Mata Kuliah Kapita Selekta Pendidikan
I.
PENDAHULUAN
Dalam konteks
pendidikan nasional, arti penting pendidikan Nilai tidak diragukan lagi.
Munculnya upaya pendidikan Nilai yang berhasil dirasakan sangat mendesak
apalagi dikaitkan dengan gejala-gejala kehidupan saat ini yang sering kali yang
kurang kondusif bagi masa depan bangsa. Arus globalisasi yang demikian kuat
berpotensi mengikis jati diri bangsa.Nilai-nilai kehidupan yang dipelihara
menjadi goyah bahkan berangsur hilang.perambatan budaya luar yang kurang ramah
terhadap budaya pribumi pada gilirannya menuntut perann pendidikan Nilai untuk
benar-benar menjamin lahirnya generasi yang tangguh secara intelektual maupun
moral.
Randahnya mutu
pendidikan Nasional tidak hanya disebabkan oleh kelemahan pendidikan dalam
memebekali kemampuan akademis kepada peserta didik. Lebih dari itu ada hal lain
yang tidak kalah penting, yaitu kurangnya penyadaran nilai secara bermakna.
Kelemahan dalam penyadaran nilai sebenarnya disebabkan oleh banyak hal, tetapi
secara umum persoalan itu muncul karena pendidikan nilai selalu menhadapi
sejumlah tantangan yang kian hari kian kompleks.
II.
PEMBAHASAN .
1.
Tantangan
Pendidikan Nilai
Memahami
pendidikan nilai dapat dimulai dari pemahaman kita tentang definisi dan
tujuannya. Definisi dapat memberikan petunjuk pada pemaknaan istilah pendidkan
nilai, sedangkan tujuan dapat memberikan kejelasan tenteng cita-cita dan arah
yang ditunjukan oleh pendidikan nilai
Rendahnya mutu
pendidikan nasional tidak hanya disebabkan oleh kelemahan pendidikan dalam
membekali kemampuan akademis kepada peserta didik.Dan juga kurangnya penyadaran
nilai secara bermakna, kelemahan dalam penyadara nilai sebenarnya disebabkan
oleh banyak hal, tetapi secara umum persoalan itu muncul kearena [endidikan
nilai selalu menghadapi sejumlah tantangan yang kian hari kian kompleks.
Ø Pergeseran Substansi Pendidikan
Salah satu penyebab rendahnya mutu
sumber daya manusia Indonesia setidaknya di akibatkan oleh adanya pergeseran
substansi pendidikan ke pengajaran. Makna pendidikan yang sarat dengan muatan
nilai-nilai moral bergeser pada pemaknaan pengajaran yang berkonotasi sebagai
transfer pengertahuan. Lebih tronis lagi, sinyalemen itu terjadi pada mata
pelajaran yang berlabelkan agama atau pendidikan kewarganagaraan yang tentu
syarat denagnmatan nila, norma dan moral. Tampaknya tak sulit untuk kita
temukan bahwa pada dua jenis mata pelajaran tersebut pengukuran aspek kognitif
berlangsung seperti halnya terjadi pada mata pelajarn yang lain.
Perubahan substansi pendidikan ke
pengajaran berdampak langsung terhadap pembentukan kepribadian peserta didik.
Otak siswa yang dijejali sebagai
pengetahuan buku menyebabkan peserta didik kurang kritis dan kreatif. Selain
itu, terabaikannya sisitem nilai yang semestinya menyertai proses pembelejaran
dapat mengakibatkan ketimpangan intelektual dengan emosional yang pada
gilirannya hanya akan melahirkan sosok spesialis yang kurang perduli terhadap
lingkungan.
Artinya
pendidikan yang berdimensi nilai, moral dan norma itu sangat pentig artinya
bagi masyarakat yang cepat berubah. Kematangan secara moral (morally mature)
menjadikan seseorang mampu memeperjelasdan menentukan sikap terhadap substansi
nilai dan norma baru yang muncul dalam proses perubahan.
Ø
Penyebab pergeseran
Kendala-kendala
yang menyababkan pergeseran pendidikan. Kendala itu muncul baik sarana
pengalaman pada lingkup makro maupun mikro yang menyangkut kemempuan personal
dan kondisi local, kendala-kendala tersebut antara lain
1.
Masih kukuhnya pengaruh paham behaviorisme dalam system pendidikan
kita. Paham ini mengacu pada pertimbanga atribut-atribut luar seperti perubahan
tingkah laku peserta didik yang dapat diamati dan diukur. Konsekuensinya,
proses dan evaluasi keberhasilan pendidikan terpaku pada pengukuran-pengukuran
tingkah laku yang dapat diangankan. Sebuah pertanyaan yang bernada fesimistik
seperti: apakah angka 9 untuk mata pelajaran agama sudah mengukur kualitas
ketaqwaan anak didik? Pertanyaan retoris seperti itu tiada lain ditujukan untuk
mempetanyakan kembali hakikat pendidikan yang sesungguhnya.
