PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, orang mulai
melakukan pengamatan lebih rasional terhadap alam semesta. Astronomi
berkembang, dari pengamatan bintang dan planet melebar ke studi struktur dan
evolusi alam semesta. Lahirlah Kosmologi, sains yang mencari pemahaman
fundamental alam semestaa. Menarik jika kita melihat
hubungan Sains dengan Teologi. Kosmologi Islam menjadi contoh yang sangat bagus
untuk menggambarkan hubungan harmonis di antara kedanya: bagaimana sains
membantu memahami al-Quran. Tulisan ini akan menyajikan bagaimana Islam
mengajarkan Kosmologi pada umat manusia dari literatur paling utama: al-Quran.
Dan kemudian kita akan melihat bagaimana sains membahas dalam kasus yang sama.
Bukan bermaksud untuk mencocok-cocokkan agama dengan sains atau sebaliknya. Sebagai muslim tentu percaya al-Quran mutlak
kebenarannya, walau mungkin kemampuan kita belum cukup memahami maknanya.
Sementara kebenaran sains itu relatif, sebuah teori (dalam sains) dianggap
benar selama tidak ada teori yang membuktikan itu salah. Teori yang dianggap
benar sekarang bisa jadi usang 100 tahun lagi. Pemaparan literatur sains yang
dilakukan adalah sejauh pemahaman sains itu sendiri dan teknologi yang
menyertainya. Pengamatan kita tentang alam semesta ini dalam kerangka
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah. Yakni dengan menyaksikan
tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya melalui ayat –ayat karuniyah-Nya yang terhampar
luas di alam semesta.
Tidak ada cabang dari sains yang memiliki hubungan secara
langsung dengan kepercayaan agama selain kosmologi—ilmu yang berhubungan
dengan asal-usul dan pengembangan alam semesta. Namun, adanya hubungan langsung
itu sendiri masih membingungkan. Apa yang dimaksud dengan kosmologi pada saat
ini seluruhnya berbeda dengan yang dimaksud pada abad kedelapan.
Penggunaan istilah yang serupa dalam wacana sains, filsafat,
dan agama juga menambah kebingungan. Sebagai contoh, apa yang dimaksud
Aristoteles dengan celestial region tidak sama menurut pendapat para
Sufi, meskipun keduanya menggunakan istilah celestial untuk menunjukkan
wilayah di luar zona terrestrial. Celestial region menurut para
Sufi dihuni oleh entitas tertentu yang memiliki karakteristik tertentu,
pendapat ini sangat berbeda dengan Aristoteles. Kosmologi, tentu saja mengalami
perkembangan secara filosofi selama periode Yunani, tradisi ilmiah Islam, dan
bahkan sampai sekarang. Banyak data eksperimental telah ditemukan yang menjadi
fondasi langsung pada pertanyaan tentang asal-usul kosmos, utamanya secara
teoritis.
Dalam perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik
dapat diringkas sebagai berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu
tujuan. Setelah menciptakan alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya,
Tuhan tidak meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu
membutuhkan Tuhan; tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum
mewujudnya suatu momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala
sesuatu yang ada di dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan
dan kehidupan jenis baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi Kosmologi ?
2. Apa pengaruh Al-Qur’an dalam
kosmologi ?
3. Apa saja bukti-bukti ayat yang menunjukkan
penciptaan alam semesta ?
4. Bagaimana Penciptaan
Alam Menurut Ilmu Pengetahuan Dan Teknoloogi ?
PEMBAHASAN
A.
DEFINISI
KOSMOLOGI
Kosmologi atau dalam bahasa inggrisnya “cosmology”
adalah gabungan dari dua kata yaitu “cosmo” dan “logos” yang berasal dari
bahasa Yunani. “cosmo” berarti alam semesta atau dunia yang teratur, dan
“logos” berarti ilmu dengan maksud penyelidikan atau asas-asas rasional. Dengan
demikian Kosmologi adalahsatu kajian berkenaan evolusi dan struktur alam
semesta yang teratur yang ada masa kini. Kamus Webster pula mentakrifkan
Kosmologi sebagai teori atau falsafah mengenai wujud alam semesta, kamus Oxford
dengan ringkas menyebutnya sebagai sains dan teiri alam semesta. Kosmologi
berkaitan dengan pandangan dunia (world view). Hal ini karena kajian mengenai
pandangan dunia merupakan suatu percobaan untuk mengkaji bagaimana suatu
kelompok manusia memandang alam natural dan alam supernatural, serta
masyarakatnya dan diri mereka sendiri (Abdul Rahman,1995:1). Jika di Barat
pemikiran mengenai Kosmologi bermula di Yunani, maka di Timur ada China, India,
dan Persia yang mempunyai saham besar dalam mencirikan Kosmologi.
