(Sebuah
Renungan Historis)
CATATAN
Dalam terminologi guyonan Pramudia Ananta Tour, perjuangan bangsa
adalah satu upaya bersama ataupun perorangan baik pikiran ataupun tindakan
untuk menggeser dari satu kondisi bangsa dari minus ke plus. Dalam hal ini
dicoba untuk mengupas sejarah nasional secara utuh. Karena, untuk memahami
perjuangan nasional, seharusnya ada upaya bersama yang dilakukan rakyat pribumi
untuk mengentaskan diri dari kondisi krisis bangsa, baik politik, ekonomi,
sosial ataupun budaya.
Namun ada perbedaan pemahaman dari terminologi diatas. Sementara
ini, pemahaman perjuangan adalah perilaku individu atau kelompok yang melakukan
perlawanan terhadap penjajah. Disana kurang dikupas latar belakang kepentingan
perlawanan itu untuk dirinya sendiri, kelompoknya, ataupun bangsanya. Maka,
produk sejarah yang ada hanya akan menghadirkan romantisme, bukan filosofinya.
Lebih keji lagi, makna perjuangan berarti orang pribumi yang mengangkat
senjata. Akhirnya, yang menilai bahwa dia pejuang atau tidak adalah sebuah orde
(rezim).
Dalam hal ini, tidak di nilai pelaku sejarah penjahat ataupun
pejuang, namun ingin mencoba mengurai sejarah nasional dari satu fase sejarah
ke fase yang lain secara utuh. Karena menurut Jose Ortega Y Gasset, kita
belajar sejarah bukan untuk mengulangi sejarah melainkan untuk meninggalkanya.
Dari gambaran diatas, muncul beberapa pertanyaan yang dirasa cukup
esensial untuk kita pecahkan bersama: bagaimana dan seperti apa sebenarnya gambaran sejarah nasional? Apakah
selama ini bangsa kita sudah pernah melahirkan pejuang yang betul-betul
melakukan perjuangan dengan tulus demi bangsanya?
Ada empat fase sejarah nasional yang akan dipetakan, yakni: fase
pra-Islam, zaman Islam, zaman Penjajahan dan Persiapan Kemerdekaan
Indonesia.
1.
Zaman
Hindu Budha
Perjalanan
sejarah akan dimulai dari asal usul manusia Indonesia. Dalam fersi Prof.
Soediman Kartohadiprojo, SH., masyarakat Indonesia berasal dari suku Polinisia
saja (Prof. Soediman Kartohadiprojo, 1995).
Sementara Agus
Sunyoto dalam “Pitutur” mengatakan bahwa orang Indonesia asli adalah pertemuan
dari dua suku: suku Polinisia yang berasal dari India yang punya kegemaran
merampok, menjarah dan punya pemahaman mistik yang sangat kental, dan ras yang
dibawa adalah ras Negroid. Kemudian bertemu dengan suku Qunlun, yakni pecahan
ras Mongoloid yang kalah perang dan terusir dari daratan Mongolia.
Dari dua
perkawinan ras inilah lahir ras Javanisme yang berkarakter mistik yang kemudian
pada prosesnya muncul paham animisme dan dinamisme, suka menjarah dan bermental
kalah. Dalam psiko-Historis era sekarang, kita dapat mengatakan bahwa ras ini
melahirkan bangsa yang tidak punya mental dasar persaingan (Agus Sunyoto, Kebudayaan
Indonesia Hasil Asimilasi Aneka kebudayaan).
Mentalitas yang
kemudian terbangun ini pada akhirnya diperkuat dengan datangnya Hindu yang
mengajarkan kepercayaan terhadap kelas-kelas sosial. Atau sering dinamakan
dengan kasta sosial, yang membagi masyarakat ke dalam lima kelas: brahmana,
satria, waisya, sudra dan paria. Disinilah pondasi pertama feodalisme Indonesia
dibangun dengan bungkus mistisisme.
