Breaking

LightBlog

Thursday, March 7, 2013

TRADISI PESANTREN

PENDAHULUAN
A.    TRADISI PESATREN
Pesantren merupakan sebuah kehidupan unik, sebagaimana dapat disimpulkan dari gambaran lahiriahnya, pesantren adalah kompleks yang di dalamnya berdiri beberapa bangunan : rumah kediaman pengasuh (Kyai), sebuah surau/masjid, dan asrama tempat tinggal para siswa pesantren (santri). Dalam lingkungan fisik demikian ini, diciptakan semacam cara kehidupan yang memiliki sifat dan ciri tersendiri, dimulai dari jadwal kegiatan yang memang menyimpang dari pengertian rutin kegiatan masyarakat sekitarnya. Pertama-tama, kegiatan di pesanten berputar pada pembagian periode berdasarkan waktu sembahyang wajib yang lima (shalat rawatib). Dengan sendirinya, pengertian waktu pagi, siang, dan sore di pesantren akan menjadi berlainan dengan pengertian di luarnya. Dimensi waktu yang unik ini, tercipta karena kegiatan pokok pesantren di pusatnya pada pemberian pengajian buku-buku teks (Al-Kutub Al-Muqarraroh) pada setiap habis menjalani sembahyang wajib, demikian pula ukuran lamanya waktu yang dipergunakan sehari-hari, pelajaran pada waktu tengah hari dan malam hari tentu saja masanya lebih panjang dari pada watu petang atau subuh. Dimensi waktu yang bercorak tersendiri ini juga terlihat pada lamanya masa belajar pesanten; selama seorang santri merasa masih memerlukan bimbingan pengajian dari kiyainya, selama itu pula ia tidak merasa adanya keharusan menyelesaikan masa belajarnya di pesantren. Pada pesantren yang memilih tergolong tradisional, lamanya santri bermukim di tempat itu bukan di tentukan oleh ukuran tahun atau kelas, tetapi diukur dari kitab yang dibaca, kitab-kitab itu juga, semakin tinggi semakin sulit memahami isinya. Oleh karena itu di tuntut penguasaan kitab-kitab dasar dan menengah sebelum memasuki kitab-kitab besar, dan tentunya akan memerlukan waktu belasan tahun untuk sampai ketahap penguasaan kitab-kitab besar.
Akan tetapi, keseluruhan struktur pengajaran tidak ditentukan oleh panjang atau singkatnya masa seseorang santri mengaji pada kiainya, karena tidak ada keharusan menempuh ujian atau memperoleh diploma dari kiainya itu. Satu-satunya ukuran yang digunakan adalah ketundukannya kepada sang kiai dan kemampuanya untuk memperoleh ilmu dari sang kiai. Dengan demikian, kebesaran sang kiai tidak ditentukan oleh jumlah bekas santrinya yang dikemudian hari menjadi kiai atau menjadi orang-orang yang berpengaruh di masyarakat.
Selain kurikulum pelajaran yang sedemikian lentur (luwes), keunikan pengajaran juga dapat ditemui pada cara pemberian pelajarannya, dan kemudian dalam penggunaan materi yang telah diajarkan kepada dan dikuasai oleh santri. Pelajaran diberikan dalam pengajian yang berbentuk seperti kuliah terbuka, dimana sang kiai atau setelahkembali ke biliknya, ataupun dalam pengajian ulama antara sesama teman setingkat pengajian (musyawarah, takrar, madrasah, jam’iyah dsb). Karena semua mata pengajian yang diberikan bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan sehari-hari, tentu saja segi kemampuan para santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya menjadi perhatian pokok sang kiai. Nilai-nilai (mores) yang tercipta dalam bentuk serangkaian perbuatan sehari-hari inilah yang kemudian dikenal dengan nama “cara kehidupan santri” yang oleh sementara kalangan (terutama oleh Cliiford Geertz dalam bukunya The Religion Of Java) dicoba untuk dikontraskan dengan apa yang dinamakan “kehidupan kaum abangan” di negeri ini.
Pada pesantren, seorang kiai dengan para pembantu merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang ada secara eksplisit diakui dalam lingkungan pesantren. Demikian besar kekuasaan seoran kiai atas diri santrinya, sehingga si santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa terikat dengan kiainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moral dalam kehidupan pribadinya.
Kiai adalah tokoh sentral dalam pesantren, maju mundurnya pesantren ditentukan oleh wibawa dan kharisma sang kiai, karena itu tidak jarang terjadi, apabila sang kiai salah satu pesantren wafat, maka pamor pesantren tersebut merosot, karena kiai yang menggantikannya tidak setenar kiai yang telah wafat itu.