Kesulitan
eksperimen untuk memapankan sebuah teori Kosmologi, sampai pada abad
pertengahan hipotesis dasar Kosmologi lahir dari pemahaman dari pemikiran
manusia tempo dulu, mitos, pengataman yang terbatas, dan teologi. Teologi
menjadi sumber yang paling banyak berkontribusi.
Mitos
misalnya, ada kosmologi bangsa viking yang terkenal (yang kemudian menjadi
basis dasar Tolkien dalam membangun dunia fantasi middle-earth-nya), atau
bagaimana kepercayaan bangsa maya tentang penciptaan alam semesta. Dari
teologi, hampir seluruh agama menyertakan cerita alam semesta; Hindu, Budha,
Kristen, Yahudi, dan Islam. Setelah sains berkembang dan teknologi memadai,
baru kemudian pengamatan secara signifikan berkontribusi pada Kosmologi.
B.
PENGARUH
AL-QUR’AN DALAM KOSMOLOGI
Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, Al-Quran memperlakukan seluruh apa yang
diciptakan sebagai tanda (sign), ayat. Hal ini termasuk
alam semesta dan semua yang ada di dalamnya. Menurut definisinya, ayat
merujuk kepada sesuatu selain dirinya sendiri. Dengan demikian, jika dilihat
dari perspektif Al-Quran, alam semesta dan semua yang ada di dalamnya merupakan
tanda-tanda Sang Pencipta yang diciptakan melalui perintah sederhana: Jadilah
(be, kun) (QS. 36:82). Meskipun Al-Quran memberikan penjelasan
yang sangat spesifik mengenai penciptaan kosmos, ia tidak memberitahu kita
dengan apa dibuatnya atau kapan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa alam
semesta menurut Al-Quran bukan hanya materi fisik yang terdiri dari
bintang-bintang, planet dan entitas fisik lainnya; tetapi juga mencakup kosmos
spiritual yang dihuni oleh entitas nonfisik. Kosmos nonfisik itu terdiri dari
tingkat-tingkat eksistensi yang tak terhitung dan jauh lebih unggul dari alam
fisik yang menempati posisi relatif rendah dalam tingkat eksistensi.
Dalam
perspektif Al-Quran tentang penciptaan alam fisik dapat diringkas sebagai
berikut: alam semesta diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan. Setelah menciptakan
alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya, Tuhan tidak
meninggalkannya; karena kenyataannya seluruh ciptaan selalu membutuhkan Tuhan;
tanpa cinta-Nya kosmos tidak bisa eksis. Pada saat sebelum mewujudnya suatu
momen, kepastian pengetahuan tetap berada pada Tuhan. Segala sesuatu yang ada di
dunia akan binasa. Hal ini akan diikuti dengan kebangkitan dan kehidupan jenis
baru di bawah seperangkat hukum yang sama sekali baru.
Secara
umum, penciptaan dan akhir dari kosmos dapat ditemukan di ayat-ayat yang
dilengkapi dengan rincian spesifik yang tersebar di seluruh Al-Quran. Alam
semesta diciptakan dalam enam hari (QS. 7:54-56; 25:59), penciptaan bumi dalam
dua masa (QS. 41:9), Tuhan juga menciptakan tujuh langit (QS. 2:29), tujuh
langit yang berlapis-lapis (QS. 67:3). Tuhan menghiasi langit dengan
bintang-bintang (QS. 67:5); Dia yang menggerakkan semua bintang dan
planet-planet sehingga dapat membimbing perjalanan manusia dengan posisi mereka
(QS. 6:97); Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan siang atas malam
(QS. 39:5). Sangat penting untuk dicatat bahwa kata “hari” yang digunakan dalam
ayat-ayat ini dalam tradisi Islam selalu dipahami secara non-kuantitatif.
