mata kuliah Tafsir Hadits Ekonomi
A.
Latar
Belakang
Dalam bertransaksi (
jual – beli ) di semua kegiatan berekonomi tentunya tidak akan terlepas dari
sebuah penawaran, baik yang dilakukan oleh penjual atau pembeli, dalam islam
disebut dengan istilah khiyar artinya tawar – menawar. Pada makalah ini
penyusun akan coba membahas mengenai tawar – menawar dalam Islam, landasan Hukum serta Tafsir ayatnya.
Di abad modern yang serba canggih, dimana
sistem jual beli semakin mudah dan praktis, masalah khiyar ini tetap
diberlakukan, hanya tidak menggunakan kata-kata Khiyar dalam mempromosikan
barang-barang yang dijualnya, tetapi dengan ukapan singkat dan menarik,
misalnya: “Teliti sebelum membeli”. Ini berarti bahwa pembeli diberi hak Khiyar
(memiih) dengan hati-hati dan cermat dalam menjatuhkan pilihannya untuk
membeli, sehingga ia merasa puas terhadap barang yang benar-benar ia inginkan.
B.
Pengertian
Khiyar
Kata al-Khiyar
dalam bahasa arab berarti pilihan. Secara bahasa, khiyar artinya: Memilih,
menyisihkan, dan menyaring. Secara umum artinya adalah menentukan yang terbaik
dari dua hal (atau lebih) untuk dijadikan orientasi.
Sedangkan menurut istilah
ulama fiqih, khiyar artinya: Hak yang dimiliki orang yang melakukan perjanjian
usaha untuk memilih antara dua hal yang disukainya, meneruskan perjanjian
tersebut atau membatalkannya. Pembahasan al-Khiyar dikemukakan para
ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata
khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang
melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi
dimaksud.
Secara termonologi,
para ulama fiqh telah mendefinisikan al-khiyar, antara lain menurut
Sayyid Sabiq:
الخيارُ هُو
طَلَبُ خَيْرُ الْلأَمْرَيْنِ مِنَ الاِمْضَاءِ أَوْ الاِلْغَاءِ.
Khiyar adalah mencari
kebaikan dari dua perkara, melangsungkan atau meninggalkan (jual-beli).
Sedangkan menurut wahbah al-Zulaily
mendifinisikan khiyar :
اَنْ يَكُوْنَ لِلْمُتَعَا قِدِ الْحَقُّ فِى
اِمْضَاءِ الْعَقْدَ اَوْ فَسْخِهِ اِنْ كَانَ الْخِيَاَرُ خِيَارُ شَرْطٌ اَوْ
رُؤْسَةٍ اَوْ عَيْبٍ اَوْ اَنْ يَخْتَارَ اَحَدُ اْلبَيْعَيْنِ اِنْكِانَ
اْلخِيَارُ خِيَارُ تَعْيِيْنٍ
Artinya : “suatu
keadaan yang menyebabkan aqid (orang yang akad ) memiliki hak untuk memutuskan
akadnya yakni menjadikan atau membatalkannya jika khiyar tersebut berupa khiyar
syarat khiyar aib, khiyar ru’yah atau hendaklah memilih diantara dua barang
jika khiyar ta;yin.”( Al – Juhaili. 1989 : 250.).
Hak khiyar
ditetapkan syariat islam bagi orang-orang yang melakukan transaksi perdata agar
tidak dirugikan dalam transaksi yang mereka lakukan, sehingga kemaslahatan yang
dituju dalam suatu transaksi tercapai dengan sebaik-baiknnya. Tujuan diadakan
khiyar oleh syara’ berfungsi agar kedua orang yang berjual beli dapat
memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi
penyesalan di kemudian hari karena merasa tertipu.
Jadi, hak khiyar itu ditetapkan dalam islam
untuk menjamin kerelaan dan kepuasan timbal balik pihak-pihak yang melakukan
jual beli. Dari satu segi memang khiyar (opsi) ini tidak praktis karena
mengandung arti ketidakpastian suatu transaksi, namun dari segi kepuasan pihak
yang melakukan transaksi, khiyar ini yaitu jalan terbaik.
C.