Diakui atau
tidak, pergulatan agama hindu-budha pernah mengalami masa keemasan. Terbukti,
dengan banyaknya kerajaan-kerajaan baik pra atau pasca Majapahit. Namun dalam
catatan sejarah, yang paling gemilang adalah zaman Majapahit (1294-1476 M) di
bawah bendera Sumpah Palapa Gajah Mada. Pada masa ini Nusantara bersatu dalam
genggaman Majapahit. Terlihat disana, kerjasama antara Gajah Mada (golongan non
bangsawan) dan Adityawarman (simbol bangsawan) kemudian—yang sering dalam
pribahasa Jawa—ditafsirkan sebagai Manunggaling Gusti. Dengan didukung
oleh armada angkatan laut yang bagus dan militer yang tangguh, Nusantara pernah
manjadi bangsa yang diperhitungkan ditingkat dunia. Hingga arus perdagangan
saat itu telah mampu menguasai pasar Asia.
Salah satu item
yang cukup penting dalam masa ini adalah pertarungan kelas sosial yang cukum
sengit antara kelas bawah dan kelas atas. Sebagai contoh, masa pemerintahan
prabu Kertarajasa Jayawardana yang mengangkat tiga patih dari rakyat jelata
yakni Nambi, Sora dan Ranggalawe. Akibat sindiran persoalan kelas, pada
akhirnya menimbulkan pembangkangan yang berakhir pada pemberontakan.
Sebab runtuhnya
Majapahit dalam dalam babad tanah Demak secara umum dapat disimpulkan: pertama,
Adanya perebutan kekuasaan antar keturunan raja. Kedua, hanya sebab pertikaian
bangsawan, pecahnya Majapahit menjadi negara peri-peri merupakan langkah mundur
dari apa yang sudah dilakukan Gajah Mada,
Ketiga,
pertarungan kelas yang terus menerus menimbulkan perpecahan bangsa. Dan
keempat, banyaknya kelas bawah yang masuk Islam juga telah menimbulkan banyak
pertikaian kelas.
2.
Zaman
Islam
Masuknya Islam
ke Indonesia dengan gerakan kulturalnya di satu sisi, masuknya Islam telah
berhasil mengeliminir sistem feodalisme dan system kasta yang dilestarikan oleh
agama Hindu. Namun di sisi lain (politik), justru menjadi neo-feodalisme yang
sama-sama membangun relasi kuasa yang berbasis ideologi keagamaan. Bahkan
pertikaian yang berbasis keagamaan (SARA)-pun dimulai dari Islam.
Dalam hal ini
fakta yang disajikan Pramudia dalam “arus balik”nya mencoba mengungkap awal
mula terjadinya gerakan Islam di Tuban yang dipelopori oleh Sunan Rajeg (Rangga
Ishak) yang memberontak pada bupati Tuban Wilwatikta.
Adalah suatu
langkah mundur yang punya implikasi sejarah yang sangat panjang ketika Rangga
Ishak menggunakan spectrum agama dalam menggerakan basis massa. Sejarah ini
terulang ketika raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, menggunakan politik yang
licik dalam menguasai tanah Jawa.
Di satu sisi,
aliansi untuk melawan Portugis di Malaka sudah disepakati. Namun
Trenggono—selaku komandan—kemudian justru membawa bala tentaranya untuk
menyerang negara-negara Jawa untuk patuh terhadapnya. Ia pikir, dengan dibantu
Sunan Gunung Jati sukses Majapahit akan terulang di masanya.
Adalah hal yang
ambigu dari kebijakan Trenggono adalah kebijakan dia tatkala membangun basis
tentara perangnya yang mengandalkan pasukan kuda semata. Sementara pasukan laut
yang telah dirintis sedemikian besar oleh kakaknya (Adipati Unus yang kemudian
dikenal Pangeran Sabrang Lor)—yang dibunuhnya sendiri—terlalaikan. Padahal,
untuk membangun armada yang kuat tidak hanya sebatas membangun basis tentara
yang kuat, namun basis ekonomi juga mesti diutamakan. Dari kejadian tersebut,
kemudian terjadi friksi yang cukup kuat antara Trenggono dengan ibunya Siti
Aisyah yang lebih sepakat dengan gagasan Adipati Unus.
