Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Pendahuluan
Dalam suatu
diskusi dengan topik hujan buatan, yang dihadiri oleh beberapa mahasiswa
aktivis kampus, seorang peserta diskusi melontarkan pandangannya tentang hukum
hujan buatan menurut syariat Islam.
Dalam pandangan sang mahasiswa tadi, yang kebetulan jebolan pesantren
kenamaan di Jawa, hujan buatan itu hukumnya haram, karena mendahului kehendak
Tuhan, yang berkuasa menurunkan hujan.
Pada
kesempatan lain, seorang kyai dalam suatu ceramah menyatakan bahwa mempelajari
hukum positif seperti yang diajarkan di fakultas hukum di perguruan tinggi,
haram hukumnya menurut ajaran Islam.
Dalam pandangan sang kyai, hukum yang boleh dipelajari hanyalah hukum
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Kedua
ilustrasi diatas memberi kesan betapa masih kerdilnya pemahaman sebagian umat
Islam, dari golongan terdidik sekalipun, terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi yang terus berkembang hingga kini.
Bahkan seolah memberi kesan bahwa ada sebagian umat Islam yang masih
anti ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lebih menyenangi hidup konservatif
seperti zaman dahulu. Walaupun
kadang-kadang pandangan dan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan dan
teknologi tidak konsisten. Sebagai
contoh ada beberapa kalangan yang tidak mau menggunakan sendok dan garpu pada
saat makan, karena menurutnya hal itu tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah
SAW. Namun anehnya, mereka kemana-mana
tidak berjalan kaki atau naik unta, seperti pada Zaman Rasulullah, melainkan
naik motor atau mobil, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
Jika kita
menoleh ke belakang menapaki alur perjalanan sejarah peradaban umat manusia,
maka sikap konservatif ini pernah menghinggapi semua peradaban di dunia. Dari
sejarah diketahui bahwa sikap seperti ini telah menimbulkan korban pada
berbagai kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan keyakinan agama
yang berkembang saat itu. Dalam Sejarah
Kristen tercatat banyak ilmuwan menjadi korban, oleh karena memiliki pandangan
yang berbeda dengan pihak gereja, sedang dalam Sejarah Islam pengajaran
filsafat pernah dilarang dipelajari termasuk diajarkan di perguruan tinggi
seperti perguruan tinggi kenamaan Al-Azhar yang ada di Kairo, Mesir.
Sejarah
telah membuktikan bahwa adanya sikap konservatif terhadap pandangan-pandangan
baru, telah menghantarkan peradaban ke dalam masa-masa kegelapan. Sejarah Islam telah mencatat bahwa masa
keemas-an Islam (The Golden Age of Islam) terjadi pada masa pemerintahan
Dinasti Abbas (Abbasiyah), yang sangat terbuka terhadap perkembangan berbagai
pemikiran baru. Bersamaan dengan
dilarangnya belajar-mengajar filsafat, umat Islam mengalami kemunduran, hingga
terpuruk ke dalam belenggu penjajahan Negara-negara Barat.
Timbulnya
kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk keluar dari belenggu penjajahan,
tidak lepas dari keberanian beberapa pembaharu dunia Islam seperti Jamaluddin
al Afghani dan Muhammad Abduh, yang
menganjurkan agar umat Islam kembali mempelajari filsafat dan membuka diri kepada
munculnya ide-ide baru.
Berangkat
dari uraian diatas, maka dalam tulisan berikut ini akan dipa-parkan bagaimana
sumbangan peradaban Islam pada masa keemasannya dahulu terhadap perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk meluruskan pandangan bahwa
Umat Islam itu seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan teknologi.
Filsafat dan ilmu pengetahuan.
Istilah
filsafat mulai dikenal pada zaman Yunani
kuno, berasal dari kata philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti
kebenaran. Jadi orang yang mempelajari
filsafat adalah orang yang cinta kebenaran.
Untuk mencapai kebenaran seseorang harus mempunyai pengetahuan. Sese-orang yang mengetahui sesuatu, dapat
dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu tersebut menurut dirinya
sendiri, meskipun apa yang dianggapnya benar itu belum tentu benar menurut
orang lain.
