Pengertian qatl ar-rahmah atau taisir
al-maut (eutanasia) ialah tindakan memudahkan kematian seseorang
dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan
penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif. Yang dimaksud
taisir al-maut al-fa’al (eutanasia positif) ialah tindakan memudahkan
kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan
mempergunakan instrumen (alat).
Hal ini berbeda dengan eutanasia negatif
(taisir al- maut al-munfa’il) Pada eutanasia negatif tidak dipergunakan
alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit,
tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk memperpanjang hayatnya.
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara’. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) seperti pada contoh nomor satu tidak diperkenankan oleh syara’. Sebab yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini, dokter telah melakukan pembunuhan, baik dengan cara seperti tersebut dalam contoh, dengan pemberian racun yang keras, dengan penyengatan listrik, ataupun dengan menggunakan senjata tajam. Semua itu termasuk pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasuk dosa besar yang membinasakan.
Di antara masalah yang sudah terkenal di
kalangan ulama syara’ ialah bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak
wajib hukumnya menurut jumhur fuqaha dan imam-imam mazhab. Bahkan menurut
mereka, mengobati atau berobat ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal
ini hanya segolongan kecil yang mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh
sahabat-sahabat Imam Syafi’i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab
(sunnah).
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:”‘Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.” Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka’ab dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama: berobat ataukah bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit epilepsi. Wanita itu meminta kepada Nabi saw. agar mendoakannya, lalu beliau menjawab:”‘Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah), engkau akan mendapatkan surga; dan jika engkau mau, akan saya doakan kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.’ Wanita itu menjawab, aku akan bersabar. ‘Sebenarnya saya tadi ingin dihilangkan penyakit saya. Oleh karena itu doakanlah kepada Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya.’ Lalu Nabi mendoakan orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya.” Disamping itu, juga disebabkan banyak dari kalangan sahabat dan tabi’in yang tidak berobat ketika mereka sakit, bahkan diantara mereka ada yang memilih sakit, seperti Ubai bin Ka’ab dan Abu Dzar radhiyallahu’anhuma. Namun demikian, tidak ada yang mengingkari mereka yang tidak mau berobat itu.
Dalam kaitan ini, Imam Abu Hamid al-Ghazali
telah menyusun satu bab tersendiri dalam “Kitab at-Tawakkul” dari Ihya’
Ulumuddin, untuk menyanggah orang yang berpendapat bahwa tidak berobat itu
lebih utama dalam keadaan apa pun.
Demikian pendapat para fuqaha mengenai masalah
berobat atau pengobatan bagi orang sakit. Sebagian besar diantara mereka
berpendapat mubah, sebagian kecil menganggapnya mustahab (sunnah), dan sebagian
kecil lagi lebih sedikit dari golongan kedua berpendapat wajib.
Dalam hal ini saya sependapat dengan golongan
yang mewajibkannya apabila sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan
untuk sembuh sesuai dengan sunnah Allah Ta’ala.
Inilah yang sesuai dengan petunjuk Nabi saw.
yang biasa berobat dan menyuruh sahabat-sahabatnya berobat, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Zadul-Ma’ad.Dan paling
tidak, petunjuk Nabi saw. itu menunjukkan hukum sunnah atau mustahab.
Oleh karena itu, pengobatan atau berobat
hukumnya mustahab atau wajib apabila penderita dapat diharapkan kesembuhannya.
Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh, sesuai dengan sunnah Allah dalam
hukum sebab-akibat yang diketahui dan dimengerti oleh para ahlinya yaitu para
dokter maka tidak ada seorang pun yang mengatakan mustahab berobat, apalagi
wajib.
Apabila penderita sakit diberi berbagai macam
cara pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, diberi makan glukose dan
sebagainya, atau menggunakan alat pernapasan buatan dan lainnya sesuai dengan
penemuan ilmu kedokteran modern dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya
tetap saja tidak ada perubahan, maka melanjutkan pengobatannya itu tidak wajib
dan tidak mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya)
itulah yang wajib atau mustahab.
Maka memudahkan proses kematian (taisir
al-maut) kalau boleh diistilahkan demikian semacam ini tidak seyogyanya
diembel-embeli dengan istilah qatl ar-rahmah (membunuh karena kasih sayang),
karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter
hanya meninggalkan sesuatu yang tidak wajib dan tidak sunnah, sehingga tidak
dikenai sanksi.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan syara’ –bila keluarga penderita mengizinkannya– dan dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan si sakit dan keluarganya, insya Allah.
Analisa dan Kesimpulan
Dari paparan di atas berkaitan dengan AIDS bisa
kita simpulkan bahwa AIDS merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
menyebabkan penderitaan bagi penderita. Disamping itu bahwa AIDS adalah jenis
penyakit menular yang membahayakan bagi orang lain.
Sedangkan Eutanasia ada dua macam, pertama
Eutanasia positip yang hukumnya adalah haram dengan argumentasi dalil-dalil
yang berkaitan dengan bunuh diri jika Eutanasia tersebut atas keinginan si
penderita dan dalil-dalil yang berkaitan dengan pembunuhan jika Eutanasia
dilakukan atas keinginan orang lain misal keluarga penderita. Adapaun Eutanasia
negatif hukumnya diperbolehkan dengan alasan meninggalkan sesuatu yang tidak
wajib.
Dari penjelasan di atas bisa ditarik kesimpulan
bahwa Eutanansia positip tidak boleh dilakukan terhadap penderita AIDS.
Penderita AIDS dengan sendirinya akan mati meski tanpa metode Eutanasia negatif
karena tidak ada obat yang dapat menyembuhkan seseorang dari penyakit AIDS.
Lalu bagaimana pemecahannya padahal AIDS memiliki implikasi bahaya atau
madharat yang besar dari berbagai aspek bagi penderita maupun orang lain.
Bagi penderita, pertama bahwa AIDS adalah penyakit
berat yang tidak dapat disembuhkan, sehingga penderita AIDS hanya tinggal
menunggu kematiannya. Kedua, AIDS sangat mengganggu eksisistensi kehidupan yang
ada pada seseorang, sehingga kehidupan bagi penderita AIDS justru dianggap
menyakitkan. Ketiga, secara sosiologis AIDS menyebabkan turunnya mentalitas penderita
dalam pergaulan dengan masyarakat sekitar. Keempat, menurunnya keimanan karena
penderitaan yang tidak akan berakhir.
Bagi orang lain. Pertama, merawat penderita
AIDS menghabiskan materi, waktu dan energi. Kedua, sewaktu-waktu orang dapat
tertular AIDS jika penderita nekat menularkan penyakitnya kepada orang lain
misalnya melalui suntikan. Ketiga, masyarakat akan resah dan ketakutan dengan
penderita AIDS yang tinggal di wilayahnya. Jika kita melihat betapa besar
bahaya dan madharat penyakit AIDS ini baik bagi penderita terlebih-lebih orang
lain, maka perlu kita pikirkan lagi tentang keharaman Eutanasia positip
terhadap penderita AIDS. Bukankah tujuan syariat salah satunya adalah
mempertahankan eksistensi kehidupan, namun jika eksistensi tersebut sudah tidak
bisa lagi dipertahankan bahwa membahayakan mengapa harus dipertahankan. Dalam
kaidah fiqih dinyatakan bahwa setiap bahaya harus dihilangkan dan mencegah
kerusakan lebih didahulukan dari pada mengambil kebaikan.Wallahu a’lam bil
shawab.
No comments:
Post a Comment