A.
Latar Belakang
Indonesia
adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari
pernyataan ini dapat di lihat dari kondisi sosiokultural maupun geografis yang
begitu beraneka ragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 ribu pulau besar dan kecil. Populasi
penduduknya berjumlah lebih dari 200 juta jiwa. Terdiri dari 300 duku yang
menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga mengenal
agama dan kepercayaan yang beragam seerti Islam, Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan.
Keragaman
ini di akui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan sekarang yang
dihadapi bangsa. Korupsi, kolusi, nepotisme, perseteruan politik, kemiskinan,
kekerasan, sparatisme, peruskana lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan
untuk selalu menghormati hak-hak orang lain, adalah bentuk nyata sebagaian dari
problem multikulturalisme itu. Contoh yang m\lebih konkrit dan selalu menjadi
pengalaman pahit bagai bangsa ini, ialah terjadinya pembunuhan besar-besar
terhadap masa yang ikut Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965, kekerasan
terhadap etnis Cina di Jakarta pada Mei 1998-2003. rangkaian konflik tidak
hanya menrenggut korban yang sangat besar, akan tetapu juga menghancurkan
ribuan harta benda penduduk, 400 gereja dan 30masjid. Perang etnis antara warga
Dayak dan Madura yang terjadi sejak tahun 1931 hingga tahun 2000 telah
menyebabkan kurang lebih 2.000 nyawa manusia melayang sia-sia.[1]
Pertentangan yang terjadi di negeri ini beberapa tahun
terakhir itu mengajarkan betapa pentingnya pendidikan multikultural bagi
masyarakat. Meskipun bangsa ini mengakui keragaman, namun dalam kenyataannya
tidak. Sudah sejak lama sistem pendidikan kita terpenjara dalam pemenuhan
target sebagai akibat dari kapitalisme yang telah menguasai negeri ini sehingga
memunculkan apa yang disebut link and macth. Dengan demikian, pendidikan tidak
lebih dari pabrik raksasa yang menghasilkan tenaga trampil, namun biaya murah.
Pada masa orde baru, pendidikan merupakan bagian dari indoktrinasi untuk
mendukung rezim yang sedang berkuasa. Waktu itu hampir tidak ada ruang untuk
mengungkapkan identitas lokal dalam sistem pendidikan yang ada hanya kebudayaan
nasional. Warna lokal dianggap sesuatu yang sekunder. Padahal lokalisme dalam
pendidikan multikultural merupakan bagian yang paling penting.[2]
Wacana tentang pendidikan multkulturalisme ini
dimaksud untuk merespon fenomena konflik etnis, sosial budaya yang kerap muncul
di tengah-tengah masyarakat multikultural, wajah multikultural di negeri ini
hingga kini ibarat api dalam sekam yang suatu saat bisa memunculkan akibat suhu
politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut
muncul kembali. [3]
Maka menjadi keharusan bagi kita bersama untuk
memikirkan ulaya pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang bertanggung jawab
dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan
dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat, bahwa knflik
itu bukan suatu hal yang baik untuk di budayakan. Dan selayaknya pula,
pendidikan mampu memberikan tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan
mendisain materi, motode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan akan
pentingnya sikap saling toleran menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis,
dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural sudah selayaknya pendidikan
berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan multikultural. Dari
latar belakang masalah tersebut selayaknya kita mengembangkan paradigma baru di
dunia pendidikan, yakni paradigma pendidikan multikultural, paradigma
pendidikan multikultural tersebut pada akhirnya bermuara pada terciptanya sikap
siswa tau peserta didik yang mau memahami, menghormati, menghargai perbedaah
budaya, etnis, agama, dan lainnya yang ada di masyarakat.[4]
Pendidikan
Islam di Indonesia merupakan bagian yang terintegral dari pendidikan nasional. Penataan
dan pengaturan atas pendidikan Islam merupakan hal yang inheren dengan
pendidikan nasional, yang artinya ketika ada wacana baru yang menyangkut
kebijakan pendidikan nasional secara tidak langsung akan berimplikasi pada
pendidikan Islam. Sebagai mana yang telah di singgung atas upaya membangun
pandangan multikultural dimasyarakat dengan melibatkan secara aktif kalangan
pendidikan sebagai ihtiar awal dalam merajut kebersamaan ditengah pluralitas
agama, budaya yang menjad PR besar semua
elemen bangsa. Salah satu faktor utama penyebab terjadinya konflik keagamaan
masyarakat yang masih eksklusif. Pemahamankeberagamaan ini tidak bisa dipandang
sebelah mata, karena peahaman keberagamaan ini akan membentuk pribasi yang anti
pati terhadap pemeluk agama lainnya.