Pengetahuan
tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Seseorang
yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan
berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik
atau ilmu melukis. Oleh karena bermain
musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni.
Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya
kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu
tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di
luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.
Filsafat
adalah dasar pijakan ilmu. Berbagai
disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat. Ilmu fisika berasal dari filsafat alam
(natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral
(moral philosophy). Durant (1933)
mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang bertugas merebut pantai,
untuk mendaratkan pasukan infanteri.
Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Imulah yang membelah gunung dan merambah
hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat
diandalkan.
Dalam
perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Dalam taraf peralihan ini ruang kajian
filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral.
Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika
secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat
hidup manusia. Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan
dirinya pada norma filsafat.
Pada tahap
perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan dirinya bebas dari filsafat dan
berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai dengan tabiat alam apa
adanya. Pada tahap ini perkembangan ilmu
tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif, tetapi menggunakan
kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang dihubungkan oleh pengujian
hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.
Auguste
Comte (1798 – 1857) membagi perkembangan pengetahuan ke dalam 3 tahap, yaitu :
tahap religius, metafisik dan positif.
Pada tahap pertama postulat ilmiah menggunakan azas religi, sehingga
ilmu merupakan penjabaran (deduksi) dari ajaran agama. Pada tahap kedua postulat ilmiah didasarkan
pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai eksistenis obyek yang
ditelaah. Pada tahap ketiga perkembangan
ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang digunakan dalam proses
verifikasi yang obyektif.
Sumbangan
Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Terdapat 2
pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu
pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang
Eropah belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui
kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian
diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus.
Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat
orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961)
dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles
seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah
Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah
menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara.
Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius
menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah,, maka John
Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon
karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah
dikerjakan oleh filosof Islam.
Sebagaimana
telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari
orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM),
kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM). Setelah itu diteruskan oleh
muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM). Setelah zaman Aristoteles,
sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada
tahun 801 M. Al-Kindi banyak belajar
dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles. Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid
pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan
Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.
Sejarawan menempatkan
Al-Kindi sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat. Ibnu Al-Nadhim
mendudukkan Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam
(natural philosophy). Buku-buku Al-Kindi
membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri,
aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat. Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai
penterjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam
Bahasa Arab. Disamping sebagai
penterjemah, Al-Kindi menulis juga berbagai makalah. Ibnu Al-Nadhim memperkirakan ada 200 judul
makalah yang ditulis Al-Kindi dan sebagian diantaranya tidak dapat dijumpai
lagi, karena raib entah kemana. Nama
Al-Kindi sangat masyhur di Eropah pada abad pertengahan. Bukunya yang telah disalin kedalam bahasa
Latin di Eropah berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu
optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron dan Ptolemeus. Salah satu orang yang sangat kagum pada
berbagai tulisannya adalag filosof kenamaan Roger Bacon.
Beberapa
kalangan beranggapan bahwa Al-Kindi bukanlah seorang filosof sejati. Dr. Ibrahim Madzkour, seorang sarjana filsafat lulusan Peran-cis
yang berasal dari Mesir, beranggapan bahwa Al-Kindi lebih tepat dika-tegorikan
sebagai seorang ilmuwan (terutama ilmu kedokteran, farmasi dan astronomi)
daripada seorang filosof. Hanya saja
karena Al-Kindi yang pertama kali menyalin kitab Plato dan Aristoteles kedalam
Bahasa Arab, maka ia dianggap sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan
filsafat pada Dunia Islam dan kaum Muslimin.
Meskipun
pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam
hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri. Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles
yang menyatakan bahwa waktu dan benda
adalah kekal. Dan untuk membuktikan hal
tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika. Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan
Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta
pendapat Plato yang menyatakan bahwa
cita bersifat membiakkan. Menurut
Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada). Semesta alam ini merupakan kesatuan dari
sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.
Sepeninggal
Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan
filsafat. Filosof-filosof itu
diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal.
Al-Farabi
sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika)
kepada dunia Islam. Berbagai karangan
Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah
diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab.
Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir
deduktif maupun induktif. Disamping itu
beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan
ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras. Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi
diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada
Aristoteles.