2.
Kapasitas mayoritas pendidik kita
dalam mengangkat struktur dasar bahan ajar masih relative rendah. Hal itu tidak
terlepas dari keterbatasan sumber bacaan, kurangnya dukungan sarana, pengalaman
pendidikan yang kurang menguntungkan, bahkan sisi jelek dari pewarisan
kepribadian sebagai bangsa yang pernah dijajah tiga abad lamanya. Factor-faktor
itu kpotensial untuk menjadi penyebab tidak sedikitnya peristiwa dalam
pendidikan kita yang “mencekcoki” peserta didik.
3.
Tuntutan jaman yang makin
pragmatis.setelah lokomotif ekonomi bangsa mengalami krisis moneter, pendidikan
pun ikut terpuruk pada ketidakstabilan muatan misinya. Di satu pihak ilmu
pengetahuan alam yang dipandang cepat mendatangkan uang lebih disukai para
peminat, sedangkan dilain pihak ilmu pengetahuan social yang dipandang sebagai
ilmu kelas dua kerap dianggap kurang menarik. Dengan demikian, pendidikan
semestinya berperan sebagai ajang pemanusiaan manusia kian terdepak oleh
nilai-nilai pragmatis demi mencapai tujuan materil.
4.
Terdapat sikap dan pendirian yang
kurang menguntungkan bagi tegaknya demokratisasi pendidikan. Sikap feudal dari
para pemimpin lembaga pendidikan yang diikuti oleh sikap tunduk dari bawahan
dan pendirian konservatif yang diikuti oleh sikap resisten terhadap perubahan
merupakan factor penghambat tumbuhnya demokratisasi pendidikan di lingkungan
pendidikan formal. Kekuatan akar rumput (
grassoort) yang seharusnya menjadi penggerk utama demokratisasi pendidikan
tidak jarang kurang mendapat tempat. Padahal esensi pembaharuan pengajaran kea
rah pendidikan khususnya pada pendidikan nilai memrlukan elemen-elemen dasar
pendidikan yang disemai dalam suasana kebersamaan, kebebasan dan keberdayaan
pendidik dan peserta didik.
5.
Kendala-kendala itu harus menjadi
dasar pertimbangan pembaharuan pendidikan kita yang cenderung sedang mengalami
pergeseran makna pendidikan ke pengajaran. Berbagai langkah perlu di tempuh
secara komprehensif dan integral dengan bertolak dari kajian kasus per kasus
yang muncul dalam peristiwa pendidikan.
Ø Benturan Dan Pergeseran Nilai
Benturan
nilai terjadi karena ilmu berkembang dari dua karakter berpikir yang berbeda,
yang dalam sejarah perkembangan ilmu disebut karakter berpikir yang
mengutamakan akal dan kebenaran ilmiah (intellectus
quaern fidem) di satu pihak, dengan karakter berpikir yang menggunakan
keyakinan agama (fides quaerns
intellctum) di pihak lain.
Secara
praktis benturan nilai terjadi dalam sehari-hari. Banyak fenomena perilaku anak
muda yang makin hari makin membuat riskan
(kehawatiran) orang tua. Pergaulan yang cenderung permisif (bersifat
terbuka) telah membuat banyak anak muda yang tidak lagi perduli terhadap
tatanan nilai moral dan etika pribumi. Meski nilai sebagai inti perbuatan tidak
mudah diterka, tetapi perubahan perilaku yang cenderung meniru budaya orang
lain adalah bukti adanya pergeseran keyakinan nilai pada diri mereka. Karena
itu, pergeseran dan perbenturan nilai merupakan tantangan Pendidikan Nilai
Dalam Konteks Pendidikan Nasional.
2.
Landasan Kultural
Pendidikan Nilai
Dalam
konteks Pendidikan Nasional, pengembangan pendidikan nilai perlu
diartikulasikan sesuai dengan nilai-nilai luhur bngsa yang bersifat cultural
dan spiritual. Hal ini tidak berarti harus mengabaikan landasan atau prinsip
pengembangan pendidikan nilai yang bersifat umum seperti landasan filosofis,
psikologis, social dan prinsip keutuhan serta keterpaduan yang terdapat dalam
landasan-landasan pendidikan nilai yang ditampilkan pada bagian dimaksudkan
untuk memberikan makna bahwa penyadaran nilai dapat mengacupada landasan
yuridis dan relegi yang berkembang dalam masyarakat kita.