Untuk
mencegah keragaman keberagamaan masyarakat yag eksklusif ini tidak dapat terus
berkembang, maka perlu di ambil beberapa langkah prefentif. Langkah yangperlu
diperhatikan dan dilakukan adalah membangun pemahaman gerakan keberagamaan dan
dilakukan adalah mengubah pemahaman gerakan keberagamaan yang lebih inklusif,
pluralis, multikultural, humanis, dialogis persuasif, kontekstual, substansif,
dan aktif sosial, sangat perlu untuk dikembangkan melalui pendidikan, media
masa dan interaksi sosial .
Nasionalisasi
multikulturalisme meskipun sapai hari ini masih dirasakan sulit oleh beberapa
kalangan akan tetapi bukan suatu yang mustahil untuk kita lakukan. Urugensi
pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam sangatlah ekplisit. Bagaimana
hal-hal yang menyangkut sistem pendidikan dapat secara gradual untuk di
perbaharui, baik dari sisi materi, metode, kurikulum dan hal-hal lain yang
mengitarinya meskipun itu sulit dilakukan.
Islam pada
dasarnya memliki pandangan humanisme yang mendasar sebagai sistem nilai (value
sistem) dalam membangun relasi social, dan memiliki kerangka acuan yang
jelas dalam membangun pranata social kehidupan dimana keadilan dan kemerdekaan
serta perdamaian menjadi ruh dan semangat di setiap simpul peradaban yang
mensejarah yang mengalir dalam realitas kehidupan yang senantiasa berubah. Menghadirkan
Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatal lil alamin), bukan lah
suatu hal yang mudah untuk kita lakukan, akan tetapi bukan hal yang mustahil
untuk diupayakan. Layaknya agama-agama samawi lainnya Islam memiliki sejarahnya
sendiri-sendiri. Sejarah yang mengalir melewati lorong-lorong waktu telah
membentuk karekter agama-agama. Karena agama tidak hadir pada ruang h ampa,
akan tetapi mengakar dengan tradisi dan tata nilai bidaya dimana duatu agama
diturunkan, merupakan konstruksi nilai Ilahiah dan Insaniah, Ifrodiah
dan Ijtimaiah yang dijadikan landasan inspirasional
sekaligus dalam membangun tata kehidupan social.
Dari
penggambaran sejenak kiranya cukup beralasan bagi mana nantinya diharapkan
konflik agama dapat diminimalisir bahkan tereliminir, dengan melakukan injeksi
pemahaman kepada masyarakat betapa pentingnya kebersamaan dalam keanekaragaman,
yakni melalui studi agama dengan pendekatan cultural, terkhusus dalam
pendidikan Islam bagaimana memberi redefinisi yang mendasar tentang Islam yang
lebih menghargai perbedaan etnis, keyakinan, ras dan budaya yang akan ditanamkan
melalui pengajaran , pelatihan dalam pendidkan Islam..
Rumusan Permasalahan
Sehubungan
dengan judul yang di kemukakan di atas, maka menjadi pokok permasalahan dan
yang harus penulis kaji lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakan arkeologi konsep
multikulturalisme dan sejarah singkatnya?
2.
Bagaimanakah pandangan
multikulturalisme pendidikan Islam?
3.
Arkeologi Konsep Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan[5].
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur
(budaya), isme (aliran atau paham)[6].
Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang
hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan yang unik.
Pengertian para ahli
tentang kebudayaan harus dipersamakan atau setidak-tidaknya, tidak
dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh lainnya. Karena
multikulturalisme adalah ideology dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka kebudayaan harus dilihat
dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia[7]
Sejarah etimologi belum
berumur lama. Menurut Longer Oxford Dictionary, sebuah
istilah yang baru banyak digunakan orang pada tahun 1950-an di Kanada. Kamus
tersebut mensitir kalimat dari surat kabar kanada, Montreal Times, yang
mengambarkan masyarakat”Multi-kultural dan Multi-Lingual”.