Al-Quran itu sendiri menjelaskan bahwa sehari disisi Tuhan adalah seperti
seribu tahun menurut perhitunganmu (QS. 22:47). Dalam ayat lain disebutkan satu
hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun (QS. 70:4). Karena itu
aliran skala waktu dalam penjelasan Al-Quran mengenai asal—dan juga
sejarah—kosmos didasarkan pada konsep kualitatif waktu. Walaupun riwayat ini
memiliki kemiripan tertentu dengan penjelasan Bibel tentang penciptaan, tetapi
pada dasarnya sangat berbeda dari Genesis, dan hal ini dapat menjadi salah satu
alasan mengapa belum ada kesejajaran dengan “Bumi muda” dalam tradisi Islam.
Al-Quran
tidak menjelaskan bagaimana atau kapan kosmos diciptakan, hal itu sebagai
undangan kepada pembacanya untuk mempelajari dunia fisik. Bahkan, undangan
Al-Quran untuk mengamati kerja kosmos ini diulang-ulang seolah-olah seperti
mendesak kepada pembacanya bahwa budidaya sains modern merupakan sebuah
kewajiban agama bagi seorang Muslim—perintah yang ditentukan oleh Al-Quran itu
sendiri. Apakah benar atau tidak, pendekatan sederhana ini bukan untuk
menjustifikasi tujuan undangan Al-Quran, karena Al-Quran mengajak pembacanya
untuk mengamati ketertiban dan keteraturan alam semesta yang hal ini untuk
mengekspresikan tujuan dari memahami realitas yang berada di luar dunia fisik.
Undangan untuk mengamati alam fisik sering diikuti perintah tegas ketertiban
dan keteraturan alam semesta adalah tanda kehadiran satu-satunya Pencipta.
Ketertiban kosmos adalah bukti kemahakuasaan, kekuasaan, dan kebijaksanaan
Tuhan.
Deskripsi
Al-Quran tentang dunia memainkan peran sentral sehingga memunculkan kosmografi
yang berbeda dalam pemikiran Islam. Kosmografi ini menggambarkan fitur utama
dari kosmos yang dikembangkan melalui sebuah proses kompleks yang melibatkan
berbagai aliran pemikiran, termasuk menerjemahkan karya filsafat Yunani ke
dalam bahasa Arab, interaksi antara berbagai sekolah pemikiran dalam tradisi filsafat
Islam, perdebatan teologis tentang Allah, sifat-sifat-Nya, hubungan-Nya dengan
dunia, dan masalah serupa lainnya dari dinamika internal masyarakat Muslim yang
banyak muncul sebelum gerakan terjemahan. Isu-isu ini tidak hanya berupa
pertanyaan-pertanyaan intelektual yang timbul dari penafsiran Al-Quran tapi
juga berdimensi politis, teologis, dan sosial. Perdebatan mengenai
pertanyaan-pertanyaan ini memunculkan berbagai sekolah pemikiran yang secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua sekolah utama: Mu`tazilah dan Asy`ariyah,
keduanya tertarik dalam kosmologi dan merumuskan suatu teori yang menyeluruh
tentang penciptaan. Secara umum, diakui bahwa alam fisik yang eksis dalam skema
besar penciptaan mencakup berbagai tingkat eksistensi, termasuk nonfisik, dan
hal ini tidak dapat dipisahkan dari konteks tersebut. Kosmografi sebagaimana
gambaran para Sufi bahwa dunia fisik memiliki tingkatan-tingkatan wujud dan
eksistensi tertentu.
Kosmografi
yang muncul dalam pemikiran Islam setelah gerakan terjemahan didominasi oleh
perdebatan atas pertanyaan tentang keabadian dunia atau penciptaannya ex
nihilo dalam waktu. Arus utama perdebatan dalam pemikiran Islam mengenai
masalah penciptaan dan keabadian terjadi antara filsuf Helenis Muslim dan
lawan-lawannya yang disebut para pemikir ortodoks, dan seluruh perdebatan yang
muncul telah keluar dari krisis yang dihasilkan oleh gerakan terjemahan. Pada
kenyataannya, hal ini jauh lebih bernuansa. Misalnya, secara kosmografi dunia
fisik terbagi menjadi daerah celestial dan terrestrial, sama
seperti pendapat Aristoteles, tapi hal ini tidak berarti mencakup penerimaan
segala hal tentang pemikiran Aristoteles. Bahkan filsuf Islam yang paling
Helenis (Ibn Sina dan Ibn Rusyd) telah mengubah konsep kosmos dan keabadiannya
dari Aristoteles, meskipun mereka menerima keabadian dunia.
