Mata Kuliah Hukum Perdata
PENDAHULUAN
Menyadari
pentingnya posisi hukum islam dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang
dikatakan Joseph Schacht “Hukum islam menempati posisi sentral dan menjadi inti
serta jantung dari agama islam itu sendiri”. Karena wajar islam seringkali
disebut sebagai agama hukum. Dan dimakalah ini kami akan menguraikan sedikit
yang bisa kami pahami tentang hukum waris. Hukum kewarisan islam merupakan
persoalan penting dalam Islam, dan merupakan tiang diantara tiang-tiang hukum
yang secara mendasar tercermin langsung dari teks-teks suci yang telah
disepakti keberadaannya. Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, keberadaan hukum
kewarisan islam dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci, sistematis,
konkrit, dan realistis.
Pemaparan
tentang kewarisan sampai berimplikasi pada keyakinan ulama tradisionalis bahwa
hukum kewarisan islam tidak dapat berubah dan menolak segala ide pembaharuan.
Hal ini terlihat dari teks kitab-kitab fikih klasik yang menyebut hukum kewarisan
islam dengan ilmu “faraidh”. Kata faraidh merupakan jamak dari fa-ri-dla
yang berarti ketentuan, sehingga ilmu faraidh diartikan dengan ilmu bagian yang
pasti. Di negara indonesia juga terdapat hukum positif yang diberlakukan untuk
masyarakat. Dalam hukum positif di indonesia, keberlakuan hukum kewarisan telah
dengan jelas ditunjukan oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama. Dan ada yang menetapkan ketentuan kewarisan hukum islam yang tertuang
dalam Keputusan Presiden nomo 1 tahun 1991 tentang kompilasi hukum kewarisan
islam.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
WARIS
Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau dikenal
dengan istilah faraidh. Merupakan bentuk jamak dari faridah, yang
diartikan oleh para ulama faradiyun semakna dengan kata mafrudah,
yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Kata fardu sebagai suku
kata dari kata faridah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti.
Menurut istilah, mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris
yang telah ditetapkan dan ditentukan besar kecilnya oleh syara’.
Sebagian ulama fadirayun, mendifinisikan ilmu faraidh sebagai
berikut: “Ilmu fiqih yang bertautkan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan
tentang cara penghitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian pusaka dan
pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk
setiap pemilik hak pusaka”.
Hasbi Ash-Siddieqy, dalam bukunya fiqih mawaris mendifinisikan ilmu
faraidh sebgai berikut: “Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima
pusaka, serta kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara
pembagiannya”. Atau dengan redaksi yang lain: “Beberapa kaidah yang terpetik
dari fiqih dan hisab untuk mengetahui secara khusus mengenai segala yang
mempunyai hak terhadap peninggalan si mati dan bagian ahli waris dari harta
peninggalan tersebut”.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pada pasal 171: “Hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dalam hukum waris berlaku juga suatu asas, bahwa apabila seorang
meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada
sekalian ahli warisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah perancis
yang berbunyi: “le mort saisit le vif,” sedangkan pengoperan segala hak
dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahli waris itu dinamakan “saisine”.
Menurut pasal 843 B. W. Seorang ahli waris berhak untut menuntut supaya segala
apa saja yang termasuk harta peninggalan si meninggal diserahkan padanya
berdasarkan haknya sebagai ahli waris.
B.
SUMBER
HUKUM KEWARISAN ISLAM
Sebagian ulama kontemporer beranggapan dalam hal-hal tertentu yang
dianggap tidak prinsipil, bisa saja ditafsirkan dan direkonstruksi sesuai
dengan kondisi dan kemungkinan yang dapat dipertimbangkan, sehingga hukum
mawaris islam harus mampu diterjemahkan dalam lingkup masyarakat yang
mengitarinya. Syarat penerjemahan hukum kewarisan islam dengan pertimbangan
berbagai variabel masyarakat adalah; Pengertian
mendasar dari hukum kewarisan islam tersebut harus bersifat universal sesuai
dengan fitrah Al-qur’an. Dengan demikian, operasional hukum kewarisan islam tidak
bertentangan dengan nafas Al-Qur’an dan konteks masyarakat.
