Kuliah Ushul
Pendahuluan
Kajian ushul fiqih
membahas dalil dalil yang bersifat global mencakup pengetahuan tentang
dalil-dalil yang disepakati seperti
Al-qur’an, sunnah, ijma’,dan qiyas dan dalil-dalil
yang tidsk disepakati termasuk maslahah
mursalah, urf,istishab pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut, terdiri dari dua segi yaitu
segi kehujjahanya (keabshahanya) sebagai landasan pembentukan hokum dan
segi penunjukkanya terhadap hokum serta metode menarik hukum darinya. Sedangkan
metote istinbath yang dibahas dalam ushul fiqih adalah bagian dari penggalian
dalil-dalil yang bersifat global. Karena sebagian besar dari metode istinbath
telah tercakup dalam bagian dalil-dalil fiqih yang dibahas dalam ushul fiqih.
Metode istinbath
bilamana dalam pandangan mujtahid terjadi pertentangan antara dalil satu dengan
yang lain misalnya seperti yang
dikemukakan oleh abdurrohim al-isnawi, mendahulukan dalil yang tegas ats dalil
yang tidak tegas pengertianya, dan yang lain-lainyang pada umumya dibahas dalam
kajian ushul fiqih.
Pembahasan
1.
Maslahah
Mursalah
A.
Definisi maslahah mursalah
Maslahah mursalah
yaitu, yang mutlak, menurut istilsh para ahli ilmu usul fiqih ialah: swuatu kemaslahatan dimana sari’
tidak mensariatkan suatu hokum untuk merealisir kemaslahatah itu, dan tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembuatanya. Maslahat ini disebut
mutlak karena ia tidak terikat oleh
dalil yang mengakuinya atau dalil yang membatalkanya bahwasanya pembentukan hukum
tidaklah dimaksudkan kecuali mewujudkan kemaslahatan orang banyak, artinya
mendatangkan keuntungan bagi mereka, atau menolak madlorot, atu menghilangkan
keberatan dari mereka.
Pensyari’atan
hokum terkadang mendatangkan kemanfaatan pada suatu masa dan pada masa yang
lain ia mendatangkan madlorot. Kadang kala suatu hokum mendatangkan manfaat
dalam suatu lingkungan tertentu, namun ia justru mendatangkan madlorot dalam
lingkungan yang lain[1].
B.
Dalil ulama yang
menjadikn hujjah maslahah mursalah.
Pendapat
jumhur ulama, maslahah mursalah adalah hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar
pembentukan hokum, dalil kehujahan maslahah mursalah ada 2 :
1.
Kemaslahatan umat manusia baru
dan tidak ada habis-habisnya. Jika hokum tidak disyari’atkan untuk
mengantisipasi kemaslahatan umat manusia yang terus muncul uum hanya berkisar
pada berbagai kemaslahatan yang diakui oleh syari’ saja, maka akan banyak
kemaslahatan manusia yang tertinggal diberbagai tempat dan zaman, dan
pembentukan hokum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan kemaslahatan
mereka, hal ini tidak sesuai dengan apa yang dimaksud dalam pembentukan hokum
sebagai upaya mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
2.
Bahwasanya orang meneliti
pembentukan hokum oleh para sahabat, tabi’in dan para imam mujtahid maka ia
akan merasa jelas bahwasaya mereka telah mensyari’atkan berbagai hokum untuk
merealisir kemaslahatan umum ini, bukan karena adanya dalil yang mengakuinya[2].
C.
Syarat-Syarat
Berhujjah Maslahah Mursalah
Ulama
yang berhujjah dengan maslahah mursalah bersikap hati-hati untuk menjadikanya
sebagai hujjah, sehingga ia tidak menjadi pintu bagi pembentuan hokum munurut
hawa nafsu dan kesenangan.
Ada
tiga syarat maslahah mursalah yang menjadi dasar pembentukan hukum:
a.
Maslahah mursalah harus merupakan
suatu kemaslahatan yang haqiqi dan bukan suatu maslahat yang bbersifat dugaan
saja. Membuktikan bahwa pembentuan hokum suatu kasus mendatangkan kemanfaatan
dan menolak bahaya. Jika pembentukan suatu hokum menarik suatu manfaat saja
tanpa mempertimbangkan madlorotnnya maka ini adalah berdasarkan atas
kemaslahatan yang bersifat dugaan (maslahah wahmiyah).
b.
Maslahah mursalah adalah
kemaslahatan umum dan bukan kemaslahatan pribadi. Dengan tujuan dalam
pembentukan hokum pada suatu kasus seharusnya mendatangkan manfaat bagi mayoritas
umat manusia, atau menolak bahaya dari mereka dan bukan untuk kemaslahatan
individu atau sejumlah perseorangan yang merupakan minoritas dari mereka[3].
c.
