Mata Kuliah Filsafat Umum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
“Postmodernisme”adalah
istilah yang sangat kontroversial,yaitu dianggap sebagai sekedar mode
intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat
reaksioner belaka atas perubahan-perubahan sosial yang kini sedang
berlangsung.”Postmodernisme”memang
merupakan istilah yang sangat longgar pengetiannya alias ambigu juga.Meskipun
sedemikian beragamnya aliran pemikiran yang termasuk dalam istilah
“posmodenisme”,kirannya kita masih bisa mengidentifikasi bahkan
mengelompokkannya.Nilai yang kirannya penting dari Postmodernisme antara lain
adalah bahwa dalam postmodernisme ini gagasan-gagasan dasar seperti “filsafat”,
“rasionalitas”, dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara sangat radikal.
BAB II
PEMBAHASAN
Pada bab pertama sudah dijelaskan
tentang pandangan global atas postmodernisme beserta kaitannya dengan
persoalan-persoalan utama produk modernisme.Kemudian pada bab dua ini akan
djelasan tentang persoalan pokok postmodern yang khususnya dihadapi oleh bidang
filsafat .Dalam hal ini persoalan akan diringkas menjadi tiga pokok,yaitu:isu
tentang “berakhirnya filsafat”;”rasionalisme dan pluralisme”;dan “tumbangnya epistimologi”.
2.1 Berarkhirnya Filsafat
Isu
tentang brakhirnya filsafat berkaitan
erat dengan populernya istilah dekonstruksi
.Suatu hal yang khas dalam pembacaan dekonstruktif atas teks-teks filosofis
adalah bahwa unsur-unsur yang dilacaknya bukanlah bukanlah inkonsistensi
logisnya,argumen-argumen lemahnya aaupun premis-premisnya yang tidak meyainkan,melainkan
unsur yang secara filosofis sangatlah menentukan,atau unsur yang menjadikan
sebuah teks itu filosofis.[1]
Dalam
konteks itu,filsafat dilihat pertama-tama sebagai tulisan.Maksudnya
adalah bahwa sebagai tulisan maka filsafat itu tak pernah merupakan ungkapan
transparan pemikiran secara langsung.Sebagai tulisan,filsafat lalu juga selalu
bersifat tekstual.Maksudnya,satuan makna primernya bukanlah kata atau
kalimat,melainkan kumpulan kalimat-kalimat,sebuah teks,yang pada gilirannya
ditentukan pula maknanya oleh keterkaitannya dengan teks-teks lain.
Konseuensi
teoritis dari kenyataan itu adalah bahwa kemampuan filsafat untuk membuat
klaim-klaim yang melampaui partikuralitas bahasa tekstual tadi
diragukan.Artinya segala klaim yang dibuat filsafat itu sebetulnya sangat
tergantung pada sistem makna yang dmumgkinkan oleh penggunaan sistem tanda
secara tertentu.Konkretnya,misalnya gagasan-gagasan yang dilawankan antara
natur dan kultur,fakta dan nilai,ideal dan material,dsb.
Akar
pesoalan mengapa filsafat sulit untuk
sungguh-sungguh bersifat argumentatif sebetulnya kembali ke permasalahan
ambisinya untuk menggarap proyek “transendental”,yaitu impiannya untuk
menemukan “syarat-syarat terdasar”.Ambisi inilah yang menyebabkan selalu
terperangkap dalam paradoks dirinya sendiri.
Jadi,persoalan
umum yang dihadapi para filsuf adalah bahwa mereka selalu saja cenderung
mengatakan bahwa “Syarat-syarat dasar untuk membuat pernyataan yang bermakna
adalah...”,meskipun pernyataan itu sendiri tidak memenuhi syarat yang
ditentukannya itu.
2.2 Rasionalitas dan
Pluralisme
Rasionalitas
kini cenderung dianggap amat terkait pada perkara bahasa.Sedangkan bahasa itu
kini juga dilihat sebagai amat beragam,sangat ditentukan oleh berbagai bentuk
kehidupan yang mendasarinya.Maka rasionalitas kini cenderung dilihat tidak bisa
lagibersifat mutlak dan universal,melainkan bersifat sementara dan konvensional
saja.Jadi perkara argumen,validitas dan klaim-klaim tentang kebenaran hanya
bisa dianggap berkarakter “lokal” saja.Peran keunikan sejarah dan budaya dalam
penentuan konsep tentang apa yang “rasional”dianggap sangat besar.[2]
Secara
umum kini pluralitas permainan-bahasa dan bentuk kehidupan dianggap sebagai
landasan titik yang sama,nyatanya tidaklah semua sepakat bahwa kenyataan
pluralistik adalah titik akhir yang tak terjrmbatani dan tiap permainan bahasa
merupakan sisitem tertutup yang tak pernah
bisa diukur.
