PENDAHULUAN
A. TRADISI PESATREN
Pesantren
merupakan sebuah kehidupan unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran
lahiriahnya, pesantren adalah kompleks yang di dalamnya berdiri beberapa
bangunan : rumah kediaman pengasuh (Kyai), sebuah surau/masjid, dan asrama
tempat tinggal para siswa pesantren (santri). Dalam lingkungan fisik demikian
ini, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan ciri tersendiri,
dimulai dari jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian rutin
kegiatan masyarakat sekitarnya. Pertama-tama, kegiatan di pesanten berputar
pada pembagian periode berdasarkan waktu sembahyang wajib yang lima (shalat
rawatib). Dengan sendirinya, pengertian waktu pagi, siang, dan sore di
pesantren akan menjadi berlainan dengan pengertian di luarnya. Dimensi waktu
yang unik ini, tercipta karena kegiatan pokok pesantren di pusatnya pada
pemberian pengajian buku-buku teks (Al-Kutub
Al-Muqarraroh) pada setiap habis menjalani sembahyang wajib, demikian pula
ukuran lamanya waktu yang dipergunakan sehari-hari, pelajaran pada waktu tengah
hari dan malam hari tentu saja masanya lebih panjang dari pada watu petang atau
subuh. Dimensi waktu yang bercorak tersendiri ini juga terlihat pada lamanya
masa belajar pesanten; selama seorang santri merasa masih memerlukan bimbingan
pengajian dari kiyainya, selama itu pula ia tidak merasa adanya keharusan
menyelesaikan masa belajarnya di pesantren. Pada pesantren yang memilih
tergolong tradisional, lamanya santri bermukim di tempat itu bukan di tentukan
oleh ukuran tahun atau kelas, tetapi diukur dari kitab yang dibaca, kitab-kitab
itu juga, semakin tinggi semakin sulit memahami isinya. Oleh karena itu di
tuntut penguasaan kitab-kitab dasar dan menengah sebelum memasuki kitab-kitab
besar, dan tentunya akan memerlukan waktu belasan tahun untuk sampai ketahap
penguasaan kitab-kitab besar.
Akan tetapi, keseluruhan struktur pengajaran
tidak ditentukan oleh panjang atau singkatnya masa seseorang santri mengaji
pada kiainya, karena tidak ada keharusan menempuh ujian atau memperoleh diploma
dari kiainya itu. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah ketundukannya
kepada sang kiai dan kemampuanya untuk memperoleh ilmu dari sang kiai. Dengan
demikian, kebesaran sang kiai tidak ditentukan oleh jumlah bekas santrinya yang
dikemudian hari menjadi kiai atau menjadi orang-orang yang berpengaruh di
masyarakat.
Selain kurikulum pelajaran yang sedemikian
lentur (luwes), keunikan pengajaran juga dapat ditemui pada cara pemberian
pelajarannya, dan kemudian dalam penggunaan materi yang telah diajarkan kepada
dan dikuasai oleh santri. Pelajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk
seperti kuliah terbuka, dimana sang kiai atau setelahkembali ke biliknya,
ataupun dalam pengajian ulama antara sesama teman setingkat pengajian
(musyawarah, takrar, madrasah, jam’iyah dsb). Karena semua mata pengajian yang
diberikan bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan
dan amalan sehari-hari, tentu saja segi kemampuan para santri untuk
mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya menjadi perhatian pokok sang kiai.
Nilai-nilai (mores) yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan
sehari-hari inilah yang kemudian dikenal dengan nama “cara kehidupan santri”
yang oleh sementara kalangan (terutama oleh Cliiford Geertz dalam bukunya The Religion Of Java) dicoba untuk
dikontraskan dengan apa yang dinamakan “kehidupan kaum abangan” di negeri ini.
Pada pesantren, seorang kiai dengan para
pembantu merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang ada secara eksplisit
diakui dalam lingkungan pesantren. Demikian besar kekuasaan seoran kiai atas
diri santrinya, sehingga si santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa
terikat dengan kiainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang
moral dalam kehidupan pribadinya.
Kiai adalah tokoh sentral dalam pesantren, maju
mundurnya pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kiai, karena itu
tidak jarang terjadi, apabila sang kiai salah satu pesantren wafat, maka pamor
pesantren tersebut merosot, karena kiai yang menggantikannya tidak setenar kiai
yang telah wafat itu.
B. PENGAJARAN ILMU-ILMU AGAMA
Pengajaran ilmu-ilmu agama di pesantren, pada
umumnya dilaksanakan lewat pengajaran kitab-kitab klasik, di samping ada
sebagian pesantren yang memakai kitab-kitab berbahasa arab yang tidak tergolong
pada kitab-kitab klasik
a.