Modifikasi
kosmos Aristotelian ini bukan hanya cara yang cerdas dari pengulangan hal yang
sama. Misalnya, substansi alam fisik yang sebenarnya, dipahami oleh Aristoteles
sebagai “materi” dari sebuah abstraksi yang hanya bisa dicapai melalui
eksperimen pikiran. Dalam buku Metaphysics, dia menyatakan bahwa
substansi adalah “yang tidak didasarkan kepada subjek, tapi semua didasarkan
atasnya”. Pernyataannya itu sendiri tidak jelas, dan selanjutnya pada pandangan ini, materi
menjadi substansi. Karena jika hal ini tidak menjadi substansi, maka kita akan
mengalami kesulitan untuk mengatakan apa yang selain itu. Ketika semuanya
diambil, jelas yang tersisa hanya materi. Elemen lain berupa rasa, produk,
kapasitas tubuh, panjang, luas, dan tinggi; semuanya adalah kuantitas dan bukan
substansi. Kuantitas bukanlah substansi; tetapi substansi merupakan derajat
utama atas kandungannya. Ketika sifat panjang, luas, dan tinggi dikeluarkan,
tidak ada yang tersisa kecuali yang dibatasi oleh hal tersebut, apa pun bisa;
dengan demikian materi sendiri yang menjadi substansi. Adapun materi yang saya
maksud adalah kandungannya sendiri di luar yang lain, bukan dalam hal tertentu
atau bukan jumlah tertentu atau bukan kategori yang ditentukan oleh yang lain.
(Aristoteles, 1984:1625)
Deskripsi
ini diserang sejak pertengahan kedua pada abad kedelapan. Misalnya, Jabir bin
Hayyan menyatakan konsepsi materi ini hanya “omong kosong”, ada keraguan dalam
tradisi Plotinus, dia menyebutnya “bayangan hanya atas bayangan”: [Anda percaya] itu bukan tubuh,
tidak ada predikat apa pun yang didasarkan kepada tubuh. Hal ini sebagaimana
klaim Anda, bentuk sesuatu tidak dibeda-bedakan dan elemen dari objek yang
diciptakan. Sebagaimana Anda katakan, gambaran ini [entitas], hanya eksis dalam
imajinasi dan tidak mungkin memvisualisasikannya sebagaimana entitas
didefinisikan. Semua ini adalah omong kosong. (Haq, 1994:53)
Demikian
pula mengenai materi prima-nya Aristoteles yang dianggap kekal dan tidak
dapat dihancurkan, tidak diterima dalam tradisi Islam oleh mayoritas
filsuf-ilmuwan. Bahkan, pada pengamatan yang lebih seksama kita menemukan
banyak kesamaan antara tradisi kosmologi Aristotelian dan skema kosmologis
Islam tetapi tidak mendasar; sebenarnya ada perbedaan yang mendalam di antara
ide-ide mendasar dari dua tradisi ini. Seperti terlihat sebelumnya, para filsuf
yang menerima keabadian dunia menurut Aristoteles tetapi tidak menerima sistem
Aristotelian secara totalitas, melainkan mereka membuat skema konseptual yang
sama sekali baru. Pada kasus ini, Ibnu Sina dapat dijadikan contoh. Kita akan
membahas ide-idenya bersama dengan penolakan terhadap Aristotelian oleh para
ilmuwan lain dalam pembahasan khusus.