Pembentukan hokum berdasarkan
kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan hokum atau prinsip yang telah
berdasarkan nash atau ijma’.
D.
Kekaburan yang paling jelas dari orang yang menolak
kehujjahanya.
Sebagian
dari ulama berpendapat bahwasanya maslahah mursalah yang tidak ada bukti syar’I
yang membuktikan terhadap pengakuan maupun pembatalanya, tidak bisa dijadikan
sebagai dasar pembentukan hokum. Adapun dalilnya :
a.
Bahwasanya syari’at telah
memelihara segalakemaslahatan manusia dengan nash-nashnya dan dengan
petunjuknya berupa qiyas.
b.
Pembentukan hukum atas dasar
kemutlakan kemaslahatan berarti membuka pintu untuk hawa nafsu untuk orang yang
menurutinya, baik dari kalangan amir dan para mufti.
Ibnu
Al-qoyyin berkata; diantara kaum muslimin ada sekelompok orang yang
berlebih-lebihan dalam memelihara maslahah mursalah, sehingga mereka menjadikan
syari’at serba terbatas, yang tidak mampu melaksanakan kemaslahatan hamba yang
membutuhkan kepada lainnya. Mereka telah menutup dirinya untuk menempuh
berbagai jalan yang benar berupa jalan kebenaran dan keadilan dan diantara
mereka ada pula orang-orang yang elampaui batas, sehingga mereka memperbolehkan
sesuatu yang menafikan syari’at Allah dan mereka memunculkan kejahatan yang
panjang dan kerusakan yang luas[4].
2.
‘Urf
A.
Definisi ‘Urf
‘Urf
adalah sesuatu yang telah dikenal oleh banyak orang dan telah menjadi tradisi
mereka, baik berupa perkataan, atau prbuatan, atau keadaan meninggalkan. Ia
juga diisebut adat. Sedangkan menurut istilah para ahli syara’ tidak ada
perbedaan antara ‘Urf dan adat kebiasaan, maka ‘Urf yang bersifat perbuatan
seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara memberikan
tanpa ada shighot lafdziyyah (ungkapan melalui perkataan)
B.
Macam-macam ‘Urf
1)
‘Urf shohih
‘Urf
shohih ialah : sesuatu yang saling dikenal manusia dan tidak bertentangan
dengan dallil syara’, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan dan tidak pula
membatalkan sesuatu yang wajib.
2)
‘Urf fasid
‘Urf
fasid ialah : sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia, akan tetapi tradiisi
itu bertentangan dengan syara’ atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan, atau
menbatalkan sesuatu yang wajib[5].
C.
Hukum ‘Urf
‘Urf
shohih wajib dipelihara dan pembentukan hokum dan dalam peradilan sesuatu yang
telah menjadi adat manusia dan sesuatu yang telah terbiasa dijalani. Maka hal
itu telah menjadi kebutuhan dari manusia dan sesuai pula dengan kemaslahatan
mereka. Sepanjang tidak keluar dengan syara’ maka wajib diperhatikan.
Artinya :
Adat
merupakan syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum.
‘Urf
yang fasid ( adat kebiasaan yang rusak) maka ia tidak wajib diperhatikan karena
bertentangan dengan dalil syar’I atau membatalkan hokum syar’i. apabila manusia
telah terbiasa mengadakan suatu perjanjian yang termasuk fasid, seperti riba
atau perjanjian yang bersifat penipuan atau bahaya maka ‘Urf tidak
memperbolehkan perjanjian tersebut[6].
3.
Istishab
A.
Definisi istishab
Istishab
menurut bahasa arab ialah ; pengakuan adanya perhubungan. Sedang menurut para
ahli ilmu usul fiqih istishab adalah; menetapkan hukum atas sesuatu, berdasarkan
keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan keadaan
tersebut, atau ia adalah menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu
dan masih tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas
perubahannya.
Apabila
seorang mujtahid ditanyai tentang hukum sebuah perjanjian atau suatu
pengelolaan, dan ia tidak menemukan nash didalam Al-qur an atau sunnah dan
tidak pula menemukan dalil syar’i yang membicarakan hukumnya, maka ia
memutuskan dengan kebolehan perjanjian atau pengelolaan tersebut berdasarkan
atas kaidah;
ان الاصل في
الاشياء الاباحة
Artinya:
“Sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan “
Apabila
seorang mujtahid ditanyai mengenai hukum suatu binatang, benda padat,
tumbuh-tumbuhan, atau makanan apapun, atau minuman apa saja, atau suatu amal
perbuatan dan ia tidak menemukan dalail syar’i atas hukumnya, maka ia
menetapkan hokum dengan kebolehannya, karena sesungguhnya kebolehan (ibahah)
adalah asalnya, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap perubahannya.