Landasan Hukum
Khiyar
Al-Quran
surat :
يا ايَّهَا الّذِيْنَ
اَمَنُوْا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِا لْبَاطِلِ اِلاَّ أَنْ
تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَضٍ مِّنْكُمْ (النساء, 4. 29)
Artinya : “ Hai
orang-orang yang beriman, janglah kalian saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil kecuali dengan jalan perniagaan berlaku dengan suka sama suka
diantara kamu (an-Nisa’ (4:29)
Ayat ini menerangkan
hukum transaksi secara umum, lebih khusus kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Dalam ayat ini Allah mengharamkan orang beriman
untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan, (dan segala bentuk transaksi lainnya)
harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh
syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan jalan
perdagangan dengan asas saling ridha,
saling ikhlas. . . .
Yang diperbolehkan dalam memakan harta orang
lain adalah dengan jalan perniagaan yang saling “berkeridhaan” (suka sama suka)
di antaramu (kedua belah pihak). Walaupun kerelaan adalah sesuatu yang
tersembunyi di lubuk hati, tetapi indikator dan tanda-tandanya dapat terlihat.
Ijab dan qabul, atau apa saja yang dikenal dalam adat kebiasaan sebagai serah
terima adalah bentuk-bentuk yang digunakan hukum untuk menunjukkan kerelaan.
Al-Hadist
البَيْعَانِ بِا لْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا, فَاِنْ صَدَّقَا
وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِيْ بَيْعِهِمَا وَاِنْ كَتَمَا وَكَذَّبَا
مُحِقَّتْ بَرْكَةُ بَيْعِهِمَا (رواه البخاري ومسلم)
Artinya : “Dua orang
yang melakukan jual beli boleh melakukan khiyar selama belum berpisah. Jika
keduanya benar dan jelas maka keduanya diberkahi dalam jual beli mereka. Jika
mereka menyembunyikan dan berdusta, maka akan dimusnahkanlah keberkahan jual
beli mereka”. (HR.Bukhori Muslim)
Artinya, bagi
tiap-tiap pihak dari kedua belah pihak ini mempunyai hak antara melanjutkan
atau membatalkan selama keduanya belum berpisah secara fisik.
Dalam kaitan pengertian berpisah dinilai sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Di rumah yang kecil, dihitung sejak salah seorang keluar. Di rumah besar, sejak
berpindahnya salah seorang daru tempat duduk kira-kira dua atau tiga langkah.
Jka keduanya bangkit dan pergi bersama-sama maka pengertian berpisah belum ada.
ثم أنت بالخيار في كل سلعة ابتعتها ثلاث ليال فإن
رضيت فأمسك وإن سخطت فاردد.
Artinya
“Kemudian engkau mempunyai hak pilih setiap barang yang engkau beli
selama tiga malam, bila engkau rela maka peganglah (ambillah) dan bila engkau
benci maka kembalikanlah”.
* Hanafiyah, jafar dan syafi’iyah berpendapat
bahwa khiyar dibolehkan dengan waktu yang ditentukan selagi tidak lebih dari tiga hari. Karena menurut mereka waktu tiga hari itu cukup untuk memenuhi kebutuhan seseorang. Dengan demikian jika melewati
tiga hari, jual – beli tersebut batal. Akad tersebut akan tetap menjadi shahih
jika tidak melewati batas tiga hari, akan tetapi jika melewati tiga hari maka
akadnya menjadi tidak syah.
* Imam syafi’I
berpendapat khiyar yang melebihi tiga hari membatalka jual – beli, sedangkan
bila kurang dari tiga hari, hal itu adalah rukhsah ( keringanan ).
* Hambali
berpendapat khiyar itu diperbolehkan menurut kesepakatan orang yang berakad,
baik sebentar maupun lama, sebab khiyar syarat sangat berkaitan dengan orang
yang memberi syarat.
* Malikiyah
berpendapat bahwa khiyar syarat dibolehkan sesuai kebutuhan
Ijma’ Ulama
Ulama berbeda pendapat mengenai sampai dimana
batas “berkeridhaan” itu. Satu golongan berkata, sempurnanya berlaku
berkeridhaan pada kedua belah pihak adalah sesudah mereka berpisah setelah
dilakukan akad. Menurut Syaukani,yang dihitung jual beli itu adalah adanya
ridha hati, dengan senang, tapi tidak harus dengan ucapan, bahkan jika
perbuatan dan gerak-gerik sudah menunjukkan yang demikian, maka itu sudah cukup
dan memadai. Sedangkan Imam Sayafi’i dan Imam Hanafi mensyaratkan akad itu
sebagai bukti keridhaanya.
Ridha itu adalah suatu tindakan tersembunyi
yang tidak dapat dilihat, sebab itu wajiblah menggantungkannya dengan satu
syarat yang dapat menunjukkan ridha itu ialah dengan akad.
