PENDAHULUAN
Kawin
hamil merupakan fenomena yang semakin marak di masyarakat akhir-akhir ini.
Bahkan seolah-olah kawin hamil telah menjadi bagian dari budaya yang berkembang
dalam masyarakat kita. Seandainya pada setiap perkawinan, Pegawai Pencatat
Nikah mencatat pasangan yang kawin hamil, pasti akan diperoleh data yang dapat
membuat kita tercengang. Prosentase perkawinan yang dicatat mungkin didominasi oleh
kawin hamil. Namun yang menjadi persoalan adalah banyak orang di sekitar kita
yang belum tahu tentang hukum kawin hamil itu sendiri, untuk itu dalam makalah
ini kami akan mengungkap misteri dibalik kawin hamil dilihat dari kacamata
islam.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
Yang dimaksud dengan “kawin
hamil” disini ialah kawin dengan seorang wanita yang hamil di luar nikah, baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki bukan yang
menghamilinya.
Hukum kawin dengan wanita yang
hamil diluar nikah, para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut :
1.
Ulama
mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) berpendapat bahwa
perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri, dengan
ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia yang
mengawininya.
2.
Ibnu
Hazm (Zhahiriyah) berpendapat bahwa keduanya boleh (sah) dikawinkan dan boleh
pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan menjalani hukuman
dera (cambuk), karena keduanya telah berzina. Pendapat ini berdasarkan hukum
yang telah pernah diterapkan oleh sahabat nabi antara lain:
a.
Ketika
Jabir bin Abdilah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah
berzina, beliau berkata: “boleh mengawinkannya, asal keduanya telah betaubat
dan memperbaiki sifat-sifatnya”.
b.
Seorang
laki-laki tua menyatakan keberatannya kepada Khalifah Abu Bakar dan berkata: Ya
Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan inginkan agar
keduanya dikawinkan. Ketika itu Khalifah memerintahkan kepada sahabat lain
untuk melakukan hukuman dera (cambuk), kemudian dikawinkannya.
Selanjutnya mengenai pria yang
kawin dengan wanita yang dihamili oleh orang lain, terjadi perbedaan pendapat
para ulama :
a.
Imam
Abu Yusuf, mengatakan keduanya tidak boleh dikawinkan. Sebab bila dikawinkan
perkawinannya itu batal (fasid). Pendapat beliau itu berdasarkan firman Allah:
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan kepada perempuan yang berzina atau perempuan musyrik, dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
beriman (Q.S.An-Nur
Maksud ayat tersebut adalah,
tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang
berzina. Demikian pula sebaliknya, wanita yang beriman tidak pantas kawin
dengan pria yang berzina.
Ayat tersebut di atas diperkuat
oleh hadist Nabi:
ﺍﻦ ﺮﺠﻼ ﺗﺯﻮﺝ ﺍﻤﺮﺃ ﺓ ﻔﻠﻤﺎ ﺍﺻﺎ ﺒﻬﺎ ﻮ ﺠﺪ ﻫﺎﺤﺑﻠﻰ ٬ﻓﺮﺟﻊ ﺫﻠﻙ ﺍﻠﻰ ﺍﻠﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻮ ﺴﻠﻢ ٬ﻓﻔﺮﻖ ﺒﻴﻧﻬﻣﺎ ﻮ ﺠﻌﻞ ﻠﻬﺎ ﺍﻠﺼﺪﺍﻖ ﻮ ﺠﻠﺪ ﻫﺎ ﻤﺎ ﺌﺔ׳
Sesungguhnya seorang leki-laki
mengawini seorang wanita, ketika ia mencampurinyaia mendapatkannya dalam
keadaan hamil, lalu dia laporkan kepada Nabi SAW. Kemudian Nabi menceraikan
keduanya dan wanita itu diberi maskawin, kemudian wanita itu didera (dicambuk)
sebanyak 100 kali.
Ibnu Qudamah sependapat dengan
Imam Abu Yusuf dan menambahkan bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita
yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain kecuali dengan dua
syarat:
1)
Wanita
tersebut telah melahirkan bila ia hamil. Jadi dalam keadaan hamil ia tidak
boleh kawin.
2)
Wanita
tersebut telah menjalani hukuman dera (cambuk), apakah ia hamil atau tidak.
b.
Imam
Muhammad bin Al- Hasan Al- Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah
tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits:
ﻻﺘﺆﻄﺄﺤﺎﻤﻼﺤﺘﻰﺘﻀﻊ
Janganlah engkau campuri wanita
yang hamil, sehingga lahir (kandungannya).
3.
Imam
Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa perkawinan itu dipandang sah,
karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah).
Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi
yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya. Sedangkan bayi tersebut bukan
keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak di luar nikah).
Dengan demikian, status anak itu
adalah sebagai anak zina, bila pria yang mengawini ibunya itu bukan pria yang
menghamilinya. Namun bila pria yang mengawini ibunya itu, pria yang
menghamilinya, maka terjadi perbedaan pendapat:
a)
Bayi
itu termasuk anak zina, bila ibunya dikawini setelah usia kandungannya berumur
4 bulan ke atas. Bila kurang dari 4 bulan, maka bayi tersebut adalah anak
suaminya yang sah.
b)
Bayi
itu termasuk anak zina, karena anak itu adalah anak di luar nikah, walaupun
dilihat dari segi bahasa, bahwa anak itu adalah anaknya, karena hasil dari
sperma dan ovum bapak dari ibunya itu.
c)
Dalam
kompilasi hukum Islam, masalah kawin hamil dijelaskan sebagai berikut :
Pasal 53
1)
Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
2)
Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
3)
Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak dipelukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Terjadinya wanita hamil di luar
nikah (yang hal ini sangat dilarang oleh agama, norma, etika, perundang-undangan
negara), selain karena adanya pergaulan bebas, juga karena lemah (rapuhnya)
iman pada masing-masing pihak. Oleh karenanya, untuk mengantisipasi perbuatan
yang keji dan terlarang itu, pendidikan agama yang mendalam dan kesadaran hukum
semakin diperlukan.