Istilah multikulturalisme sendiri pertama kali digunakan dalam laporan
Pemerintah Kanada yang dipublikasikan pada tahun 1965 bertajuk”Preminary
Report Of The Royal Commision Of Bilingualism and Biculturalism”
Sebagai sebuah terminology baru “Multikulturalisme”
masih belum banyak dipahami orang. Saya membagi pemahaman mengenai
multikulturalisme menjadi beberapa tingkatan. Pertama, pemahaman
popular. Orang kebanyakan memahami fenomena multikulturalisme semakin mudah
diketemukannya restoran Cina, Hoka-Hoka Bento, Salero Bagindo, Mc Donald, Jet
Kun Do, Shaolin, Kursus Yoga sampai Boutique Versace disatu wilayah yang
sebelumnya relative homogen.
Kedua, pemahaman politis. Kalangan
politisi memahami multikulturalisme semakin majemuknya masyarakat secara
cultural yang menimbulkan berbagai persoalan social yang menuntut kebijakan-
kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program asimilasi). Ketiga,
pemahaman akademis. Pemahaman akademis multikulturalisme mendasarkan diri pada
perkembangan filsafat postmodernisme dan culture studies, yang menekankan
prinsip paralogisme diatas monologisme, kemajemukan diatas kesatuan. Isu- isu
multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara lain; konsep
kebudayaan, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik liberalisme,
toleransi dan solidaritas, dan lain sebagainya.
Pendekatan akademis terhadap multikulturalisme dapat
dibagi menjadi dua kelompok. Pertama mereka yang memandang multikulturalisme
sebagai isu politik identitas budaya pinggiran terhadap yang dominan yang
selama ini menguasainya sebagai wacana. Apa yang mereka maksud dengan budaya
saat membincangkannya adalah budaya pinggiran (Sub Culture), seperti
kelompok Punk, kelompok lesbian, gay, kulit berwarna dan lain sebagainya.
Kedua mereka yang memandang isu multikulturalisme sebagai persoalan kemajemukan
kumunitas budaya mereka artikan sama dengan bangsa (nation) (Kymlivka, 1995:11)
yaitu intergenerasi yang berbagai bahasa, sejarah, dan adat- istiadat yang
sama. Pendekatan kedua ini mempersoalkan isu hak budaya minoritas dan konsep
Negara bangsa.[8]
Wacana multikulturalisme dikalangan akademisi
berkembang setelah oposisi biner identitas atau perbedaan dedekonstruksi.
Dekonstuksi yang disambut hanyat oelh para pakar multikulturalisme dan
psikoalis seperti Edward Said, Gyantri Spivak, Homi Babha dan lain sebagainya.
Mereka menyimpulkan bahwa identitas “Barat” yang mengedepankan
rasionalitas, linier dan sekuler tidak lebih dari sekedar teks. Teks yang
dirajut dengan benang kekuasaan atas wacana tentang “Timur” yang irasional,
sirkular dan spiritual. “Timur” tak pernah dibiarkan
mendefinisikan dirinya secara unik tanpa harus mengacu pada kerangka acuan
barat.
Wacana multikulturalisme dikalangan para akademisi
juga berkembang sebagai reaksi atas kegagalan proyek Negara-bangsa (Bennet
1998:138). Sebuah proyek ingin mewujudkan Negara terikat tidak saja secara
yuridis tetapi juga secara cultural. Proyek Negara bangsa dinilai mengabaikan
hak masing- masing budaya yang ada untuk mengaktualisasikan dirinya secara
sepenuhnya. Postmodernisme radikal, misalnya, menolak nasionalisme yang
berporos pada homogenesasi, identitas dan esensi. Postmodernisme radikal
mengajukan konsep pluralisme radikal menekankan liberalisasi perbedaan, dimana
setiap komunitas budaya berhak mendefinisikan dirinya sendiri tanpa harus
berpaling atau mengacu patokan universal.[9]
Masih dalam kerangka multikulturalisme, postmodernis
radikal atau biasa disebut postmodern libertarian memodifikasi
paham modernisme klasik. Liberalisme klasik adalah paham yang menekankan
perlunya pembatasan legal pada kekuasaan Negara dalam mengurus masyarakat untuk
melindungi apa yang disebut John Stuart Mill sebagai kebebasan negative
individu atau kebebasan untuk mengeksekusi apa yang disebut sebagai hak-hak
ilmiah, ulienable atau yang lebih
dikenal dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) untuk mengeluarkan pendapat
menurut suara hati berserikat beribadah dan lain sebagainya. Postmodern
libertian menolak konsep HAM yang menekankan konsep universalisme dalam paham
liberalisme klasik karena mengingkari perbedaan. Individu harus dianggap sejauh
memiliki kesempatan yang sama dalam mengekspresikan perbedaannya.
