LightBlog

Thursday, January 24, 2013

ALIRAN POSTMODERNISME


Mata Kuliah Filsafat Umum


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
“Postmodernisme”adalah istilah yang sangat kontroversial,yaitu dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung.”Postmodernisme”memang  merupakan istilah yang sangat longgar pengetiannya alias ambigu juga.Meskipun sedemikian beragamnya aliran pemikiran yang termasuk dalam istilah “posmodenisme”,kirannya kita masih bisa mengidentifikasi bahkan mengelompokkannya.Nilai yang kirannya penting dari Postmodernisme antara lain adalah bahwa dalam postmodernisme ini gagasan-gagasan dasar seperti “filsafat”, “rasionalitas”, dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara sangat radikal.

BAB II
PEMBAHASAN

Pada bab pertama sudah dijelaskan tentang pandangan global atas postmodernisme beserta kaitannya dengan persoalan-persoalan utama produk modernisme.Kemudian pada bab dua ini akan djelasan tentang persoalan pokok postmodern yang khususnya dihadapi oleh bidang filsafat .Dalam hal ini persoalan akan diringkas menjadi tiga pokok,yaitu:isu tentang “berakhirnya filsafat”;”rasionalisme dan  pluralisme”;dan “tumbangnya epistimologi”.
2.1 Berarkhirnya Filsafat
Isu tentang brakhirnya filsafat  berkaitan erat dengan populernya istilah dekonstruksi .Suatu hal yang khas dalam pembacaan dekonstruktif atas teks-teks filosofis adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya bukanlah bukanlah inkonsistensi logisnya,argumen-argumen lemahnya aaupun premis-premisnya yang tidak meyainkan,melainkan unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan,atau unsur yang menjadikan sebuah teks itu filosofis.[1]
Dalam konteks itu,filsafat dilihat pertama-tama sebagai  tulisan.Maksudnya adalah bahwa sebagai tulisan maka filsafat itu tak pernah merupakan ungkapan transparan pemikiran secara langsung.Sebagai tulisan,filsafat lalu juga selalu bersifat tekstual.Maksudnya,satuan makna primernya bukanlah kata atau kalimat,melainkan kumpulan kalimat-kalimat,sebuah teks,yang pada gilirannya ditentukan pula maknanya oleh keterkaitannya dengan teks-teks lain.
Konseuensi teoritis dari kenyataan itu adalah bahwa kemampuan filsafat untuk membuat klaim-klaim yang melampaui partikuralitas bahasa tekstual tadi diragukan.Artinya segala klaim yang dibuat filsafat itu sebetulnya sangat tergantung pada sistem makna yang dmumgkinkan oleh penggunaan sistem tanda secara tertentu.Konkretnya,misalnya gagasan-gagasan yang dilawankan antara natur dan kultur,fakta dan nilai,ideal dan material,dsb.
Akar pesoalan mengapa filsafat  sulit untuk sungguh-sungguh bersifat argumentatif sebetulnya kembali ke permasalahan ambisinya untuk menggarap proyek “transendental”,yaitu impiannya untuk menemukan “syarat-syarat terdasar”.Ambisi inilah yang menyebabkan selalu terperangkap dalam paradoks dirinya sendiri.
Jadi,persoalan umum yang dihadapi para filsuf adalah bahwa mereka selalu saja cenderung mengatakan bahwa “Syarat-syarat dasar untuk membuat pernyataan yang bermakna adalah...”,meskipun pernyataan itu sendiri tidak memenuhi syarat yang ditentukannya itu.
2.2 Rasionalitas dan Pluralisme
Rasionalitas kini cenderung dianggap amat terkait pada perkara bahasa.Sedangkan bahasa itu kini juga dilihat sebagai amat beragam,sangat ditentukan oleh berbagai bentuk kehidupan yang mendasarinya.Maka rasionalitas kini cenderung dilihat tidak bisa lagibersifat mutlak dan universal,melainkan bersifat sementara dan konvensional saja.Jadi perkara argumen,validitas dan klaim-klaim tentang kebenaran hanya bisa dianggap berkarakter “lokal” saja.Peran keunikan sejarah dan budaya dalam penentuan konsep tentang apa yang “rasional”dianggap sangat besar.[2]
Secara umum kini pluralitas permainan-bahasa dan bentuk kehidupan dianggap sebagai landasan titik yang sama,nyatanya tidaklah semua sepakat bahwa kenyataan pluralistik adalah titik akhir yang tak terjrmbatani dan tiap permainan bahasa merupakan  sisitem tertutup yang tak pernah bisa diukur.
Seperti telah kita lihat,bagi Lyotard,sementara modernisme adalah tendensi untuk melegetimasikan tiap bentuk pengetahuan melalui semacam “meta-wacana”atau “narasi-besar” seperti “Kemajuan, ”Kebesaran akal”, ”Emansipasi” ’dst. Postmodernisme sebaliknya adalah ketidakpercayaan atas segala bentuk cerita besar itu.
Demikian dalam tafsiran Lyotard atas Wittgenstein bahasa memang bukan suatu gejala tunggal, melainkan merupakan gejala yang sejarah maupun karakter dasarnya bersifat lokal dan spesifik.Ineraksi antara permainan-bahasa itu lantas memang ditandai kecenderungan untuk salinh menaklukkan.Berbicara berarti “berkelahi” atau “berjuang” dalam pergulatan agonistik lalulintas permainan-bahasa.Maka lebih jauh Lyotard mengusulkan semacam strategi “mikropolitik” post-Marxist,yang dianggapnya demokratis secara lebih radikal,yaitu strategi mengaktifkan paralogy.Maksudnya ialah gerakan menggerogoti permainan-bahasa yang telah mapan dan dominan dengan cara mengaktifkan perbedaan-perbedaan,serta mengadakan inovasi dan eksperimentasi terus menerus.
2.3 Tumbangnya Epistimologi
Kritik atas rasionalisme dan keterukuran (commensurability)yang telah kita diskusikan pada gilirannya mengandaikan suatu perubahan mendasar dibidang Epistemologi,artinya dalam hal cara kita memahami hakikat Pengetahuan.Dan perkara Epistemologi ini akhirnya adalah perkara posisi subjek dalam hubungannya dengan dunia. Kemudian anggapan-anggapan dasar tentang hubungan antara subjek dan dunia itu akan membawa konsekuensi tertentu bagi konsep tentang kebenaran juga.
Epistemologi itu sendiri diyakini sebagai tidak tergantung pada ilmu-ilmu empiris. Argumen tentang dasar kesahihan pengetahuan dianggap tidak mungkin bersifat empiris. Mereka juga tidak berargumentasi menyerang epistemologi habis-habisan. Mereka akhirnya hanya melirik pada kemunginan lain, yaitu ke suatu situasi kehidupan intelektual dimana kosakata refleksi filosofis abad ketujuh belas telah menjadi tak lagi berguna dan tidak membawa kita kemanapn. Meskipun demikian, masih ada sisi lain dari tradisi epistemologi di samping fondasionalismenya yaitu penafsirannya tentang pemahaman pengetahuan.[3]




BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Postmodernisme adalah istilah yang sangat kontroversal. Di satu pihak istilah ini kerap digunakan dengan cara sinis dan berolok-olok, baik di bidang seni maupun filsafat, yaitu dianggap sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka  atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung.
Postmodernisme memang merupakan istilah yang sangat longgar pengertiannya alias sangat ambigu juga. Ia digunakan untuk  ‘’memayungi’’ segala aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali tidak persis saling berkaitan. Kiranya kita masih dapat mengidentifikasikannya, misalnya, ke dalam kelompok ‘’dekonstruktif’’ dan yang lain kelompok yang cenderung ‘’konstruktif’’ atau revisioner.
Nilai yang kiranya penting dari postmodernisme antara lain adalah bahwa dalam postmodernisme ini gagasan-gagasan dasar seperti ’’filsafat’’, ‘’rasionalitas’’ dan ‘’epistemologi’’ dipertanyakan kembali secara sangat radikal. Inti permasalahan yang dihadapi oleh filsafat dalam situasi postmodern terletak pada persoalan bahasa. Dan lebih lanjut, akan digunakan sebagai paradigma untuk mencari jalan keluar dari kemelut postmodern itu.                                               



DAFTAR PUSTAKA

Sugiharto Bambang, postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2006
Muzairi, Filsafat umum, Yogyakarta: Teras, 2009
Abidin Zainal, Filsafat manusia, Bandung: remaja Rosdakarya, 2000                                                          


[1] Lihat Heidegger, The Basic Problem of Phenomenology, hlm. 23
[2] Rorty, ‘’Cosmopolitanism Without Emancipation: A Response to Jean-Francois Lyotard’’, dalam Objectivity, Relativism and Truth, hlm.212-215
[3] Lihat Rorty, Philosophy and the Mirror of Nature, hlm. 132

No comments:

Post a Comment

Adbox