Kontribusi
lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya
mengklassifikasi ilmu pengetahuan.
Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan
yang berkembang pada zamannya. Al-Farabi
mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan,
matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum).
Ilmu
percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika,
sintaksis, syair, menulis dan membaca.
Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad,
preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan
mengenai syair yang baik. Ilmu logika
dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair
(puisi).
Matematika
dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri, astronomi, musik, hizab
baqi (arte ponderum) dan mekanika.
Metafisika
dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk
dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.
Politik
dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan
politika. Perkataan politieia yang
berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang
berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota. Kata ini kemudian sangat populer digunakan
untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani. Ilmu
agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).
Buku
Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini
telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah
dengan judul De Divisione Philosophae.
Karya lainnya yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin berjudul De
Scientiis atau De Ortu Scientearum. Buku
ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik dan geologi.
Ibnu Sina
dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna.
Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan
penyair. Ilmu pengetahuan yang
ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair.
Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin
oleh Gerard Cremona di Toledo. Buku ini
kemudian menjadi buku teks (text book) dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan
pada beberapa perguruan tinggi di Eropah, seperti Universitas Louvain dan
Montpelier. Dalam kitab Canon, Ibnu Sina
telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan
khasiat suatu obat. Ibnu Sina menyatakan
bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan dosis dan
ketepatan waktu pemberian. Pemberian
obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit.
Kitab
lainnya berjudul Al-Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan
nama Avendauth-Ben Daud) di Toledo. Oleh
karena Al-Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud
terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika dan De Anima.
Ibnu Sina
membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan bagian yang bersifat
praktis. Bagian yang bersifat teoritis
meliputi : matematika, fisika dan
metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi politik dan etika.
Dalam hal
logika Ibnu Sina memiliki pandangan serupa dengan para filosof Islam lainnyanya
seperti Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibnu Rushd, yang beranggapan bahwa logika
adalah alat filsafat, sebagaimana di tuliskan dalam syairnya:
Perlulah
manusia mempunyai alat
Pelindung
akal dari yang palsu
Ilmu logika
namanya alat
Alat
pencapai semua ilmu
Berbeda
dengan filosof-filosof Islam
pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat
(Spanyol). Filosof Islam lainnya yang
lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).
Ibnu baja
dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles. Menurut Ibnu Tufail, manusia dapat mencapai
kebenaran sejati dengan menggunakan petunjuk akal dan petunjuk wahyu. Pendapat ini dituangkan dengan baik dalam
cerita Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana Hayy yang tinggal pada
suatu pulau terpencil sendirian tanpa manusia lain dapat menemukan kebenaran
sejati melalui petunjuk akal, kemudian bertemu dengan Absal yang memperoleh
kebenaran sejati dengan petunjuk wahyu.
Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.
Ibnu Rushd
yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah
mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan
kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.
Ibnu Rushd
telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu : komentar besar,
komentar menengah dan komentar kecil.
Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa : Arab, Latin
dan Yahudi. Dalam komentar besar, Ibnu
Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite karya Aristoteles dengan Bahasa
Arab dan memberikan komentar pada bagian akhir.
Dalam komentar menengah ia masih
menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada komentar kecil
filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.
Pandangan
Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk
mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah
memancing kemarahan pemuka-pemuka agama,
sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan
Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya
apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam
bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy).
Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran
dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.
Pertentangan
antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh
Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul
Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk
menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance. Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari
filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis. Untuk mencapai kebenaran sejati menurut
Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme). Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian
ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence
of the Incoherence).
Kemenangan
pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya
pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam. Hoesin (1961)
menyatakan bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal
keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002)
yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan
berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.
Bersamaannya
dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan. Pada masa ini,
buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam
seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam
Bahasa Latin. Pada zaman itu Bahasa
Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah. Penterjemahan karya-karya kaum muslimin
antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di
Toledo pada Tahun 1130 – 1150 M. Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar
sampai ke Italia. Dante menulis Divina
Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW. Universitas
Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa
Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.
Seperti
halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran
Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama
Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu
disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran
dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.
Pada Tahun
1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai
berkembang lagi. Pada Tahun 1214,
Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang
bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin. Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael
Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa
latin karangan kaum muslimin.
Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas
dari hasil terjemahan Michael Scot.
Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan
Komentar Ibnu Rushd dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari
Kitab Anima.
Pekerjaan
yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya
filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu
pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan
oleh Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid
dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di
Jazirah Arab
Setelah
Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan
oleh putranya. Untuk tujuan ini putranya
mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun
1256. Hermann kemudian menterjemahkan
Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd. Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya
Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab
tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.
Pada
pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu
Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd
(Averroisme) dan paham yang menentangnya.
Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain
pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon.
Mereka yang
menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan
oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang
diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak
lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.
Jalan
Tengah: Bagaimana Seharusnya ?
Uraian
diatas menunjukkan kepada kita betapa besar sumbangan peradaban Islam terhadap
pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, yang kita kenal sekarang. Meskipun
sampai saat ini masih terdapat kecenderungan untuk menafikan pengaruh peradaban
Islam terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan. Diantaranya sebagaimana ungkapan Rene
Sedillot, yang menyatakan bahwa sumbangsih peradaban Islam terhadap peradaban
umat manusia, hanyalah berupa pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan
tanpa sejengkal tanah pun ditanami.
Semangat
mencari kebenaran yang dirintis oleh pemikir Yunani dan hampir padam oleh
karena jatuhnya Imperium Romawi, hidup kembali dalam kebudayaan Islam. Wells (1951) menyatakan bahwa jika orang Yunani
adalah Bapak Metode Ilmiah, maka kaum muslimin adalah Bapak Angkat Metode
Ilmiah. Metode Ilmiah diperkenalkan ke
dunia barat oleh Roger Bacon (1214-1294) dan selanjutnya dimantapkan sebagai
paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561-1626).
Semangat para
filosof dan ilmuwan Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tidak lepas dari
semangat ajaran Islam, yang menganjurkan para pemeluknya belajar segala hal,
sampai ke Negeri Cina sekalipun, sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an
dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Mengenai
pertentangan yang terjadi antara kaum filosof dengan kaum tasawuf, mengenai
alat yang digunakan dalam rangka mencari kebenaran sejati, yang terus berlanjut
hingga saat ini, seharusnya dapat dihindari, bilamana kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan telah
menganugerahi manusia dengan potensi akal (baca otak) dan hati/kalbu. Kedua potensi itu bisa dimiliki oleh
seseorang dalam kadar yang seimbang, namun dapat pula salah satu potensi lebih
berkembang daripada lainnya.
Orang yang
sangat berkembang potensi akalnya, sangat senang menggunakan akalnya itu untuk
memecahkan sesuatu. Orang demikian ini
lebih senang melakukan olah rasio daripada olah rasa dalam pencarian kebenaran
sejati dan sangat berbakat menjadi pemikir atau filosof.
Sementara
itu orang yang sangat berkembang potensi hati atau kalbunya, sangat senang
mengeksplorasi perasaannya untuk memecahkan suatu masalah. Orang demikian ini amat suka melakukan olah
rasa daripada olah rasio, untuk menemukan kebenaran sejati dan sangat berbakat
menjadi seniman atau ahli tasawuf. Oleh karena itu seharusnya tidak perlu
terjadi pertentangan antara ahli filsafat dan ahli tasawuf, karena keduanya
adalah anugerah tuhan yang seharusnya diterima dengan penuh rasa syukur. Seharusnya
filosof dan ahli tasawuf dapat hidup berdampingan dengan damai, dan saling
melengkapi diantara keduanya, sebagaimana cerita Ibnu Tufail dalam Hayy-Ibnu
Yakdzhan, yang telah diuraikan sebelumnya sebelumnya.
Daftar Pustaka
Durant, W. 1933. The
story of philosophy. Simon and
Schuster, New York.
Hoesin,
O.A. 1961. Filsafat
Islam. Penerbit Bulan Bintang,
Djakarta.
Praja, J.S. 2002. Filsafat dan metodologi ilmu dalam Islam.
Penerbit Teraju, Jakarta
Sarton, G. 1927. Introduction
To The History Of Science. Baltimore
Suriasumantri, J.S. 2002. Filsafat
Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, cetakan ke-
No comments:
Post a Comment