Seperti
telah kita lihat,bagi Lyotard,sementara modernisme adalah tendensi untuk
melegetimasikan tiap bentuk pengetahuan melalui semacam “meta-wacana”atau
“narasi-besar” seperti “Kemajuan”, ”Kebesaran
akal”, ”Emansipasi” ’dst.
Postmodernisme sebaliknya adalah ketidakpercayaan atas segala bentuk cerita
besar itu.
Demikian dalam tafsiran Lyotard atas
Wittgenstein bahasa memang bukan suatu gejala tunggal, melainkan merupakan
gejala yang sejarah maupun karakter dasarnya bersifat lokal dan
spesifik.Ineraksi antara permainan-bahasa itu lantas memang ditandai
kecenderungan untuk salinh menaklukkan.Berbicara berarti “berkelahi” atau
“berjuang” dalam pergulatan agonistik lalulintas permainan-bahasa.Maka lebih
jauh Lyotard mengusulkan semacam strategi “mikropolitik” post-Marxist,yang dianggapnya
demokratis secara lebih radikal,yaitu strategi mengaktifkan paralogy.Maksudnya ialah gerakan
menggerogoti permainan-bahasa yang telah mapan dan dominan dengan cara
mengaktifkan perbedaan-perbedaan,serta mengadakan inovasi dan eksperimentasi
terus menerus.
2.3
Tumbangnya Epistimologi
Kritik atas rasionalisme dan keterukuran (commensurability)yang telah kita
diskusikan pada gilirannya mengandaikan suatu perubahan mendasar dibidang
Epistemologi,artinya dalam hal cara kita memahami hakikat Pengetahuan.Dan
perkara Epistemologi ini akhirnya adalah perkara posisi subjek dalam
hubungannya dengan dunia. Kemudian
anggapan-anggapan dasar tentang hubungan antara subjek dan dunia itu akan
membawa konsekuensi tertentu bagi konsep tentang kebenaran juga.
Epistemologi
itu sendiri diyakini sebagai tidak tergantung pada ilmu-ilmu empiris. Argumen
tentang dasar kesahihan pengetahuan dianggap tidak mungkin bersifat empiris.
Mereka juga tidak berargumentasi menyerang epistemologi habis-habisan. Mereka
akhirnya hanya melirik pada kemunginan lain, yaitu ke suatu situasi kehidupan
intelektual dimana kosakata refleksi filosofis abad ketujuh belas telah menjadi
tak lagi berguna dan tidak membawa kita kemanapn. Meskipun demikian, masih ada
sisi lain dari tradisi epistemologi di samping fondasionalismenya yaitu
penafsirannya tentang pemahaman pengetahuan.[3]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Postmodernisme adalah istilah yang
sangat kontroversal. Di satu pihak istilah ini kerap digunakan dengan cara
sinis dan berolok-olok, baik di bidang seni maupun filsafat, yaitu dianggap
sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi
yang bersifat reaksioner belaka atas
perubahan-perubahan sosial yang kini sedang berlangsung.
Postmodernisme memang merupakan
istilah yang sangat longgar pengertiannya alias sangat ambigu juga. Ia
digunakan untuk ‘’memayungi’’ segala
aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali tidak persis saling berkaitan. Kiranya
kita masih dapat mengidentifikasikannya, misalnya, ke dalam kelompok
‘’dekonstruktif’’ dan yang lain kelompok yang cenderung ‘’konstruktif’’ atau
revisioner.
Nilai yang kiranya penting dari
postmodernisme antara lain adalah bahwa dalam postmodernisme ini
gagasan-gagasan dasar seperti ’’filsafat’’, ‘’rasionalitas’’ dan ‘’epistemologi’’
dipertanyakan kembali secara sangat radikal. Inti permasalahan yang dihadapi
oleh filsafat dalam situasi postmodern terletak pada persoalan bahasa. Dan
lebih lanjut, akan digunakan sebagai paradigma untuk mencari jalan keluar dari
kemelut postmodern itu.
DAFTAR PUSTAKA
Sugiharto
Bambang, postmodernisme, Yogyakarta:
Kanisius, 2006
Muzairi, Filsafat umum, Yogyakarta: Teras, 2009
Abidin Zainal, Filsafat manusia, Bandung: remaja Rosdakarya,
2000
No comments:
Post a Comment