Implikasi yang
bisa kita rasakan sampai sekarang dengan apa yang dilakukan oleh Trenggono
diantranya adalah sbb:
Pemusatan
kegiatan ekonomi yang hanya menggarap basis pertanian sebagai tulang punggung
ekonomi masyarakat telah melahirkan budaya land laocked. Yakni budaya dengan
struktur nalar inwoerd locking dan sangat membelenggu. Cultur ini tidak mudeng dengan ekonomi pasar
karena seluruh jaringan perhubungan dengan dunia luar di putus.
“Babad Tanah
Demak” adalah salah satu mitos yang dibuat oleh rezim Trenggono untuk membodohi
masyarakat. Karena—disengaja atau tidak—telah terjadi pembelokan sejarah dari
kenyataan yang sebenarnya. Terlihat disana bumbu dan nuansa magis yang sangat
kental. Di wilayah ini, telah terjadi pelembagaan sebuah kebijakan politik yang
berbasiskan agama.
Kebijakan rezim
walisongo dalam strata pendidikan yang berbasiskan pesantren, secara umum
terpusat di pedalaman. Hal ini membuat umat Islam tetap terkungkung dibawah
fatwa-fatwa suci sang-Sunan Kyai (asal kata: ki aji).
Dan pasca
kematian Trenggono, kondisi politik-ekonomi tidak jauh berbeda. Bahkan perang
saudara terus menerus terjadi dengan gaya berpolitik yang hampir yang sama
sampai akhirnya, kerajaan pindah ke Mataram.
3.
Zaman
Kolonial
Kedatangan
(penguasaan) portugis (1511) di Malaka membawa akibat yang fatal. Kekalahan
banyak daerah disebabkan salah satunya dalam hal persenjataan meriam. Mereka
tidak mampu menjangkau keunggulan Portugis (penjajah daerah) dalam hal
Persenjataan dan kekuatan armadan diakibatkan oleh oleh rasio masyarakat
pribumi yang tetap terkungkung oleh mitos. Sehingga ketidakmampuan masyarakat
lokal untuk bersaing itu kemudian melahirkan watak marsose (menghamba
pada kolonial). Rakyat kecil hanya
diposisikan sebagi penyuplai bahan-bahan rempah yang harganya dikendalikan oleh
portugis.
Kondisi ini kemudian
diperparah dengan kedatangan belanda (1602) yang pada akhirnya melahirkan tiga
kelas sosial: kelas atas (kulit putih Eropa), kelas kedua (pedagang arab dan
cina), dan kelas ketiga (orang pribumi [inlader]).
Pada abad XIX
dan XX berdiri empat kerajaan di Surakarta dan Yogyakarta yang berdiri sendiri
dibawah kekuasaan Hindia-Belanda: Keraton Kasusnanan dan Mangkunagaran
(surakarta); Kasultanan dan Pakualaman (Yogyakarta).
Melalui
kebijakan pecah belah (devide at impera), Belanda berhasil menguasai seluruh
pesisir tanah jawa, setelah sebelumnya mampu menumpas menumpas pemberontakan
Trunojoyo. Pun kondisi yang sama ketika Inggris menguasai jawa (1811-1816)
hingga kemudian lahirlah traktat London(1824). (Takashi Shiraishi, Jaman
Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta, 1990,).
Pada 1830
adalah akhir dari perang diponegoro. Setelah digunakan perang melawan
Diponegoro, kas negara Belanda ludes. Terlihat dalam laporan Javaneche Bank
yang malaporkan pada tanggal 31 januari 1827 modal yang dipunyai Belanda yang
awalnya F4 juta tinggal F0,5 juta. Akibatnya, lahirlah kebijakan culturstelsel.