Sesungguhnya
asal sesuatu itu boleh, karena Allah SWT telah berfirman:
هو الذي خلق لكم ما في
الارض جميعا
Artinya:
“Dialah Allah
yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu” (Q.S. Al-baqarah : 29)
B.
Kehujjahan istishab
Istishab
merupakan akhir dalil syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Maka para ahli ilmu usul
fiqih berkata: Sesungguhnya istishab merupakan akhir tempat beredarnya
fatwa, dengan kata lain ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan
dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang
merubahnya , ini adalah metode untuk beristidlal yang menjadi fitrah manusia dan
mereka jalani dalam berbagai tindakan dan hukum mereka.
Ulama’
Hanafiyyah menetapkan bahwasanya istishab adalah hujjah untuk mempertahankan,
bukan untuk membuktikan, bahwasanya istishab merupakan hujjah atas tetapnya sesuatu
pada keadaan semula, dan menolah
sesuaatu pada yang menentangnya. Ada dalilyang menetapka sesuatu yang tidak
tetap. Hal ini dijelaskan oleh sesuatu yang tidak tetap. Hal ini jelaskan oleh
sesuatu yang tidak tetap hal ini dijelaskan oleh sesuatu yang telah meraka tetapkan berkenaan ddengan orang yang
mafqud yaitu orang yang hlang yang tidak diketahui tempatnya, tidak
diketahui hidupmaupu matinya. Orang yang
hilang ini dihukumi sebagai orang yang masih hidup berdasarkan kelangsungan
keadaan yang telah diketahui sehingga ada dalil yang menunjukkan kematiannya.
Istishab yang menunjukkan kehidupannya ini menunjukkan hujjah untuk menolak
dakwaan kematiannya, pewaris terhadap hartanya dan pembatalan perjanjia
sewa-menyewa, pentalakan istrinya. Akan tetapi ia bukanlah hujjah untu
menetapkan hak warisanya dari lainya, karena kehidupanya yang tetap berdasarkan
istishab adalah kehidupan yang bersifat anggapan bukan hakikinya[7]
Berdasarkan
istishab ini, beberapa prinsip syara’ di bangun, yaitu sebagai berikut :
الاصل
بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
Artinya:
Asal seesuatu
itu adlah ketetapan sesuatu yang telah ada menurut keadaan semula, sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang
merubahnya.
الاصل في الاشياء الاباحة
Asal segala sesuatu adalah kebolehan
ما ثبت باليقين لا يزول بالشك
Artinya:
Sesuatu yang tetap
sebab keyakinan tidak hilang sebab keragu-raguan.
الاصل في الانسان البراءة
Artinya:
Asal pada manusia adalah kebebasan.
Sebenarnya
pengakuan terhadap istishab itu sendiri sebagai dalil atas hokum adalah
penetapan secara majazi karena
sesungguhnya dalil pada kakikatnya adalah dalil yang menjadi ketetapan hukum
yang terdahulu[8].
4.
Istinbath[9]
Kata
istinbath bila dihubungkan denganhukum, berarti upaya menarik hukum dari
Al-qur’an dan sunnah dengan jalan ijtihad. Secara garis besar, metode istinbath didagi menjadi
tiga bagian, yaitu, segi kebahasaan, segi maqosid syari’ah, dan segi
penyelesaian beberapa dalil yang bertentangan.
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul fiqih adalah Al-qur’an dan
sunnah, untuk memahami teks-teks dua sumber yang berbahasa arab tersebut, para
ulama’ telah menyusun semacam semantic yang akan digunakan dalm praktik penalaran fiqih diantaranya tang sangat
pentin adalah: masalah amar, nahi, dan takhyir, pembahasan lafad dari segi umum
dan khusus, pembahasan lafad dari
sei mutlaq dan muqoyyad,dari segi mantuq dan mafhum, dari segi jelas dan
tidaknya.
1.
Amar (Perintah)
Amr adalah suatu tuntutan (Perintah)
untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukanya kepada pihak
yang lebih rendah.
2.
Nahi (Larangan)
Nahi adalah larangan melakukan suatu
perbuatan dari pihak yang lebihtinggi kedudukanya pada pihak yang lebih rendah
dengan kalimat yang menunjukkan atas itu.
3.