Pendapat para Ulama
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, status Khiyar
dalam pandangan ulama Fiqh adalah disyariatkan atau dibolehkan, karena suatu
keperluan yang mendesak dalam mempertimbangkan kemaslahatan masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Menurut Rasyid Khiyar syarat yaitu khiyar yang
dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, seperti
kata si penjual,” saya jual barang ini dengan harga sekian dengan syarat khiyar
dalam tiga hari atau kurang dari tiga hari,”
Menurut Imam Syafi’i
Bahwa jual beli
tidak sah menurut syari’at melainkan jika ada disertai dengan kata-kata yang
menandakan persetujuan,
Menurut Imam Malik,
Abu Hanifah, dan Imam Ahmad
Bahwa cukup dengan
dilakukannya serah terima barang yang bersangkutan karena perbuatan yang
demikian itu sudah dapat menunjukkan atau menandakan persetujuan dan suka sama
suka.
Islam itu bukan liberal kapitalis, yaitu
sebuah sistem perekonomian yang sekarang ini dilaksanakan oleh barat, dimana
mereka memberikan kekuasaan mutlak kepada individu untuk mengeruk harta
kekayaan alam semesta ini tanpa memperhatikan asas keadilan, kebersamaan dan
kerelaan. Lawannya adalah
komunis sosial, yang semua harta ini adalah milik negara, tidak ada individu
yang berhak menguasai. Dua sistem ini berusaha saling menghancurkan dan
mengambil pengaruh di ekonomi dunia. Walaupun diakui atau tidak, kedua sistem
ini sudah terbukti kegagalannya, dengan banyaknya pegangguran, kemiskinan dan
banyak negara-negara penganutnya yang bangkrut.
Sistem ekonomi Islam
itu sungguh luar biasa. Sebuah sistem yang mendasarkan kepada nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, kebersamaan, kejujuran, jauh dari kedhaliman dan riba.
Karenanya, banyak pakar perekonomian dunia mulai melirik sistem perekonomian
Islam, karena siapapun yang mempraktekkan sistem Islam dengan benar dan
professional insya Allah ia akan sukses.
Pada ayat ini (an-Nisa`:
29) adalah merupakan salah satu gambaran kecil dari kesempurnaan Islam, dimana
Islam menegaskan bahwa kita diajari oleh Allah bagaimana berbisnis dengan
benar.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا yang diseru adalah orang-orang beriman karena yang mau sadar, mau tunduk,
mau berubah, mau ikut aturan itu adalah orang beriman. Kalau kita mengaku
beriman, tatapi kita masih ragu tentang kebenaran sistem perekonomian Islam,
seperti kita masih ragu keharamannya transaksi dengan riba dan bank
konvensional, maka keimanan kita perlu dipertanyakan. Karena itulah Allah
memanggil orang yang beriman secara tegas, agar mereka sadar untuk mau tunduk.
لَا تَأْكُلُوا Meskipun yang disebutkan di sini hanya “makan”, tetapi yang dimaksud adalah
segala bentuk transaksi, baik penggunaan maupun pemanfaatan. Al-Quran sering
menggunakan redaksi mana yang lebih menjadi prioritas. Artinya harta itu pada
umumnya untuk dimakan, tapi bukan berarti memanfaatkannya boleh.
أَمْوَالَكُمْ :(harta kalian). Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya harta adalah
adalah milik umum, kemudian Allah memberikan hak legal kepada pribadi untuk
memiliki dan menguasainya, tetapi dalam satu waktu Islam menekannya kewajiban
membantu orang lain yang membutuhkan. Perlu diketahui, bahwa kalaupun harta itu
sudah menjadi milik pribadi tapi bukan berarti kita diperbolehkan untuk
menggunakannya kalau digunakan dalam hal yang tidak dibenarkan syariat, maka
harta itu juga tidak boleh digunakan. Apalagi kalau kita mendapatkan harta tersebut dari orang lain
dengan cara batil: tidak sesuai aturan syara`.
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً Harta itu didapatkan dengan transaksi
jual beli (perdagangan) yang didalamnya terjadi transaksi timbal balik. Selama
transaksi tersebut dilakukan sesuai aturan syar`I, maka hukumnya halal. Tentu
transaksi jual beli ini, tidaklah satu-satu cara yang halal untuk mendapatkan
harta, disana ada hibah, warisan dll.