Hukum kewarisan islam merupakan salah satu bentuk perhatian
terhadap pemeliharaan harta peninggalan seorang muslim. Disamping itu, hukum
kewarisan islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an untuk tidak
meninggalkan ahli waris (keturunan) dalam keadaan lemah. Rangkaian pengertian
dan ketentuan yang ada dalam hukum kewarisan merupakan hukum aplikatif, bukan
teoritik. Pengamalannya bersifat wajib ‘ain dan mempelajarinya merupakan
kewajiban kolektif (fardlu kifayah).
Asaf A. A. Fyzee melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa huku
kewarisan Islam terdiri dari dua unsur yang berlainan:
1.
Adat
kebiasaan arab purbakala.
2.
Peraturan
yang diatur Al-Qur’an dan dibawah oleh nabi.
Adat dan kebiasaan orang arab purbakala selalu memberikan harta
kepada siapapun yang diinginkan, walaupun harus menyingkirkan
saudara-saudaranya, sedangkan kaum perempuan tidak mendapat hak sebagai ahli
waris. Harta warisan hanya diperuntukan kepada laki-laki dewasa yang mampu berperang
serta tolan perjanjian. Adat kebiasaan arab jahiliyah tersebut kemudian dibatalkan
dengan turunnya surat An-Nisa’ ayat 11. Artinya: “Allah mensyari’atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian anak
laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu semuannya
perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh
harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) dan sudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunggunya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q. S. An-Nisa’: 11).
Dengan turunya ayat tersbut, maka kewarisan model jahiliyah telah
terhapus dan dengan sendirinya tidak dapat dijadikan pedoman dalam pembagian
harta waris. Sumber-sumber hukum Islam itu adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan
Ijtihad. Ketiga sumber ini pula yang menjadi dasar hukum kewarisan islam. Salah
satu ayat yang menyinggung tentang hal ini adalah surat An-Nisa’ ayat 59. Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah (Rasul)-Nya dan
Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepda Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah)”. (Q. S.
An-Nisa’; 59).
Ayat ini memberi pengertian bahwa orang mu’min diharuskan untuk
taat kepada Allah, Rasul, dan Ulil Amri. Hal ini dapat diberi pengertian bahwa
seorang mu’min dalam memecah berbagai persoalan harus berdasarkan dari pada
ketiga sumber terdebut.
1.
AL-QUR’AN
Al-Qur’an merupakan sumber pokok hukum islam. Karena itu,
kendatipun sumber hukum kewarisan ada tiga, tetapi kedua hukum sesudah Al-Qur’an
(Sunnah Rasul dan Ijtihad) harus tetap mengacu pada Al-Qur’an. Pertama kelompok
ayat kewarisan inti, yaitu ayat-ayat yang langsung menjelaskan pembagian waris
dan bagian-bagiannya yang telah ditentukan jumlahnya. beberapa ayat-ayat
tersebut adalah:
a.
Surat
An-Nisa’ ayat 7
Artinya: “Bagi
orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya,
dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah diterapkan”. (Q. S. An-Nisa’; 7).
b.
Surat
An-Nisa’ ayat 12
Artinya: “Dan
bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu
mendapat seperempat harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau sudah dibayar hutang. Para istri memperoleh seperempat harta
yang ditinggalkan kamu jika kamu tidak
mempunyai anak, jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu
buat (dan) atau sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik
laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak mempunyai anak,
tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), maka bagi masing-masing kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya (dan) atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
madharat (kepada ahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai
syari’at yang benar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengtahui lagi Maha
Penyantun”. (Q. S. An-Nisa’; 12).
2.
SUNNAH
RASUL
Sebagai sumber legislasi yang kedua setelah Al-Qur’an, sunnah
memiliki fungsi sebagai penafsir atau pemberi bentuk konkrit terhadap Al-Qur’an,
pada akhirnya hadist juga dapat membentuk hukum yang tidak disebut dalam Al-Qur’an.
Bentuk nyata dari fungsi hadist sebagai konkrotisasi Al-Qur’an
dalam bidang kewarisan, misalnya hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a. Artinya:
“Berilah orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan bagiannya
masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada ashobah yang lebih
dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama.” (HR. Bukhori-Muslim).