Ini diperkuat lagi oleh tesis Terry Eagleton tentang
universalisme (sarup 1996: 63). Universalisme menurut Terry, bukan hak dan
kewajiban abstrak sebagai lawan dari partikularitas ras, etnis, agama dan
gender melainkan pengakuan bahwa setiap perbedaan individu dapat
teraksenturasikan secara sempurna.
Negara dalam konteks multikulturalisme sendiri harus
sejalan dengan prinsip pruralisme. Negara yang menghargai kemajemukan budaya
menurut postmodern libertian adalah Negara yang tidak lagi merumuskan kerangka
ideal ideology maupun cultural bagi komunitas- komunitas budaya untuk
menyesuaikan diri. Proyek Negara bangsa dianggap sebagai represi terhadap
potensi berbagai komunitas budaya untuk merealisasikan dirinya secara unik.
Konsep negara multikultural adalah Negara menjaga jarak terhadap persoalan
kultur dan menjamin tiap komunitas budaya untuk mengurus urusan kulturalnya
sendiri.[10]
PENDIDIKAN
SEBAGAI PROSES PEMBUDAYAAN
Manusia bukan hanya berada di dunia tetapi dia megada.
Mengada atau mereksistensi ialah proses menjadi manusia (human being). Manusia itu bukan semata-mata hidup sebagai adanya
manusia (human being) yang mempunyai
sifat-sifat khusus kemanusiaan, tetapi manusia berkewajiban menwujudkan
kemanusiaan itu (human being).
Menjadi manusia tidak menjadi dalam ruang kosong,
tetapi dalam lingkungan sesama manusia atau ruang kemannusiaan. Ruang
kemanusiaan itu tidak lain adalah kebudayaan manusia yang terbentang dalam
ruang dan waktu tidak ada masyarakat (community)
tanpa budaya. Oleh sebab itu, pendidikan dan kebudayaan merupakan satu kesatuan
eksistensial. Dan tidak adak kebudayaan yang setatis tetapi yang terus menerus
dalam proses perubahan. Oleh karena itu, proses pendidikan juga merupakan suatu
proses yang dinamis. Proses pendidikan tidak dapat direduksir hanya sebagai
proses yang terjadi dalam lembaga
sekolah, tetapi sekolah sebagai lembaga social merupakan bagian dari proses
pendidikan yang lebih luas sebagai proses pembudayaan. Dengan demikian, proses
pendidikan hanya dapat diketahui apabila kita menempatkannya dalam lingkungan
kebudayaan suatu mesyarakat. Dengan kata lain, kita perlu mempunyai suatu gambaran bagi mana
proses pendidikan sebagai suatu bagian dari proses pembudayaan tersebut. Inilah
yang dimakdus dengan perspektif study
cultural mengenai pendidikan.[11]
Mannusia Indonesia yang di idealisasikan menjadi titik puncak capaian tujuan
hidup nasional sebagai proses kemanusiaan dan pemanusiaan sejati masih terus
menjdi dambaan kita, ketika sosok yang selanjutnya belum lagi di temukan pada
saat arus globalisasi dan arus pasar bebas terus menerpa secara keras. Disinal
kita harus menerima secara taat asa bahwa pendidikan dan peltihan dengan
berbagai jenis, jenjengm, sifat, dan bentuknya sebagai sebuah proses yang tidak
pernah akan selesai. Tatkala warga yagn bermukim di berbagai Negara secara percaya
diri dan meyakinkan menyatakan berkompetisi dan bermitra pada percaturan
globalisasi itu, semisal melalui kemitraan sekaligus persaingan dipasar bebas
atau migrasi pekerja kita harus berkuat untuk mencari jalan keluar multicrisis
baik di bidang ekonomi, politik, social dan menusiaan, keadilan, maupun
penegakan hukum. Bahkan ketika peradaban
masyarakat menunjukkan tanda makin megapolis, sebagian besar dari kita masih
jauh dari tatanan sehat, nama, nyaman dan berkeadilan yang menjadi cirri
keberhasilan proses pendidikan dan kemanusiaan. [12]
Secara nasional pendidikan harus mempunyai arti
positif bagi bangsa. Arti positif pendidikan adalah harapan besama bangsa
Indonesia, bahkan merupakan kesepakatan hukum yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang yang resmi terutama dalam lembaga Negara Rapublik Indonesia No.