Justifikasi
adanya ‘pertempuran’ habis-habisan antara filsuf dan teolog melemah, karena
meskipun banyak filsuf Muslim percaya pada kekekalan dunia ini (pengaruh
Aristoteles) ada juga pengecualian. Al-Kindi—yang secara universal diakui
sebagai filsuf Muslim pertama—menolak keabadian materi dan alam semesta,
meskipun di pikirannya ada pengaruh dari Aristoteles dan Plotinus. Dalam
risalahnya yang berjudul On First Philosophy, Al-Kindi menggunakan kata ibda`
(yang berarti “memulai sesuatu dari ketiadaan”) untuk menunjukkan penciptaan ex
nihilo. Al-Kindi juga mengembangkan tiga argumen mengenai penciptaan alam semesta:
(i) argumen mengenai ruang, waktu, dan gerak; (ii) argumen mengenai komposisi,
dan (iii) argumen mengenai waktu (Craig, 1979:56).
C.
AYAT-AYAT
YANG MENUNJUKKAN PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DAN PENAFSIRANNYA
Dalam meruntut pembicaraan al-Qur’an tentang Kosmologi,
pemakalah dalam penentuan ayat- ayat yang terkait, mengambilnya dari konsep
yang ditawarkan Achmad Baiquni tentang penciptaan alam semesta dalam bukunya
Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman. Karena pembahasannya sejalan dengan
pengetahuan Kosmologi modern. . Ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan
penciptaan alam semesta itu adalah:
1.
QS. al-Anbiya’/21: 30
Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui
bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, Kemudian
kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang
hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? QS. al-Anbiya’/21: 30
Tema
sentral QS. al-Anbiya’ adalah tentang kenabian. Ia dawali dengan uraian tentang
dekatnya hari kiamat dan keberpalingan manusia dari ajakan kebenaran. Ayat ini
termasuk dalam pengelompokan ayat (ayat 21-33 QS. al-Anbiya’) yang berbicara
tentang bukti keesaan Allah dan kuasa-Nya. Setelah pada ayat sebelumnya
mengemukakaan tentang berbagai argumen tentang keesaan Allah baik yang bersifat
aqli maupun naqli; yakni yang bersumber dari kitab-kitab suci, maka kini kaum
musyrik diajak untuk menggunakan nalar mereka guna sampai pada kesimpulan yang
sama dengan apa yang dikemukakan itu.Kata ratqan dari segi bahasa berarti
terpadu atau tertutup sedang fafataqnaahumaa terambil dari kata fataqa yang
berarti terbelah/ terpisah. Ibnu ‘Abbas menyatakan lalu Allah memisahkan
keduanya dan Dia mengangkat langit ke posisi di mana ia berada sedang Bumi
tetap pada tempatnya. Ka’ab mengatakan bahwa Allah menciptakan langit yang padu
lalu Ia menciptakan uadara yang dihembuskan ke tengh-tengah keduanya sehingga
keduanya terpisah.
Langit
itu dikatakan ratqan apa bila tidak turun hujan dan bumi dikataka ratqan bila
tidak ada retakan. Lalu Allah memisahkan keduanya dengan air dan tumbu-tumbuhan
yang menjadi rezki bagi manusia.Firman Wa ja’alnaa min al-ma-i kull syay-i hayy
ada yang memaknainya dalam arti segala yang hidup membutuhkan air, atau
pemeliharan kehidupan segala sesuatu adalah dengan air, atau kami jadikan
cairan yang terpancar dari shulbi (sperma) segala yang hidup yakni dari jenis
binatang. Sebagian mufassir mengartikannya termasuk di dalamnya tumbuh-tumbuhan
dan pohon yang tumbuh karena ada air yang menjadikannya subur, hijau dan
berbuah.Ayat di atas mengisyaratkan bahwa langit dan bumi tadinya merupakan
padu. Alam yang padu itu lalu dipisahkan oleh Allah. Namun al-Qur’an tidak
menjelaskan kapan dan bagaimana terjadinya pemisahannya itu.
2. QS. Adz-Dzariyat/51: 47
Dan langit itu kami bangun dengan
kekuasaan (kami) dan Sesungguhnya kami benar-benar berkuasa. QS.
Adz-Dzariyat/51: 47 Tema utama QS Adz-Dzariyat adalah uraian tentang hari
kiamat yang dibuktian antara lain dengan membuktikan keesaan Allah. Ayat di
atas termasuk kelompok ayat 38- 51 QS. Adz-Dzariyat) yang membuktikan keesaan
Allah dengan tokoh sentralnya nabi Musa.