Fungsi sunnah yang lain adalah sebagai pembentuk hukum yang tidak
disebut dalam Al-Qur’an, salah satu contoh dari fungsi tersebut adalah hadist
tentang wala’ ( warisan bekas budak yang tidak meninggalkan ahli waris),
dalam kasus demikian maka ahli warisnya
adalah orang yang memerdekakannya (HR. Bukhori Muslim), sedangkan harta orang
yang meninggal tanpa mempunyai ahli waris adalah milik Baitul al-Mal (HR. Ahmad
dan Abu Daud).
3.
IJTIHAD
Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa masalah yang
diambil dari ijtihad para sahabat. Ijma’ dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan
para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang
belum dijelaskan oleh nash yang sharih. Misalnya: “Status cucu yang ayahnya
lebih dahulu meninggal dari pada kakek yang bakal diwarisi yang mewarisi
bersama-sama dengan saudara-saudara ayahnya. Menurut ketentuan mereka, cucu
tersebut tidak mendapat bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya,
tetapi menurut kitab undang-undang hukum wasiat mesir yang meng-istinbat-kan
dari ijtihad para ulama muqoddimin, mereka diberi bagian berdasarkan wasiat
wajibah”.
C.
HUBUNGANNYA
DENGAN HUKUM WARIS NASIONAL
Di indonesia belum ada suatu ketentuan hukum tentang waris yang
dapat ditetapkan untuk seluruh warga negaranya. Oleh karena itu, hukum warisan
yang diterapkan bagi seluruh warga negara indonesia masih berbeda-beda
mengingat penggolongan warga negara.
1.
Bagi
warga negara golongan indonesia asli, pada prinsipnya berlaku hukum adat, yang
sesuai dengan hukum adat yang berlaku masing-masing daerah.
2.
Bagi
warga negara golongan indonesia asli yang beragama islam di berbagai daerah,
berlaku hukum islam yang sangat berpengaruh padanya.
3.
Bagi
orang arab pada umumnya, berlaku hukum islam secara keseluruhan.
4.
Bagi
orang-orang tionghoa dan eropa, berlaku hukum warisan dari Bugerlijk Wetboek.
Seperti penegasan tentang anak luar kawin dan anak angkat
seharusnya juga termasuk dalam bagian ini. Mengenai anak yang lahir diluar
perkawinan disebut dalam pasal 186 bahwa ia mempunyai hubungan saling mewarisi
dengan ibu dan keluarga pihak ibunya. Sedangkan mengenai anak angkat perlu ada
pengesahan bahwa sesuai dengan ketentuan hukum islam anak angkat tidak mewarisi
orang tua angkatnya. Akan tetapi, anak angkat berhak mendapatkan bagian harta
orang tua angkatnya melalui prosedur lain.
D.
FUNGSI
KEWARISAN
Islam datang menawarkan konsep kewarisan baru yang mampu menampung
seluruh aspirasi keadilan. Ada empat macam konsep baru yang ditawarkan Al-Qur’an:
Pertama, islam mendudukkan anak bersama dengan orang tua pewaris
serentak sebagai ahli waris. Sedangkan kewarisan di luar islam, orang mungkin
hanya menjadi ahli waris kalau pewaris tidak mempunyai keturunan. Kedua,
islam memberi kemungkinan saudara berserta orang tua (minimal ibu) pewaris yang
mati tanpa keturunan sebagai ahli waris. Ketiga, suami istri saling
mewarisi. Suatu hal yang bertolak belakang dengan tradisi arab jahiliyah yang
menjadikan istri sebagai harta yang dapat diwariskan. Keempat, adanya
perincian bagian tertentu bagi orang-orang tertentu dalam keadaan tertentu
pula.
Kewarisan merupakan ilmu yang berhubungan dengan harta milik, bila
dalam pembagiannya tidak transparan dan berdasarkan kekuatan hukum yang jelas,
dikhawatirkan di kemudian hari akan menimbulkan sengketa diantara ahli waris.