78 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Dengan kedudukan seperti itu, maka pelaksanaan
pendidikan nasional harus memiliki disi dan misi yang jelas dan tegas. Visi dan
misi bertumpu pada kenyataan, bahwa, pertama, perjalanan kehidupan bangsa di
Negara Indonesia tengah dirundung konflik yang cukup tajam, bahkan bisa
mencapai eskalasi demikian tinggi. Sehingga menimbulkan perpecahan dan
sekaligus mengancam persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara. Dengan
mempertimbangkan kondisi seperti in maka fisi dan misi integrasi nasional
menjadi prioritas pendidikan nasional. Dalam arti bahwa pendidikan nasional
harus sanggup menjadi wahana dan sarana untuk merekatkan kembali hubungan
individu, masyarakat, dan bangsa demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan, yakni
integrasi nasional diseluruh tanah air Indonesia.
Kedua, dalam suasana diliputi konflik, maka tindak
kekerasan dalam berbagai lapangan kehidupan bisa mencapai besaran dan kedalaman
yang membahayakan ketenraman, kedamaian, dan kesejahteraan segenap lapisan
bangsa. Sehingga tergambar martabat kemanusiaan bangsa ini demikian merosot.
Pendidikan nasional dalam konteks demikian mengemban visi dan misi memulihkan
dan meningkatkan mertabat bangsa diseluruh wilayah tanah air, pada segenap
lapisan masyarakat.
Ketiga, krisis bangsa Indonesia yang merambah hamper
keseluruh sector kehidupan pada akhirnya dan pada dasarnya menggambarkan
kemerosotan spiritualitas dan moralitas luhur bangsa. Pencapaian kemajuan-kemajuan
daya kemampuan dan kecerdasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang diusahakan melalui
pembangunan seakan terbenam dalam kerendahan budi. Untuk mengatasi persoalan
ini maka keunggulan akhlak keagamaan dan budi pekerti merupakan visi dan misi
pendidikan nasional. [13]
Pandangan filosofis klasik yang menjadi wacana publik
para akhli pendidikan adalah pendidikan sebagai salah satu system social
merupakan koridor yang sangat penting untuk data mengarahkan dan membentuk
keberadaban manusia kearah peradaban yang eksistensial karena pendidikan
merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.[14]
Apabila kita simak masalah pendidikan Islam dalam rangka reformasi pendidikan
nasional maka perlu kita lihat makna pendidikan Islam di dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Mencari paradigma baru pendidikan Islam perlu mengetahui
eksistendi pendidikan Islam si dalam sejarah kehidupan berbangsa kita pada masa
lalu, dan masa yang akan datang.[15]
Pemaknaan pendidikan Islam atau PAI seringkali diarahkan untuk menekankan aspek
normative dalam pelajaran dalam agama Islam, lebih dari itu, bila berkenaan
dengan aspek aktifitas dan institusi umumnya dipakai kata “Pendidikan Islam”.
Namun yang terkhir ini didevinisikan berfariasi antara pendapat yang satu
dengan pendapat yang lainnya, karena penekanan makna dan redaksinya
berbeda-beda.