Menurut al-Biqa’i ayat yang
sebelumnya menegaskan bahwa siksa yang menimpa generasi yang terdahulu
bersumber dari atas langit. Boleh jadi ada yang menduga bahwa hal tersebut
disebabkan karena kerusakan yang terjadi pada ciptaan Allah—di langit itu. Ayat
ini menampik dugaan tersebut sambil menegaskan kekokohan dan kuatnya ciptaan
Allah itu. Kata ayd bentuk jamak dari yad/ tangan. Banyak ulama yang
mengartikannya kuasa dan ada juga yang mengartikannya nikmat. Maha luas Kuasa
serta Maha luas Nikmat-Nya. Kalimat wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami
benar- benar maha Luas difahami oleh al-Biqa’i dengan pengertian maha Kaya lagi
maha Kuasa tanpa batas. Terambil dari kata wus’u yakni kemampuan.
1. Komentar tim pengusun Tafsir
al-Muntakhab yang terdiri dari pakar Mesir kontemporer bahwa ayat ini
mengisyaratkan beberapa isyarat ilmiah. Antara lain, Allah menciptakan alam
yang luas ini dengan kekuasaan-Nya. Dia maha Kuasa atas segala sesuatu. Kata sama’
berarti segala sesuatu yang berada di atas dan menaungi. Maka segala sesuatu
yang ada di sekitar benda langit dan tata surya di sebut sama’. Alam raya kita
amat luas, lalu mengartikan wa innaa lamuusi’uun/ sesungguhnya kami benar-
benar maha meluaskan (yakni alam raya ini) menunjukkan hal itu. Artinya, kami
meluaskan alam itu sebegitu luasnya semenjak diciptakan. Ayat tersebut juga
menunjukkan bahwa meluasnya alam ini terus berlangsung sepanjang masa.
3.
QS. Al-Fush-shilat/41: 9.
Katakanlah: "Sesungguhnya patutkah kamu kafir kepada
yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagiNya?
(yang bersifat) demikian itu adalah Rabb semesta alam". QS.
Al-Fush-shilat/41: 9
Tema
utama QS. Al-Fush-shilat adalah pembuktian tentang kebenaran al-Qur’an,
bantahan terhadap kepercayan kaum musyrikin serta ancaman terhadap mereka. Dan
tuntunan kepada nabi bagaimana menghadapi mereka. Ayat
sebelumnya berisikan kecaman terhadap orang musyrikin, baik karena sikap mereka
menyekutukan Allah, keniscayaan kiamat dan kedurhakaan lainnya. Ayat ini
menjelaskan betapa buruknya sikap tersebut sekaligus memaparkan betapa kuasanya
Allah. Firman-Nya latakfuruwna/ kamu kafir terkait
dengan beberapa persoalan, antara lain: pernyataan mereka bahwa Allah tidak
sanggup membangkitakan kembali orang yang telah meninggal, mempertanyakan
tentang kerasulan nabi Muhammad dan pernyataan mereka bahwa Allah punya anak.
Dan Perbuatan menyekutukan Allah itu merupakan perbuatan aniaya yang besar
(zulmun kabiirun).
4. QS. Al-Fush-shilat/41: 10
Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. dia memberkahinya dan dia menentukan padanya kadar makanan-makanan
(penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi
orang-orang yang bertanya. QS. Al-Fush-shilat/41: 10 Allah menciptakan bumi serta
memperindahnya. Juga menciptakan gunung yang kukuh di atasnya agar bumi yang
terus berotasi itu tidak oleng. Dan ia melimpahkan aneka kebajikan sehingga ia
berfungsi sebaik mungkin da dapat menjadi hunian yang nyaman buat manusia dan
hewan. Serta menentukan kadar makanan- makanan untuk para penghunyinya. Semua
itu telaksana dalam empat hari; dua hari untuk penciptaan bumi dan dua hari
untuk pemberkahan dan penyiapan makanan bagi para penghuninya.Kata qaddara
berarti memberi kadar, yakni kualitas, kuantitas cara dan sifat-sifat tertentu
sehingga dapat berfungsi dengan baik. Dapat juga berarti memberinya potensi
untuk menjalankan fungsi yang ditetapkan Allah bagi masing-masing. Kata aqwat
merupakan bentuk jama’ dari kata qut yang pengertiannya mencakup makna
pemeliharaan dan pengawasan Allah, sehingga penentuan kadar qut ini tidak hanya
menyangkut makanan jasmani tetapi mencakup pengaturan Allah terhadap bumi yang
menjadi hunian manusia. Sebagai contoh terkait gaya Gravitasi Bumi sehingga ia
berputar/rotasi pada garis edarnya dan. Gaya Gravitasi benda-benda langit ini
melindunginya juga untuk tidak melenceng dari garis edarnya sehingga tidak
saling bertabrakan. Dan wa qaddara fiyhaa menurut Muhammad ibn Ka’ab menentukan
makanan bagi tubuh sebelum penciptaannya. Mujahid mengatakan Allah menentukan
makanan dari hujan, yang dimaksud di sini makan untuk Bumi bukan untuk
penduduknya.