A. Landasan
yuridis
Penyelenggaraan
pendidikan nilaidalam konteks pendidikan sebenarnya memiliki landasan hukum
yang kuat.Ideology Negara, undang-undang, dan GBHN merupakan kepentingan
yuridis yang mengandung banyak pesan nilai.Karena itu, pendidikan nilai
memiliki posisi yang cukup strategis dalam pendidikan nasional, walaupun
istilah pendidikan nilai belum terdefinisikan secara tegas dalam kurikulum
pendidikan formal. Landasan-landasan
yuridis adalah sebagai berikut:
Ø Pancasila
sebagai landasan ideal bangsa. Sebagai kristalisasi nilai-nilai luhur bangsa,
pancasila kaya akan pesan nilai, moral dan etika asli bangsa.
Ø Undang-undang
dasar tahun 1945 (UUD ’45) sebagai landasan konstitusional bangsa. Sebagaimana
pancasila, UUD ’45 memiliki pesan nilai, moral dan norma bangsa.
Ø Garis-garis
besar haluan Negara (GBHN) thun 1993 sebagai landasan operasional bangsa.
Sebagai penjabaran dari norma-norma hukum yang terdapat dalam UUD’45, GBHN
dapat dijadikan rujukan yang lebih jelas tentang tujuan pendidikan, utamanya
pendidikan nilai.
Ø Undang-undang
system pendidikan nasional (UUSPN) No 20 tahun 2003 sebagai landasan
operasional penyelenggaraan pendidikan nasional dengan ditetapkannya UUSPN ini
sebagai pengganti UUSPN no 2 tahun 1989, maka status dan peran pendidikan nilai
semakin kuat.
B. Landasan
religi
Walaupun
Indonesia bukan Negara agama, bangsa Indonesia adalah bangsa yang
beragama.Setiap pribadi bangsa memiliki keyakinan bahwa nilai ketuhanan adalah
nilai tertinggi. Adanya perbedaan agama yang dianut bangsa Indonesia menuntut
kehati-hatian dalam menafsirkan istilah iman dan taqwa yang digunakan sebagai
indicator keyakinan beragama dalam pancasila,
UUD’45 , GBHN 1993, dan UUSPN 2003 menunjukkan makna tunggal ika.
Landasan
religi yang menguatkan pentingnya pendidikan nilai dalam perspektif Islam dapat
dilihat dari hakikat fitrah sebagai potensi dasar yang positif.Fitrah adalah
kekuatan inti pencerahan batin manusia yang secara signifikan berbeda dari
konsep tabularasa.Namun, karena pada diri manusia terdapat fakultas akal,
nafsu, dan hati yang saling mengalahkan.
3.
Status
Pendidikan Nilai
Dalam
status pendidika nilai dalam konteks pendidikan nasional sering dipandang
penting dan strategis, bahkan sesekali di anggap sebagai pendidikan yang paling
krusial apabila tidak diselenggarakan dengan baik dalam pendidikan nasional.
4.
Pendidikan Nilai
Dan Inovasi Pendidikan
Inovasi pendidikan adalah gagasan atau
program yang dipersepsi sebagai sesuatu yang baru oleh pengguna.Istilah “baru”
memang biasa relative.Suatu gagasan atau program yang sebenarnya sudah usang
menurut suatu komunitas masyarakat atau bangsa dapat dianggap baru oleh yang
lain.pada criteria pertama, inovasi pendidikan banyak dikembangkan dilembaga
pendidikan Negara maju.
III.
KESIMPULAN
Dewasa ini, hubungan antara
lingkungan pendidikan tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam membangun
pendidikan nilai.Keretakan hubungan tidak terlepas dari derasnya terpaan
globalisasi informasi dan modernisasi. Ekses dari proses peralihan jaman itu
telah membuat manusia mengalami pergerakan perubahan dari proses hidup alamiah
kedunia baru yang cenderung individualistis dan materialistis. Segala sesuatu
dapat diperoleh dengan fasiitas yang serba mudah dan tidak lagi mengenal tapal
batas.
Dalam hal ini pendidikan nilai dalam
konteks pendidikan nasional perlu di artikulasi sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa yang bersifat cultural dan spiritual. Hal ini tidak berarti harus
mengabaikan landasan atau prinsip pengembangan pendidikan nilai yang bersifat
umum seperti landasan filosofis, psikologis,social dan prinsip keutuhan serta
keterpaduan sehingga dapat dijadikan pedoman hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Mulyana,
Dr. Rohmat.2004. Mengartikan Pendidikan Nilai. Alvabeta
CV:bandung
Ø Kaswardi,
E.K. 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
No comments:
Post a Comment