Takhyir (Memberi Pilihan)
Takhyir adalah Syari’(Allah dan
Rasul-Nya) memberi pilihan kepada hambanya antara melakukan atau tidak
melakukan suatu perbuatan. Hokum yangditunjukkan oleh ayat atau hadisdalam betuktakhyir
itu adalam halal atau mubah.
4.
Lafad umum (‘am) dan lafad khusus (khas)
Lafad umum ialah lafad yang
diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafad itu sendiri
tanpa dibatasidenganjumlah tertentu.seperti kata kull dan jami’. Sedangkan
lafad khas adlah lafad yang mengadungsatu pengrtian secara tunggal atau
beberapa pengertian yang terbatas.
5.
Mutlaq dan muqoyyad
Mutlaq adalah lafad yang menunjukkan
suatu satuan tanpa dibatasi secaa harfiah dengan suatu ketentuan seperti kata Missri
(seorang mesir), dan Rojulun (seorang laki-laki) sedangkan lafad
muqoyyad adlah lafad yang menunjukkan suatu stuan yang secara lafdiah dibatasi
dengan stuan ketentuan, misalnya, misriyyun
muslimun (orang mesir yang beragama islam), dan Rojulun rosyidun
(seorang laki-laki yang cerdas).
6.
Mantuq dan Mafhum
Mantuq menurut istilah ushuul fiqih
berarti pengertian harfiyah dari sutu lafad yang diucapkan. Menurut ulama’
ushul fiqih, Mantuq dibagi kepada Mantuq soreh dan Mantuq ghoiru
soreh.sedangkan mafhum adalah pengertian tersirat dari suatu lafad (Mafhum Muwafaoh
) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafad yang diucapkan (Mafhum mukholafah)
7.
Lafad dari segi jelas dan tidak
jelas maknanya
Jumur ulama’ ushul fiqih membagi lafad
dari segi jelas dan tidak jelasnya kepada tiga tingkatan yaitu, Nash
,dhohir,dan mujmal pengertian nash menurut imam syafi’I adalah teks Al-qur’an
dan sunah rosulullah baik tegas maupn
tidak tegas. Dhoir adalah lafad yang mennjukkan suatu pengertan yang hanya
sampai ketingkat dzonni(Dugaan keras) artinya makna yan cepat ditangkap dari
mendengarkan lafat itu, namun masih ada sedikit pengertian lai selain
pengertian yang telah ditanka dan mujmal
adalah lafad yang tidak jelas pengertianya sehingga untuk memahamilnya
memerlukan penjelasn dari luar.
KESIMPULAN
Telah
kita ketahui bersama “ setiap rahmat” pasti mendatangkan kemanfaatan, dari
kemanfaatan terwujud kemaslahatan sedang kemaslahatan datangnya dari Ramat.
Dari hal ini dapat kta ambil pemahaman bahwa kemaslahatan itu semata-mata
dating dari Allah SWT karena hal itu merupakan kepentingan umum atau “ Maslahah
Mursalah “
Untuk
mencapai kemanfaatan yang bersifat umum, perlu adanya metode dalam penetapan
hokum islam, khususnya dalam bidang ilmu fiqih melalui ushul fiqih. Berbagai
metode istinbat yang dipakai oleh para Imam Mujtahid termasuk pertimbangan “Urf
sebagai sumber hokum Istishab. Dalam kaitannya dengan ini, melalui penjelasan
yang telah disampaikan dalam makalah kami, dapat disimpulkan bahwa adanya
metode Istimbat yang dipakai oleh para Ushulliyin dalam menentukan hokum yang
digali dari Al-Qur’an dan Sunnah seperti ‘Urf, Maslahah Mursalah dan Istishab,
tidak lain adalah hal-hal yang sangat diperlukan oleh hidup dan kehidupan
manusia dalam bermasyarakat, dimana jika hal ini tidak ditemukan jalan
keluarnya, maka tatanan kehidupan mereka terancam atau perkembangan mereka
terganggu bahkan secara sempurna sehingga segala macam bentuk dan macamnya “
Rasa kemanusiaan, kesusilaan dan keragaman “ tidak terwujud sebab maksud awal
dalam menetapkan hokum adalah kemaslahatan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Khallaf,
abdul wahahab, ilmu ushul fiqih: Dina utama, Semarang. 1994
Effendi,satria.
M.zein, Ushul fiqih, Jakarta:
Prenada Media Group,2009
Drs. Muhammad,
Ma’sum Zein.MA, Arus Prmikiran Empat Madhab. Darul Hikmah. Jombang. 2008
makalahnya sangat membantu saya... sesuai dengan mata kuliah saya.. matur nuhun, semoga bermanfaat dan berkah
ReplyDelete