Pengajian
Kitab-Kitab Non Klasik
Kitab-kitab islam klasik yang lebih populer
dengan sebutan kitab kuning, ditulis oleh ulama-ulama islam pada zaman
pertengahan, kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya
membaca kitab-kitab serta mensyarahkannya (menjeleskan) isi kandungan
kitab-kitab tersebut. Agar bisa membaca dan memahami dengan benar, seorang
santri dituntut lebih dahulu untuk memahami dengan baik ilmu-ilmu bantu seperti
nahwo, shorof, balaghoh, ma’ani, bayan dsb, salahsatu persyaratan seorang telah
memenuhi kriteria sebagai kiai atau ulama adalah kemampuannya membaca serta
menjelaskan isi kitab-kitab tersebut. Karena sedemikian tinggi posisi
kitab-kitab islam klasik, maka setiap pesantren selalu mengadakan pengajian
kitab kuning. Kendatipun sekarang telah banyak pesantren yang memasukkan
pelajaran umum, namun pengajian kitab-kitab klasik tetap diadakan. Pesantrn
biasanya membuat jadwal pengajian kitab-kitab klasik tersebut, lengkap dengan
jadwal waktu, tempat, kiai yang mengajar, serta kitab yang dibawa. Adapun
kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan kepada 8
kelompok : nahwu/shoroff, fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf
dan etika, serta cabang-cabang ilmu lainnya seperti tarikh dan balaghoh.
b.
Pengajian
Kitab-Kitab Islam Non Klasik
Bagi pesantren modern, pengajian kitab-kitab
islam klasik tidak mengambil bagian yang penting, pengajian ilmu-ilmu agama
diambil dari kitab-kitab berbahasa arab yang disusun oleh ulama-ulama yang
tergolong mutaakhir, seperti: Mahmud Yunus, KH Imam Zarkasyi, Abdul Hamid
Hakim, Umar Bakri dll.
Terlepas dari pembicaraan kelebihan dan
kekurangan dari kedua macam bentuk kitab-kita tersebut di atas, jelaslah salah
satu unsur yang paling pokok dalam suatu pesantren adalah pengajian agama.
C. TRADISI KEILMUAN PESANTREN
Tradisi keilmuan pesantren bersumber pada dua
golongan, yaitu golongan pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan nusantara
pada abad ke-13 masehi, bersamaan dengan masuknya islam kemari dalam lingkup yang
luas, dan yang kedua, gelombang ketika para ulama kawasan nusantara menggagali
ilmu disemenanjung Arabia, khususnya dimakah dan kembali setekah itu ke tanah
airuntuk mendirikan pesantern-pesanteren
besar. Kedua gelombang ini lah yang menjadi sumber dari tradisi Islam yang
berkembang di pesantren. Namun pada abad ke-19 terjadi perubahan yang
berangsur-angsur, seperti adanya pelayaran dengan kapal motor secara teratur antara
eropa dan Hindia Belanda yang berangsur semenjek dibukanya terusan Sues pada
awal abad ke-19. dengan demikian, terjadilah pengiriman anak-anak muda dari
kawasan Nusantara untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya meraka
mengahsilkan korps ulama yang tangguh yang mendalami ilmu agama disemenanjung
Arabia, terutama di Makkah. Lahirlah ulama-ulama besar seperti Kiai Nawawi
Banten, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Abduk Ghoni Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai
Abdus Shomad Palembang, Kiai Hasyim Asy’ary, Kiai Khalil Bangkalan, dan deretan
ulama lain yang tidak terputus-putus sampai hari ini. Mereka ini membawakan
orientasi barupada manifestasi meilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi
pendalaman ilmu fiqih secara tuntas
PENUTUP
Dari
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pesantren dengan segala keunikan
tradisinya mampu membentuk manusia yang mempunyai sikap hidup bentukan
pesantren yang apabila dibawakan kedalam kehidupan masyarakat luar. Sudah
barang tentu akan merupakan pilihan ideal bagi sikap hidup rawa yang serba
tidak menentu yang merupakan ciri utama kondisi serba tradisional dalam masyarakat
dewasa ini.
PUSTAKA
-
Wahid, Abdurrohman. 2001, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta:Lkis
-
Doulay Haidar Putra.2001, Historitas Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah,
Yogyakarta:PT Tiara Wacana
-
Mukhal Abdul Munir. 2003, Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta: Qirtas
No comments:
Post a Comment