanya oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuannya.
Sedangkan Imam Hanafi menyatakan bahwa wanita  yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya, dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan ataupun janda. Tidak ada seorangpun yang mempunyai wewenang atas dirinya tau menantang pilihannya, dengan syarat yang dipilihnya itu sekufu (sepadan) dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil.

F.     NIKAH TANPA WALI KAJIAN PSIKOLOGIS
Dengan memahami kembali definisi serta tujuan nikah, maka konsekuensi langsung dari akad nikah bila dihubungkan dengan laki-laki dapat memberikan hak kepemilikan yang secara khusus pada wanita yang dinikahinya. Dimana tidak halal laki-laki lain selain dirinya. Ketentuan ini menyikapi kosongnya paradigma hukum yang merestui sistem poliandri. Sedangkan konsekuensinya bila dihubungkan dengan pihak perempuan ialah memperbolehkan istimta’ tetapi tidak seperti hak milik yang secara khusus pada laki-laki. Sebab laki-laki punya hak poligami.[3]
Dinamika perjalanan hidup manusia dengan karakteristik dan kondisi psikologis yang cenderung penuh dengan rasa ingin tahu membuat motivasi yang begitu membara sehingga potensi konflikpun menjadi problem yang terelakkan ketika keinginan mendapat reaksi tidak setuju dari pihak orang tua.
Ayah dalam kapasitasnya sebagai wali bagi putrinya bertanggung jawab menjaga dan memelihara masa depan anak, kebahagiaan, kemapanan bagi kelangsungan hidupnya merupakan point penting yang harus dijaga dengan tetap memelihara aspek-aspek normatif untuk menciptakan kesejahteraan hidup yang bermartabat.
Dengan memposisikan konsep perwalian sebagai dinamika perkembangan hidup yang sangat urgen dan diperlukan peranannya untuk ikut mengatur atau bahkan menentukan pernikahan seorang wanita, misi yang terkandung dalam interfensi wali adalah menjaga dan mengantisipasi kehormatan, martabat, dan kedudukan perempuan agar tidak terlanjur terpikat atau salah memilih jodoh yang tidak sepadan (sekufu) mengingat perempuan memiliki dorongan biologis yang lebih kuat, maka perlu ada manajemen yang secara sistematis sebagai kontrol.
Dari berbagai literatur bacaan, dapat disimpulkan bahwa salah satu dari tujuan perkawinan ialah untuk membentuk rumah tangga bahagia dengan penuh rasa kasih sayang, cinta mencintai yang mesra serta abadi, disertai dengan kerukunan dengan semua anggota keluarga, terutama dengan orang tua kedua belah pihak kalau masih hidup, kerukunan dengan tetangga dan handai taulan.[4]
Mengingat kaum wanita sudah biasa menjadi sorotan kaum pria, jiwanya mudah tersinggung dan syahwat / keinginannya lebih kuat atau lebih banyak dari kaum pria, mudah dirayu dengan perkataan lemah lembut dan menarik hatinya, dan kaum wanita mudah tertarik dan mudah  meniru keadaan yang dianggapnya aneh yang berada pada temannya, maka ketika eksistensi perwalian tidak lagi dianggap sebagai prasyarat nikah dalam artian wanita dianggap syah menikahkan dirinya sendiri, maka tidak ada lagi penghargaan terhadap orang tua yang notabene berkeinginan menjaga dan memelihara masa depan anak hingga ia menikah.
Fenomena “kebebasan” pergaulan bukan tidak mungkin membawa dampak negatif yang cukup besar terhadap jiwa ketika perempuan mendapatkan legalitas menikahkan diri tanpa wali. Hal ini tentu sangat bersebrangan dengan tujuan nikah itu sendiri. Wallahu a’lam.

KESIMPULAN
Meski ada riwayat hadits Aisyah ra yang eksistensinya masih diperdebatkan sebagai dalil-dalil yang sohih, kalaupun sohih namun ketentuan yang terkandung dalam hadits hanya berupa syarat idzin wali, bila dikalkulasikan ketentuan itu bersifat umum, maka tidak ada larangan wanita akad sendiri, karena aturan yang disebutkan hanya soal persetujuan wali bukan hadirnya wali dalam prosesi pernikahan.
Misi yang terkandung dalam interfensi wali menjaga dan mengantisipasi kehormatan, martabat dan kedudukan perempuan, agar tidak salah memilih jodoh mengingat perempuan memiliki dorongan biologis dan emosi yang lebih kuat, seta jiwa yang labil maka tentu maka tentu sangat diperlukan   manajemen yang sistematis sebagai kontrol, dalam hal ini wali sangat berperan penting.

“Menjaga konsep lama yang maslahat dan mengadopsi konsep baru yang lebih maslahat”.

DAFTAR PUSTAKA
-          Jawad Mughniyah, Muhammad 2006. Fiqh Lima Madzhab. Jakarta: Penerbit Lentera.
-          Team FKI 2003,2003 Esensi Pemikiran Mujtahid Ponpes Lirboyo Kediri Jawa Timur; Forum Kajian Ilmiah Purna Siswa 2003, Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Pospes Kediri Jawa Timur.
-          Chafidh Afnan Muhammad dan A. Ma’ruf Asrari, 2007, Tansisi Silam, Surabaya : Khalista.
-          Anwar, Moch,H. Fiqih Islam.Sahabat Penuntun Umat



[1]  La’natutholibin, hal. 253. juz 111
[2]  Esensi pemikiran Mujtahid
[3]  Abi Al-Hasan Ali Ibn Muhammad Habib Al Mawardi, Hawi Al-Kabir, Beirut: Dar’at Fikri, XI / 03-05.
[4]  Fiqh Islam, H. Moch Anwar

1 comment:

Adbox