Di antara bukti-bukti tentang keesaan dan kemahakuasaan
Allah itu ditegaskan dalam al-Qur’an tentang penciptaan alam semesta yang
begitu hebat pengaturan, begitu menakjubkan, begitu luar biasa indah… semua itu
tentu petunjuk adanya yang Mahaesa, Maha Pencipta; Allah Subhanah wa Ta’ala.
Demikian juga dengan ayat tentang penciptaan alam yang madaniyah, karena di
antara kandungan ayat madaniyah adalah sikap terhadap orang kafir, musyrik dan
ahl al-kitab. Itulah gambaran kandungan ayat-ayat tentang penciptaan alam
semesta dalam kerangka di atas.
·
Berikut tathbiq (meminjam istilah M Quraish Shihab) Achmad
Baiquni terhadap ayat-ayat yang terkait dengan penciptaan alam semesta:
1. Pada saat penciptaan (sekitar 12
milyar tahun yang lalu), langit (ruang waktu) dan bumi (ruang materi), yang
semula padu (dalam titik singularitas fisis), dipisahkan (ketika keluar dari padanya)
QS. Al-Anbiya’/21: 30.
2. Dalam pembangunan langit (ketika
ruang waktu keluar dengan ledakan yang dahsyat dari titik singularitas)
dilibatkan kekuatan yang tiada taranya (sehingga terjadi gejala inflasi), yang
kemudian diekspansikan (sebagaimana ia tampak kini sebagai sebagai universum
yang mengembang) QS. Adz-Dzariyat/51: 47
3. Pada pendinginan yang sangat cepat
(sebagai akibat inflasi tercapai keadaan “kelewat dingin”) dan terjadi transisi
fase, yang menyebabkan materialisasi energi secara berangsur, (bersamaan dengan
terciptanya alam-alam lain di samping kita): materi yang muncul sebagai fase
kedua sedangkan energi adalah fase pertamanya QS. Al-Fush-shilat/41: 9
4. Dengan adanya energi materi dalam
ruang alam, maka dimunulkanlah spin partikel sub nuklir, elektron, foton, dan
lainnyasebagai gerak pusaran serta ditetapkannya satu muatan-muatan yang
merupakan sumber kekuatan atau gaya (gravitasi, nuklir kuat, nuklir lemah, dan
listrik magnet) dalam empat tahapan QS. Al-Fush-shilat/41: 10
5. Sementara itu, ketika langit (ruang
alam) penuh “embunan” (sebagai akibat dari inflasi, sehingga energi berubah
menjadi materi). Allah mengundangkan segala peraturan yang ditaati ruang dan
materi (sebagai hukum alam yang mengendalikan sifat dan kelakuan jagad raya)
QS. Al-Fush-shilat/41: 11
6. Allah menjadikan tujuh langit (ruang
alam) dalam dua tahap, (pada saat inflasi dan sesudahnya) dan menetapkan
hukum-hukum alam yang berlaku di dalamnya. Serta menghiasi langit dunia dengan
pelita-pelita (dalam bentuk bintang, bulan, mata hari dan sebagainya) serta
menjaganya ( dengan memberikan atmosfer, lapisan ozon dan sebagainya) QS.