B.     PENGAJARAN ILMU-ILMU AGAMA
Pengajaran ilmu-ilmu agama di pesantren, pada umumnya dilaksanakan lewat pengajaran kitab-kitab klasik, di samping ada sebagian pesantren yang memakai kitab-kitab berbahasa arab yang tidak tergolong pada kitab-kitab klasik
a.      Pengajian Kitab-Kitab Non Klasik
Kitab-kitab islam klasik yang lebih populer dengan sebutan kitab kuning, ditulis oleh ulama-ulama islam pada zaman pertengahan, kepintaran dan kemahiran seorang santri diukur dari kemampuannya membaca kitab-kitab serta mensyarahkannya (menjeleskan) isi kandungan kitab-kitab tersebut. Agar bisa membaca dan memahami dengan benar, seorang santri dituntut lebih dahulu untuk memahami dengan baik ilmu-ilmu bantu seperti nahwo, shorof, balaghoh, ma’ani, bayan dsb, salahsatu persyaratan seorang telah memenuhi kriteria sebagai kiai atau ulama adalah kemampuannya membaca serta menjelaskan isi kitab-kitab tersebut. Karena sedemikian tinggi posisi kitab-kitab islam klasik, maka setiap pesantren selalu mengadakan pengajian kitab kuning. Kendatipun sekarang telah banyak pesantren yang memasukkan pelajaran umum, namun pengajian kitab-kitab klasik tetap diadakan. Pesantrn biasanya membuat jadwal pengajian kitab-kitab klasik tersebut, lengkap dengan jadwal waktu, tempat, kiai yang mengajar, serta kitab yang dibawa. Adapun kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat di golongkan kepada 8 kelompok : nahwu/shoroff, fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid, tasawuf dan etika, serta cabang-cabang ilmu lainnya seperti tarikh dan balaghoh.

b.      Pengajian Kitab-Kitab Islam Non Klasik
Bagi pesantren modern, pengajian kitab-kitab islam klasik tidak mengambil bagian yang penting, pengajian ilmu-ilmu agama diambil dari kitab-kitab berbahasa arab yang disusun oleh ulama-ulama yang tergolong mutaakhir, seperti: Mahmud Yunus, KH Imam Zarkasyi, Abdul Hamid Hakim, Umar Bakri dll.
Terlepas dari pembicaraan kelebihan dan kekurangan dari kedua macam bentuk kitab-kita tersebut di atas, jelaslah salah satu unsur yang paling pokok dalam suatu pesantren adalah pengajian agama.

C.    TRADISI KEILMUAN PESANTREN
Tradisi keilmuan pesantren bersumber pada dua golongan, yaitu golongan pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan nusantara pada abad ke-13 masehi, bersamaan dengan masuknya islam kemari dalam lingkup yang luas, dan yang kedua, gelombang ketika para ulama kawasan nusantara menggagali ilmu disemenanjung Arabia, khususnya dimakah dan kembali setekah itu ke tanah airuntuk  mendirikan pesantern-pesanteren besar. Kedua gelombang ini lah yang menjadi sumber dari tradisi Islam yang berkembang di pesantren. Namun pada abad ke-19 terjadi perubahan yang berangsur-angsur, seperti adanya pelayaran dengan kapal motor secara teratur antara eropa dan Hindia Belanda yang berangsur semenjek dibukanya terusan Sues pada awal abad ke-19. dengan demikian, terjadilah pengiriman anak-anak muda dari kawasan Nusantara untuk belajar di Timur Tengah dan akhirnya meraka mengahsilkan korps ulama yang tangguh yang mendalami ilmu agama disemenanjung Arabia, terutama di Makkah. Lahirlah ulama-ulama besar seperti Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Tremas, Kiai Abduk Ghoni Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang, Kiai Hasyim Asy’ary, Kiai Khalil Bangkalan, dan deretan ulama lain yang tidak terputus-putus sampai hari ini. Mereka ini membawakan orientasi barupada manifestasi meilmuan di lingkungan pesantren yaitu orientasi pendalaman ilmu fiqih secara tuntas

PENUTUP
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pesantren dengan segala keunikan tradisinya mampu membentuk manusia yang mempunyai sikap hidup bentukan pesantren yang apabila dibawakan kedalam kehidupan masyarakat luar. Sudah barang tentu akan merupakan pilihan ideal bagi sikap hidup rawa yang serba tidak menentu yang merupakan ciri utama kondisi serba tradisional dalam masyarakat dewasa ini.

PUSTAKA
-    Wahid, Abdurrohman. 2001, Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta:Lkis
-    Doulay Haidar Putra.2001, Historitas Dan Eksistensi Pesantren Sekolah Dan Madrasah, Yogyakarta:PT Tiara Wacana
-    Mukhal Abdul Munir. 2003, Menggagas Pesantren Masa Depan, Yogyakarta: Qirtas

No comments:

Post a Comment

Adbox