Para ulama mengatakan عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ (kalian saling ridha): Jual
beli itu harus dilandasi dengan keikhlasan dan keridloan. Artinya tidak boleh
ada kedhaliman, penipuan, pemaksaan dan hal-hal lain yang merugikan kedua
pihak. Oleh karena itu,
pembeli berhak mengembalikan barang yang dibeli ketika mendapati barangnya
tidak sesuai dengan yang diinginkan. Tentang kejujuran, sejarah Islam telah
mencatat banyak kisah tentang hal itu. Di antaranya, sebagaimana dikisahkah
oleh Imam Ghazali, yang dinukil oleh Syaikh Yusuf Qordhawi dalam bukunya “al-
Iman wal-Hayah”, bahwa Yunus bin Ubaid berjualan pakaian dengan harga yang
beragam. Ada yang berharga 200 dirham dan ada juga 400 dirham. Ketika ia pergi
untuk sholat, anak saudaranya menggantikan untuk menjaga kios. Pada saat itu
datang seorang Arab Badui (kampung) membeli pakaian yang berharga 400 dirham.
Oleh sang penjuan diberikan pakaian yang berharga 200 dirham. Pembeli merasa
cocok dengan pakaian yang ditawarkan, maka dibayarlah dengan 400 dirham. Badui
tersebut segera pergi dan menenteng pakaian yang baru ia beli. Dalam
perjalanan, ia bertemu dengan Yunus bin Ubaid. Ia sangat paham bahwa pakaian
yang di beli Badui tersebut adalah berasal dari kiosnya. Maka ditanyakanlah,
“Berapa harga pakaina ini?” “Empat ratus dirham”. Yunus menjawab, “
Harganya tidak lebih dari dua ratus dirham, mari kita kembali untuk
kukembalikan kelebihan uangmu”. Badui tersebut menjawab “Ditempat lain pakaian
semacam ini harganya 500 dirham, dan saya sudah merasa senang”. “Mari kembali
bersamaku, karena dalam pandangan agama kejujuran lebih berharga dari dunia
seisinya” Sesampainya di kios, dikembalikannya sisi uang pembelian tersebut
sebanyak 200 dirham.
Penyebutan transaksi
perdagangan (bisnis) secara tegas dalam ayat ini menegaskan keutamaan berbisnis atau
berdagang. Dalam bayak hadist diterangkan tentang keutamaan berbisnis di
antaranya adalah
“Mata pencaharian
yang baik adalah mata pencaharian pedagang yang jujur. Kalau menawarkan tidak
bohong, kalau janji tidak nyalahi, kalau jadi konsumen, jadi konsumen yang
baik, jangan mencari-cari cacatnya, kalau jadi pedagang tidak memuji-muji
barangnya sendiri. (promosi boleh, tapi yang wajar, dan riel). Kalau punya
hutang tidak menunda, kalau memberikan hutang pada orang lain melonggarkan
(HR. al-Baihaqi).
Dalam hadits lain
Rasulullah bersabda, “Pedagang yang jujur, yang amanah, dia nanti di akherat
kedudukannya bersama para Nabi, para shidiqin dan para syuhada” (HR.
ad-Daruqudni).
Dalam hadits-hadits
tersebut Rosulullah saw. telah mengajarkan prinsip-prinsip berbisnis yang
benar. Sehingga apabila seorang pedagang melaksanakannya, maka ia akan sukses
dan barokah. Sebagaimana dalam sebuah kisah dikatakan, bahwa ada seorang syekh,
dia pedagang. Dia shalat, diwakilkan kepada keponakannya, lalu datang orang
kampung mau membeli. Diapun membeli dengan harta yang sudah disepakati. Setelah
syekh tadi selesai, diberi tahu hal tersebut. Dia menyuruh agar pembeli
tersebut dicari, karena harga yang diberikan itu adalah harga kemarin, padahal
si pembeli sudah rela dengan harga tersebut.
Penutup
Khiyar merupakan Kegiatan tawar-menawar yang dilakukan sebelum
terjadinya aqad jual beli, khiyar dianjurkan dan telah disyariatkan oleh Islam
agar tercapainya suatu jual beli yang di ridhai Allah da tidak memberatkan
kedua belah pihak.
Pustaka
•
Sudarsono, Heri. 2004. Konsep Ekonomi Islam.
Yogyakarta.
•
Ahmad Mustofa Al-Maraghi.1993. Terjemahan
Tafsir Al-Maraghi. Cetakan kedua. Semarang:PT. Karya Toha.
•
Abdullah bin Muhammad Ath-Tayyar Dkk. 2009.
Ensiklopedi Fiqh Muammalah. Cetakan kedua. Yogyakarta: maktubah Al-Hanif.
No comments:
Post a Comment