Dalam kaitannya tidak dibahas mengapa dan bagaiman
definisi pendidikan tersebut berbeda-beda, melaikan hendak dicari dari dimensi
utama yang terkandung dibalik pemaknaan tersebut. Ungkapan pendidikan Islam disini
untuk menyebutkan sedikitnya tiga dimensi. Pertama, dimensi kegiatan. Artinya
pendidikan itu diselenggarakan sebagai upaya internasionalisasi nilai-nilai
Islam konsekwensi dari pemaknaan ini ialah bahwa pendidikan Islam itu tidak
terbatas pada institusi formal. Kedua, dimensi kelembagaan. Disini pendidikan
dimaknai sebagai tempat atau lembaga yang melaksanakan proses pendidikan Islam,
dengan mendasarkan pada programnya atas pandangan sarat nilai-nilai Islam.
Tercakup dalam kategori ini adalah lembaga pendidikan Islam bentukan ormas
Islam Belanda hingga masa kini. Ketiga, dimensi pemikiran maksudnya pendidikan
Islam diartikan sebagai pradigma teoritik yang disampaikan berdasarkan
nilai-nilai Islam. Dimensi ini bersifat ijtihadi, interpretative dan konseptual,
mengingat pemikiran tersebut dengan tokohnya.[16]
Konflik dan kekerasan yang masih sering muncul di
berbagai wilayah negeri seribu etnis ini akibat belum timbulnya pribadi pintar,
kreatif dan berbudi luhur.[17]
Orang yang cerdas selalu bisa menggunakan nalarnya secara benar dan objektif.
Orang kreatif mempunyai banyak pilihan dalam memenuhi kepentingan hidupnya.
Orang arif dan luhur budi bisa menentukan pilihan tepat dan menolak cara-cara
kekerasan. Kecerdasan dan kearifan bersumber dari daya kritis dan kesadaran
atas nilai diri dan social, sehingga tumbuh pada keepedulian sesame.
Cita-cita social Islam dimulai dengan perjuangan
menumbuh seburkan aspek-aspek akidah dan etika dalam diri pemeluknya, ia
dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi, keluarga dan masyarakat
hingga akhirnya menciptakan hubungan yang serasi antara sesame anggota
masyarakat yang salah sarunya adalah kesejahteraan lahiriyah.
Pendidikan selalu diarahkan untuk mengembangkan
nilai-nilai kehidupan manusia. Di dalam pembangunan nilai-nilai ini, tersirat
pengertian manfaat yang ingin dicapai oleh manusia di dalam hidupnya. Sehingga
apa yang ingin dikembangkan merupakan apa yang dapat dimanfaatkan dari arah
pengmbangan. Kendatipun demikian pendidikan tidak bisa lepas dari efek-efek yang
memperngaruhi keberadaannya, terutama bagi masyarakat sekitarnya yang punya
hubungan saling ketergantungan.[18]
Peyekolahan hanya salah satu dari upaya bentuk
pendidikan, dan apa yang terselenggara melalui peyekolahan tidak dapat dianggap
sepenuhnya seteril terhadap berbagai sumber pengaruh dari luar sekolah.
Pembiasaan dan peneladanan pun sangar besar pengaruhnya dalam upaya pendidikan.
Sejak masa persekolahan sudah terjadi berbagai macam upaya pembiasaan yang
akhirnya memantapkan pola perilaku pada anak pada berbagai situasi dan
interaksi. Banyak sekali perilaku anak pada tahap itu dihasilakan oleh
pembiasaan, baik yang dintuk oleh orang tuannya, oleh orang lain dalam
lingkungannya. [19]
Apa yang disaksiakan anak-anak di daerah sengketa
berlarut dengan kekerasan, berbekas kuat sebagai perilaku dan sikap mereka.
Kekerasan pun cenderung mengemuka melalui perilaku dan sikap pada anak-anak di
daerah itu. Bahkan permainan dan mainan juga cenderung bermatra kekerasan.
Begitu juga berbagai adegan kekerasan yang mereka gambar.
Hal ini menunjukan betapa kuatnya dampat peragaan
perilaku yang menerpa anak dalam proses social learning. Dampak ini tampak
jelas melalui kecenderungan anak yang bersangkutan untuk memggulkan nilai-nilai
yang mendukung kemungkinan untuk menang dalam situasi bersengketa.