Dengan
dihadirkanya Gubernur Jendral Van Den Bosch oleh raja Belanda, Willem sekaligus
dibukanya sistem tanam paksa sebagai salah satu kebijakanya untuk keluar dari
krisis keuangan. Hasil dari sistem ini negeri Belanda mengalami kelebihan
anggaran pada tahun 1877 hingga F 800 juta gulden. (Pramudia Ananta Tour, Panggila
Aku Kartini Saja, Hastra Mitra).
Pergeseran
politik ekonomi Belanda dimulai ketika tahun 1870 dengan kampanye tokoh
Multatuli Belanda, Eduard Dowes Deker (1820-1887). Kritiknya terhadap kebijakan
tanam paksa akhirnya membuahkan hasil UU agraria pada tahun 1870. Pada titik
ini merupakan awal dimulainya liberalisasi di Indonesia. Hal ini ditandai dengan
pembangunan jalur kereta api yang pertama yang dikelola oleh Nederlandsch
Indische Sporwig (NIS). Disamping itu
para pemodal swasta secara besar-besaran membuka sewa tanah untuk
menanam the, tebu, kopi, kina dan tembakau. Pada tahun 1855, di solo disewakan
tanah seluas 30. 000 bau, menjadi 160 bau pada tahun 1860. Dan menjadi 200.000
bau pada tahun 1864. Kemudian pada tahun 1870 mencapai 301.000.
Pada
pertengahan 1880, terjadi depresi ekonomi yang mana menjadi titik balik
perkembangan perkebunan di Eropa. Hal ini disebabkan kesetabilan nilai uang
oleh pengaruh suku bunga yang tinggi, yang sangat dipengaruhi oleh naik turunya
harga-harga komoditas. Sementara modal-modal hanya dimiliki oleh swasta,
sehingga yang terjadi kemudian banyak pabrik yang tidak mampu membangun eksis.
Hal ini terjadi sampai tahun 1900. (Takashi Shiraishi,)
Bersamaan
dengan kondisi ini, pada tahun 1890 seorang pemikir prancis, Ernest Renan,
melontarkan konsepnya tentang Nasionalisme. Dari bukunya yang berjudul What
is nation, lahirlah konsep negara bangsa di Eropa yang kemudian juga punya
implikasi terhadap Hindia-Belanda.
Menyambung dari
kondisi di atas C.Th. Van Deventer mengusulkan tulisan yang berjudul “utang
budi” yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan Belanda dengan nama
kebijakan etis di Hindia-Belanda. Kebijakan ini yang salah satunya adalah
memberikan kesempatan terhadap pribumi untuk mengenyam pendidikan. Dari proses
pendidikan yang berjalan perlahan ini kemudian menggeser struktur masyarakat
Indonesia yang awalnya hanya kalangan priyayi keraton dan rakyat jelata,
menjadi kelompok priyayi. Hal ini disebabkan karena adanya kelas professional
para birokrat yang kemudian yang secara sosial mendapat sebutan kelompok
priyayi (Satria Terminology Hindu).
Meskipun
sebelumnya sudah ada kelompok terdidik dari kelompok priyayi seperti: Kartini,
Budi Utomo/BO (1908), SDI (1912), dan pada tahun yang sama juga dibangun surat
kabar pertama Koran Medan Priyayi yang dipelopori oleh RM Tirto Adisuiryo. Pada
awalnya memang masih menjadi pertarungan yang cukup kuat antara kelompok
Priyayi Jawa Konservatif dan Priyayi Jawa Liberal (barat maindit).
Implikasi lain, munculnya sekretariat seperti Jong Jawa, Jong Sumatra, Jong
Islament Bond, Jong Celebes, SI, Muhamadiyah dan lainya.