B.
ANALISIS.
Kami sependapat dengan para
ulama yang mengatakan bahwa laki-laki yang berzina halal menikahi wanita yang
berzina pula. Dengan demikian perkawinan antara pria dengan wanita yang
dihamili sendiri adalah sah. Mereka boleh bersetubuh sebagaimana layaknya suami
isteri, ini juga tidak bertentangan dengan isi surat An-Nur ayat (3), karena
mereka statusnya sebagai orang yang berzina.
Adapun menurut pendapat Ibnu
Hazm dan Jabir bin Abdilah yang berpendapat bahwa keduanya boleh (sah)
dikawinkan dan boleh pula bercampur, dengan ketentuan, bila telah bertaubat dan
menjalani hukuman dera (cambuk), kami kurang setuju karena apa, karena hukum
yang seperti itu dilaksanakan di Arab sana yang notabenenya menggunakan hukum
islam, akan tetapi negara kita bukanlah negara islam, jadi apakah hukum itu
layak utuk kita terapkan? Tentunya tidak bukan? padahal didalam undang-undang
kita tidak ada hukuman seperti itu. Untuk itu kami sepakat dengan pendapat
Ulama mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) yang berpendapat
bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur sebagaimana suami istri,
dengan ketentuan, bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian ia
mengawininya. Seperti Ketentuan mengenai kawin hamil dalam Pasal 53 KHI yang
merupakan ketentuan baru dalam hukum perkawinan di Indonesia Dalam Pasal 53
disebutkan bahwa seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan
pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan
dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
lagi setelah anak yang dikandungnya lahir.
Apabila yang mengawininya bukan
yang menghamilinya, perkawinan itu menurut kami tetap sah karena perkawinan itu
tidak terikat dengan perkawinan orang lain (tidak ada masa ‘iddah), disamping
itu karena tidak ada dalil atau illat yang melarangnya. Sehingga hukumnya boleh
dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang setelah melahirkan.
Karena sesungguhnya illat (titik point) larangan hal itu adalah tercampurnya
sperma seseorang dengan sperma orang lain dalam satu rahim yang sama. Sedangkan
kita tahu bahwa wanita itu hamil diluar nikah, artinya ketika proses perkawinan
dilaksanakan keadaan wanita itu sudah hamil duluan, jadi walaupun yang
mengawini bukan orang yang menghamili menurut kami tidak masalah karena tidak
mungkin sel sperma itu bercampur antara yang menghamili dengan yang mengawini
sedangkan di dalam rahim sang wanita sudah terdapat janin. Islam melarang
wanita untuk poliandri adalah karena salah satu sebabnya dikhawatirkan dua sel
sperma itu akan bercampur dalam satu rahim yang bisa membuat kita kesulitan
untuk menentukan nasab siapa si anak tersebut. Karena pernikahan antara mereka
menurut kami sudah sah di mata hukum negara, juga sah di sisi Allah SWT. Bahkan
selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan hubungan
suami isteri karena sudah ada ikatan perkawinan di antara keduanya.
Akan tetapi tidak jarang kalau ada, bahkan seringkali ada orang yang tetap mengharamkan permasalahan ini, kami juga tidak bisa menyalahkan begitu saja karena semu orang mungkin punya interpretasi sendiri-sendiri dalam memahami suatu dalil, dalam menafsirkan mungkin ada Ulama’ yang secara normatif saja akan tetapi ada yang secara kontekstual, sehingga sudah sangat wajar bila terjadi perbedaan beberapa pendapat. Mungkin juga karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya.
Akan tetapi tidak jarang kalau ada, bahkan seringkali ada orang yang tetap mengharamkan permasalahan ini, kami juga tidak bisa menyalahkan begitu saja karena semu orang mungkin punya interpretasi sendiri-sendiri dalam memahami suatu dalil, dalam menafsirkan mungkin ada Ulama’ yang secara normatif saja akan tetapi ada yang secara kontekstual, sehingga sudah sangat wajar bila terjadi perbedaan beberapa pendapat. Mungkin juga karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya.
Satu hal lagi menurut kami yang
perlu dijelaskan duduk perkaranya adalah perbedaan hukum antara dua istilah.
Istilah yang pertama adalah 'wanita pezina', sedangkan yang kedua adalah
'wanita yang pernah berzina'.
Antara keduanya sangat besar
bedanya. Wanita pezina itu adalah wanita yang pernah melakukan zina, belum
bertaubat, bahkan masih suka melakukannya, baik sesekali atau seringkali.
Bahkan mungkin punya pandangan bahwa zina itu halal.
Wanita yang bertipologi seperti
ini memang haram dinikahi, sampai dia bertaubat dan menghentikan perbuatannya
secara total. Dan secara tegas, Allah SWT telah mengaharamkan laki-laki muslim
untuk menikahi wanita pezina. Dan wanita seperti inilah yang dimaksud di dalam
surat An-Nur:3.
Adapun wanita yang pernah
berzina, lalu dia menyesali dosa-dosanya, kemudian bertaubat dengan taubat
nashuha, serta bersumpah untuk tidak akan pernah terjatuh di lubang yang sama
untuk kedua kalinya, maka wanita seperti ini tidak bisa disamakan dengan wanita
pezina. Ayat di atas tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan pernikahan
bagi dirinya, hanya lantaran dia pernah jatuh kepada dosa zina.
No comments:
Post a Comment