Al-Fush-shilat/41: 12
7. Allah-lah yang menciptakan tujuh
langit (ruang alam) dan tujuh Bumi padanannya (atau materi masing-masing alam
yang di dalam ayat tersebut dinyatakan memiliki hukum mereka masing-masing yang
tidak perlu sama) QS. Ath- Thalaq/65 : 12
8. Allah menciptakan langit (ruang
alam) serta bumi (materi alam) dan apa saja yang berada di antaranya dalam enem
priode atau tahapan, sambil menegakkan pemerintahan-Nya. (tahap inflasi dan
tahap ekspansi ruang alam yang sesuai dengan tahap energi dan tahap
materialisasi yang diikuti tahap penciptaan interaksi gravitasi, nuklir kuat,
nuklir lemah dan elektromagnetik) QS. al-Sajdah/ : 4
9. Dia menciptakan langit (ruang alam)
serta bumi (materi alam) dalam enam tahapan sementara itu telah ditegakkan
pemerintahan-Nya pada materi yang bersifat fluida (atau segal peraturan atau
hukum alam-Nya telah efektif pada seluruh makhluk-Nya, yang pada waktu itu
masih berujud zat alir yang sangat rapat dan sangat panas) QS. Hud/11: 7
10. Allah menahan alam semesta untuk
tidan “mbedal” dan untuk tidak mengembang terus tanpa henti QS. Fathir/35: 41
11. Allah akan mengecilkan kembali jagad
raya seperti sedia kala, ketika jagad raya diciptakan pada awalnya, yang
menjamin bahwa alam kita bersifat tertutup (closed universe) QS. al-Anbiya’/21:
104
KESIMPULAN
Dari uraian penafsiran para mufassir di atas dan penjelasan
(tathbiq) para ilmuan dapat kita tarik benang merah berikut. Para mufassir
mencoba menjelaskan ayat-yat tentang penciptaan alam semesta tersebut
berdasarkan pada aspek kebahasaan al-Qur’an, penjelasan hadis Rasulullah,
penjelasan para sahabat nabi, munasanah ayat, asbab an-nuzul, pendekatan ilmiah
dan aspek-aspek lainnya.
M. Quraish Shihab dalam menjelaskan
ayat- ayat kauniyah memasukkan juga pendekatan ilmiah dalam tafsir al-Mishbah
demikian Fakhr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih al-Ghaib. Bedanya penjelasan Quraish Shihab
agak lebih terperinci sedangkan penjelasan Fakhr ad-Din ar-Razi lebih
sederhana.
Hal ini tentu saja sangat terkait
dengan penemuan dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa hidup mereka.Di dalam
ayat-ayat yang telah dijelaskan sebelumnya terdapat konsep-konsep yang sulit
dipahami jika tidak ditopang oleh penjelasan ilmu kosmologi modern. Seperti konsep sama’, ardh, al-ma’,
ad-dukhan, ‘arsy, rawasyi, dan aqwat. Perlu penjelasan lebih lanjut terhadap
konsep-konsep di atas. Inilah tugas para ahli kosmologi modern.Hal ini terkait
juga dengan tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat
manusia. Bukan hanya tertuju untuk orang- orang yang terdahulu dari kita. Tapi
bagi kita yang hidup di zaman sekarang dan insya Allah mereka yang hidup
setelah kita. Tentu saja pemahaman terhadap al-qur’an ini disesuaikan dengan
tingkat pengetahuan masing-masingnya. Agar al-Qur’an itu benar-benar menjadi
petunjuk dalam kehidupan.
Banyak kebenaran ilmiah yang dipaparkan al-Qur’an, tujuan
pemaparan ayat-ayat tersebut untuk menunjukkan kebesaran Allah dan
ke-Esaan-Nya. Serta mendorong manusia seluruhnya untuk melakukan observasi dan
penelitian demi lebih menguatkan iman dan kepercayaan kepada-Nya
Pustaka
Baiquni, Achmad, Al-Qur’an dan Ilmu
Pengetahuan Kealaman, Jakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996, Cet. Ke-1
____________, Konsep- Konsep Kosmologi , media.isnet.org
Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains, Febdian.net Manzur, Ibnu, TTh, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, TTp: Dar al-Ma’arif
Kosmologi Islam: Dari Literatur ke Sains, Febdian.net Manzur, Ibnu, TTh, Lisan al-‘Arab, Jilid 3, TTp: Dar al-Ma’arif
Terimakasih...
ReplyDelete