Bersamaan dengan
revolusi Bolshevik yang membawa ideology komunisme di Rusia, telah menjadi
inspirasi awal gerakan perlawanan kaum miskin di Indonesia yang ditandai dengan
pemberontakan 1926, pasca ini terjadi konsolidasi gerakan yang cukup masif
ditingkatan nasional, karena yang terlibat didalamnya tidak hanya dari golongan
komunis semata, tapi dari golongan-golongan agama pun ikut didalamnya, walaupun
dalam satu sisi komunis sebagi ujung tombaknya. Dan imbas dari gerakan ini
adalah penangkapan secara besar-besaran aktifis gerakan komunis ataupun yang
bersimpati pada gerakan komunis, sumber resmi menyebutkan ada sekitar 13.000,
dan 5.000 diantaranya dihukum ringan, 1.000 dipenjara, 823 dibuang ke Boven
Digul, 6.000 dibebaskan dan 9 dijatuhi hukuman mati. (Pramudia Ananta Tour, Cerita
Dari Digul, Kepustakan Populer Gramedia, 2001). dan bersamaan dengan
banyaknya tokoh PKI yang diasingkan di Digul, peta pergerakan anak bangsa
mengalami pergeseran inspiraqtor gerakan, hal ini terbukti dengan munculnya
sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang diusung oleh kelompok
nasionalis. Momen ini subenarnya lebih tepat bila dimaknai bahwa sumpah pemuda
semakin memperjelas perpecahan elit bangsa kedalam kelompok nasionalis, agama
dan komunis. Dari ketiganya sama-sama punya birahi yang sama untuk tampil
kedepan.
Dengan perang
dunia I (1918) membuat kelompok dunia I sibuk seputar masalah peperangan. Pada
akhirnya, kondisi ini memberikan angin segar kepada negara-negara jajahan,
termasuk Indonesia. Disamping itu angin segar ini telah melahirrkan Revolusi
Asia. Salah satu ujud nyata implikasi ini adalah munculnya sumpah pemuda pada
tahun 1928 yang sekaligus menjadi embrio awal lahirnya Indonesia.
Seorang pemikir
Amerika,Telcot Person dalam bukunya the setructural action menerapkan
teorinya: structural fungsional. Dari proses ini terjadi polarisasi
negara-negara imnperialis yang kemudian melahirkan blok Sekutu dan Axis.
Pada tahun 1939
konflik antar blok ini makin menajam. Sementara Indonesia menjadi wilayah
perebutan untuk pangkalan dari kedua belah blok itu. Sehingga pada tahung 1942
Indonesia takluk pada Jepang dan menjadi salah satu basis kekuatan Axis. Dan
disini dirasakan puncak-puncak kolonialisme.
Dari situasi
ini kemudian muncul satu tokoh yang dapat mencuri moment dari satu reses yang
terjadi di tingkatan global. Dialah soekarno yang bersama sama telah melahirkan
NKRI pada tahun 1945. Dari situ satu babak kemerdekaan Indonesia terjadi karena
pengaruh system dunia internasional. (Hasyim Wahid dkk. Telikungan
Kapitalisme Global Dalam Sejarah Kebngkitan Indoneis. LkiS. Yogyakarta
1999.)
CATATAN
Satu sisi, feodalisme di Indonesia masih sangat kental. Hal ini
dapat dilihat misalnya dalam politik kepartaian saat ini. Bagimana kelas
priyayi masih menjadi simbol kekuasaan, dan perebutan politik yang terjadi
masih hanya terjadi ditingkatan elit kelompok, dan kecenderungan yang terjadi
kemudian basis bawah hanya menjadi korban politik. Dan juga nalar mistik masih
sangat mewarnai kehidupan masyarakat kita. Hal ini diperparah dengan bangunan
psiko historis yang mengungkung nalar ekonomi kita.
Persoalan lain
yang cukup menyakitkan adalah dominasi global terhadap setiap sendi kita baik
ekonomi, politik, sosial, budaya juga pengetahuan, yang begitu cepat terus
mengalami satu proses perubahan. Sehingga kemudian ketika kita mau mencari sisi
ideal untuk keluar dari krisis sangat buntu. Di satu sisi, kita dihadapkan
dengan budaya feodalisme yang sangat kuat, sedangkan sisi yang lain kita
dihadapkan dengan panorama kapitalisme global yang jauh lebih kuat.(Tan Malaka. Manifesto
Jakarta.)
No comments:
Post a Comment