Perlu dicatat, pembelajaran social terjadi bukan saja
dengan dampat didiknya yang negative, tetapi juga dalam artinya yang positif.
Melaui pembelajaran social, kita juga menemukan model yang berperan sebagai
sosok untuk identifikasi diri. Sadar tidak sadar, tidak sedikit pengaruh tokoh
yang kita jadikan citra identifikasi diri. Amat membekas pengaruhnya pada
pembentukan kepribadian kita.[20]
MULTIKULTURALISME PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan masih diyakini sebagai wahana transformasi
social. Kepercayaan yang demikian berlanjut pada upaya pemharuan dalam ruang
lingup pendidikanmebangun wawasan multikultural bukanlah hal yang mudah,
terlebih dikalangan pemeluk agama yang boleh dikatakan masih terlalu sempit dan
menyesakan dada dalam keagamaan mereka. Untuk itu upaya menanamkan kesadaran
multikulturalis harus dimulai sejak dini mungkin.
Memberikan pandanagn yang lebih mengarah pada sikap
toleransi, ramah terhadap perbedaan melaui institusi pendidikan sangatlah
efektif. Tentunya langkah ini meuat berbagai macam tindakan yang berimplikasi
pada berbagai macam orientasi dalam lingkup pendidikan. Dan dalam hal ini juga
perlu didukung kesadaran para tenaga didik untuk lebih kreatif dan jangan
sampai terjebak pada pola penyampaian materi keagamaan yang cenderung mengarah
pada kesadaran negative-distruktif dan violence.
Ada beberapa orientasi dalam rangka membagun wawasan
multikulturalisme dalam lingkup pensdidikan berbasis keagamaan. Pertama adalah orientasi muatan, dalam hal
ini pada hekekatnya adalah menerjemahkan pandangan dunia pluralistic dan
multikulturalistik kedalam praktik dan teori pendidikan. Kedua, pendekatan
kontributif. Adalah pendidikan paling sedikit keterlibatannya dalam revolusi
pendidikan, terutama pendidikan multikultural. Pendelatan ini dilakukan dengan
cara menyeleksi teks-teks wajib atau anjuran dengan aktifitas tertentu seperti
hari libur.
Ketiga, Pendekatan aditif, dalam program berorientasi muatan ini
mengambil bentuk penambahan muatan-miuatan, konsep-konsep, tema-tema dan
perspektif ke dalam kurikulum tanpa mengubah struktur dasarnya.
Keempat, pendekatan transformative, yang secara actual
perupaya merubah struktur kurikulum dalam mendorong siswa-siswa untuk melihat
dan meninjau kembali konsep-konsep,tema-tema dan problem-problem lama, kemudian
memperbaharui pemahaman dari berbagai perspektif dari sudut pandang etnik.
Dengan demikian cukup memberikan ruang kreatifitas bagi peserta didik untuk
beragumentasi berdasarkan pandangan suku budaya dan tata nilai yang berbeda sehingga
menjadi proses latihan untuk menjadi berbeda dan merasa nyaman.
Kelima, pendekatan aksi social. Pendekatan ini tidak
hanya menekankan pada sisi pemahaman siswa terhadap isu-isu, tema-tema tetapi
siswa mampu secara professional dilatih untuk memecahkan masalah dengan
kemampuan yang dimilikinya.
Orientasi siswa, siswa mejadi orientasi terpenting,
karena pada hakekatnya siswa merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan.
Seorang siswa akan mendengar, mengamati dan mempelajari apa yang di dengar, di
lihat dan diperagakan orang dewasa. Termasuk apa yang diperagakan seorang guru,
akan membawa pada pengendapan sikap melalui pembiasaan dan latihan. Disini
siswa sudah mulai dikenalkan kepada keragaman dalam lingkungan sekolah,
termasuk keragaman aliran keagamaan ataupun sekte dalam agama.
Sebagai langkah awal adalah bagaimana seorang
pendidik mengevaluasi awal menyangkut
pemahaman dan pengetahuan pruralitas keyakinan, aliran, latar belakang social,
ras dan budaya, sehingga memudahkan bagi seorang pengajar untuk lebih bisa
memperlakukan dan mengamati secara jelas perilaku masing- masing siswa yang
memiliki latar belakang yang berbeda.