Begitu pentingnya ilmu kewarisan ini dapat dibuktikan melalui pesan Nabi kepada
umatnya: Dari Ahmad bin Hanbal: “Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada
orang banyak, pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang banyak, karena
aku adalah manusia yang suatu ketika mati dan ilmupun hampir hilang,
sampai-sampai dua orang bersengketa dalam urusan faraidh dan masalahnya, maka
tidak menjumpai orang yang memberi tahu bagaiman penyelesainnya”. (Basyir,
2001: 7).
Hadits Nabi tersebut merupakan penekanan akan pentingnya
mempelajari faraidh, agar umat isllam tidak mudah berselisih dikemudian hari
akibat tidak adanya orang yang mengetahui ilmu faraidh. Paling tidak ada tiga
fungsi kewarisan islam, yaitu:
1.
Sebagai
sarana prevensi kesengsaraan atau kemiskinan ahli waris sepeninggal pewaris.
2.
Sebagai
usaha preventif terhadap kemungkinan penimbunan harta kekayaan yang dilarang
oleh agama (QS. IV: 37).
3.
Sebagai
motivator setiap muslim untuk berusaha lebih giat guna memberikan kebaikan bagi
keturunan sepeninggalnya.
E.
SEBAB-SEBAB
HUBUNGAN KEWARISAN DAN PENGHALANG KEWARISAN
1.
Sebab-sebab
kewarisan
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat mewarisi terbagi atas tiga
macam, yaitu sebagai berikut:
a.
Karena
hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Seperti kedua orang tua (bapak-ibu), anak, cucu, dan saudara, serta
paman dan bibi. Singkatnya adalalah kedua orang tua, anak, dan orang yang
bernasab dengan mereka. Allah SWT, berfirman dalam Al-Qur’an Artinya: “Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagainya lebih berhak terhadap sesama
(dari pada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahua
segala sesuatu.” (Q. S. Al-Anfal: 75).
Kekerabatan artinya adanya hubungan nasab antara orang yang
mewarisi dengan orang yang diwarisi disebabkan oleh kelahiran. Kekerabatan
merupakan sebab adanya hak mempusakai yang paling kuat karena kekerabatan
merupan unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan begitu
saja.
b.
Karena
hubungan pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakuakan akad nikah yang
sah dan terjadi antara suami-istri yang melakukan pernikahan tidak sah tidak
menyebabkan adanya hak waris.
Pernikahan yang sah menurut syari’at islam merupakan ikatan untuk
mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan selama ikatan
pernikahan itu masih terjadi. Bijaksan kalau Allah memberikan sebagian tertentu
sebagai imbalan pengorbana dari jerih payahnya, bila salah satu dari keduannya
meninggal dunia dan meninggalkan harta pusaka. Atas dasar itulah, hak suami
maupun istri tidak dapat terhijab sama
sekali oleh ahli waris manapun. Mereka hanya dapat terhijab nuqsan
(dikurangi bagiannya) oleh anak turun mereka atau ahli waris yang lain.
c.
Karena
wala’
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah
memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang
dimerdekakan itu meninggalkan dunia, orang yang memerdekakan berhak mendapat
warisan. Rasulullah SAW bersabda: “Hak wala’ itu hanya bagi orang yang telah
membebaskan hamba sahaya.” (HR. Bukhori dan Muslim). Rasulullah SAW.
Menganggap wala’ sebagai kerabat berdasarkan nasab, sesuai dengan sabdanya: “Wala’
itu adalah suatu kerabat sebagai kerabat
nasab yang tidak boleh dijual dan dihibahkan.” (HR. Muslim).
2.
Sebab-sebab
penghalang kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan
tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Adapun orang yang
terhalang mendaptkan warisan ini adalah orang yang memenuhi sebab-sebab
memperoleh warisan.
a.
Perbudakan
(hamba sahaya)
Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya
sebab kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh majikannya.
Padahal majikannya adalah orang lain dari kerabat hamba sahaya yang menerima
warisan tersebut.
Para fuqoha juga telah menggariskan bahwa hamba sahaya beserta
barang-barang yang dimilikinya berada dibawah kekuasaan majikannya. Oleh karena
itu, ia tidak dapat mewarisi harta peningglan kerabatnya agar harta warisan itu
tidak jatuh ketangan majikannya.
b.
Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak boleh
mewarisi harta peninggalannya. Dasar hukum yang menetapkan pembunuhan sebagai
halangan untuk mewarisi ialah hadits Nabi SAW. Dan ijma’ para sahabat. Hadits
Rasulullah SAW: “Barang siapa membunuh seorang korban, ia tidak dapat
mempusakainya walaupun si korban itu tidak mempunyai waris selain dia, dan jika
si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima
harta peninggalannya.” (HR. Ahmad).
Adapun menurut pasal 838 telah ditetapkan ada orang-orang yang
karena perbuatannya, tidak patut menerima warisan. Mereka itu, diantaranya
ialah seorang waris yang dengan putusan hakim telah dihukum karena
dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh si meninggal. Seorang waris yang
telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat atau dengan
memakai kekerasan atau ancaman telah menghalang-halangi si meninggal untuk
membuat surat wasiat menurut kehendaknya.
Selanjutnya dalam pasal 912 ditetepkan alasan-alasan yang menurut
pasal 838 tersebut diatas, menyebabkan seorang patut menjadi waris, berlaku
juga sebgai halangan untuk dapat menerima pemberian-pemberian dalam suatu
testament, kecuali dalam pasal 912 tidak disebutkan orang yang telah mencoba
membunuh orang yang meninggalkan warisan. Jika si meninggal itu ternyata dalam
surat wasiatnya masih juga memberikan warisan pada seorang yang telah berbuat
demikian, hal itu dianggap sebagai suatu “pengampunan” terhadap orang itu.
Dalam kompilasi hukum islam diterangkan dalam pasal 173, seorang
terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tepat, dihukum karena:
Ø Dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya
berat pada pewaris.
Ø Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun
penjara atau hukuman yang lebih berat.
c.
Perbedaan
agama
Yang dimaksut perbedaan agama adalah perbedaan agama yang menjadi
kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang yang di warisi. Misalnya, agamanya
orang yang mewarisi itu kafir, sedang yang diwarisi beragam islam, maka orang
kafir tidak boleh mewarisi harta peninggalan orang islam. Rasulullah SAW.
bersabda: “Seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir
tidak boleh mewarisi orang muslim.” (HR. Bukhori-Muslim).
Ditetapkan juga dalam kompilasi hukum islam dalam pasal 172, ahli
waris dipandang islam apabila diketahui dari kartu identitasnya atau pengakuan
atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang
belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.
PENUTUP
Dari keterangan
di atas kami bisa menyimpulkan bahwa hukum kewarisan islam merupakan salah satu
bentuk perhatian terhadap pemeliharaan harta peninggalan seorang muslim.
Disamping itu, hukum kewarisan islam merupakan realisasi dari perintah Al-Qur’an
untuk tidak meninggalkan ahli waris (keturunan) dalam keadaan lemah. Rangkaian
pengertian dan ketentuan yang ada Dalam hukum kewarisan merupakan hukum
aplikatif, bukan teoritik.
Pengamalannya
bersifat wajib ‘ain dan mempelajarinya merupakan kewajiban kolektif (fardlu
kifayah). Seperti sabda Rasulullah SAW Dari Ahmad bin Hanbal: “Pelajarilah
Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang banyak, pelajarilah faraidh dan
ajarkanlah kepada orang banyak, karena aku adalah manusia yang suatu ketika
mati dan ilmupun hampir hilang, sampai-sampai dua orang bersengketa dalam
urusan faraidh dan masalahnya, maka tidak menjumpai orang yang memberi tahu
bagaimana penyelesainnya.” (Basyir, 2001: 7).
Dan juga firman
Allah SWT dalam surat An-Nisa’ ayat 11 yang bunyinya sebagai berikut Artinya: “Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan; dan jika anak itu
semuannya perempuan lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal mempunyai anak; jika yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunya beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam.
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat
atau (dan) dan sudah dibayar hutangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesunggunya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q. S. An-Nisa’: 11)
PUSTAKA
Abdul Ghofur
Anshori, Dr, S.H, MH, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Yogyakarta: UII Press,
2005.
Dian Khairul
Umam, Drs, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia Bandung, 2000.
Subekti, Prof,
S.H, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. 31, Jakarta: Intermasa, 2003.
H.
Abdurrahaman, S.H, MH, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:
Akademika Pressindo, 2007.
No comments:
Post a Comment