Mata Kuliah Hukum Perdata
BAB I
PENDAHULUAN
Keinginan
pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap pernikahan siri,
kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang perkawinan.
Sebagaimana penjelasan Direktur Bimas Islam Depag, RUU ini akan memperketat
pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.
Berkenaan
dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg, pernikahan siri
dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan sanksi
penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi
juga berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah
siri, poligami, maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang
yang bermasalah, misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan
dikenai sanksi pidana 1 tahun penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang
menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap juga diancam denda Rp 6 juta dan 1
tahun penjara.
Sebagian
orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka suami
isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami
meninggal dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak
untuk mewarisi harta suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang
meninggal dunia.
BAB
II
PEMBAHASANNIKAH
SIRI
A.
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan
oleh masyarakat umum dengan;
Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan
secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau
karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan
syariat;
kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan
dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena
faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang
disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri
nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena
pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma
negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau
karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk
merahasiakan pernikahannya.
B.
Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama,
yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita
menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang
dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa
seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An
Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke
2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’,
kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak
sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini
dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها
فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa
mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil;
pernikahannya batil”. [HR yang
lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230
hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan
sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها
فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh
menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya
sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang
menikahkan dirinya sendiri”. (HR
Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231
hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas
dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil.
Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan
sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi
bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu,
kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan
mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy
(hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain
sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
C.
Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri
kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus
dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum tidak
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri
tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap
melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya,
suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia
dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram”
dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan
kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau
meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan
atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh,
maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan;
sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu,
seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang
meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau
makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi
sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut; pertama, meninggalkan
kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya; kedua,
mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain
sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti
melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan
lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat
disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara
tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak
mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan
telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun
rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi,
dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang
dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat
dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga
pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk
membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang
lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah
syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah)
di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan
pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak
asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi
yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy.
Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan
pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy.
Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan
keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah
menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian
saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan
ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan
pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan.
Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut
sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak
kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan
hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah
berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan
Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak
dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan
masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga
pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan
belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan
masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat
itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi
mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen
tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan
pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan
pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk
mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa
muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا
فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا
يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ
إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى
أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى
أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا
بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah
kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu
enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah
mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu
jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak
menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis
dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada
Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL
Baqarah (2):
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara
berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat.
Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya)
mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur
urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara
pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah,
eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur
urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh
khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam
urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan
berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak
menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat
untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika
seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya
dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan
untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk
pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi
bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga
memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe,
hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia
berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan
urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi
tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan
orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan
resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang
yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya,
orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara --
padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat.
Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan
orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah,
pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah
seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh
khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki
hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala
negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara
semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab,
seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat
telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang
menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan
taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban
untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para
penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi
dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan
kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka
pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi
mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan
pernikahannya dikarenakan ketidak mampuannya; sedangkan syariat tidak membebani
seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh
mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan
gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga
pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk
menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy.
Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan
tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan
seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat
diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk
mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan
masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan
yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah
seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda
dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan
munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan
muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut;
pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian
mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua
kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan
sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu,
anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi
relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat
serta untuk mencegah adanya fitnah.
D.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa
memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan
surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek
menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat
tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum
ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali.
Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali,
namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga
keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak,
atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan
pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya
secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan
perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai.
Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan
perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah.
Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka
sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji
mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap
tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka
masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung
di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau
masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil
negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat
–agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat
penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat
nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus
memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar
status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas.
No comments:
Post a Comment