Para siswa juga dilatih untuk dapat bisa hidup
berdampingan dengan nyaman bersama teman yang berbeda. Dengan melalui pembuatan
kelompok belajar yang berbeda latar belakang, ras, agama, budaya, dan social.
Jika dalam proses penyampaian materi pelajaran dalam pembelajaran mencerminkan
suatu praktik-praktik keagamaan.
Muatan social, adalah tidak hanya kemudian selesai
dalam ranah pendidikan dalam pengertian institusi pendidikan semata, penguasaan
atas pemahaman multikulturalisme dan terbatas pada penguatan kemampuan
vakademik dengan penguasaan wacana dan
pengetahuan tersebut. Tetapi membangun wawasan multikultural mampu berdampak
dan memberi pengaruh pada perilaku toleransi atas perbedaan cultural, ras,
agama dan berbagai macam ragam perbedaan yang akan terjadi dalam setiap
perjumpaan social yang tidak hanya terbatas pada lingkungan pendidikan dalam
arti sempit, tetapi dalam pengertian yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada
lingkungan pendidikan dalam arti institusi pendidikan baik formal atau non
formal. Selain itu juga perlu dibangun kesadaran untuk mendialokan perbedaan
lewat forum- forum bebas dengan penuh kearifan menuju perdamaian dan kedamaian.
Dengan usaha diatas, membangun kesadaran yang
multikulturalis tidak hanya berhenti pada sebatas toleransi, memandang
perbedaan itu sebagai suatu sikap toleransi tetapi juga adanya sikap yang lebih
apresiatif terhadap upaya memajukan dan mengembangkan budaya lainnya.
[1] M. Ainul
Yaqin,
Pendidikan Multikultural, Cross cultural Understanding Untuk Demokrasi
Dan Keadilan, Yogyakarta, Pilar Media Hal 3-4
[2] Chairil
Machfudz, Pendidikan Multikultural,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2006. Hal xi-xii
[3]
Ibid Hal 4
[4]
Ibid hal 5
[5] Lihat
dalam makalah Parsudi Suparlan, “Menuju Masyarakat Multikultural” ,
dalam symposium internasional bali ke-3, jurnal Antropologi Indonesia,
Denpasar, Bali, 116-21 Juli 2002
[6] Lebih
jelas lihat dalam http://www.grasindo.co.id/
Detail, asp? ID-50104457 atau pada H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan
Global Masa Depan (Jakarta: Grasindo, 2004)
[7]
Supardi Suarloan Ibid hal 10
[8] Aryo
Danusiri dan Wasmi Alhasiri, Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa
Gagasan, SET, Jakarta 2002, Cet I, hal. 2
[9]
Ibid hal 4
[10] Ibid
hal 5
[11] H.AR.
Tilaar, Pendidikan Dan Perubahan Sosial, Pengantar Pedagigik
Transformatif untuk Indonesia, 2004. Hal 24
[12]
Sutarman Danim, Agenda Perubahan System Pendidikan, Pustaka Pelajar Jakarta,
2003.Hal.1
[13] A.
Malik Fadjar, Holistika pemikiran pendidikan, PT. Raja Gravindo Persada,2005
hal 161-162
[14] maksum.
A, Transformasi
Pendidikan Islam, Desertasi uin Jakarta, 1998.hal 13
[15] H.A.R.
Tlaar,
Membenahi Pendidikan Islam, Rineka Cipta, Jakarta 2002.hal 27
[16]
Abdurahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, Pergeseran kebijakan Pendidikan Agama Islam Dari Pra Kemerdekaan ke
Reformasi, Kurnia Kalam, Jakarta 2002, hal 104-105
[17] Munir
Mulkan, Humanisme Pendidikan Islam, Jurnal Taswirul afkar, Edisi No.23.
tahun 2001. hal 17
[18]
Hisbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
1999, hal.103
[19] Fuad
Hasan, Pendidikan Manusia Indonesia, Yayasan Toyota dan Astra
Bekerjasama dengan Penerbit Kompas, Jakarta 2006. hal. 53
[20] Aryo
Danusiri dan Wasmi Alhasiri, Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa
Gagasan, SET, Jakarta 2002, Cet I, hal. 2-5
No comments:
Post a Comment