Mata Kuliah Agama
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada saat ini gadai adalah hal yang lumrah dalam
kehidupan sehari-hari namun pada nyatanya masih banyak orang yang belum
mengetahui hukum gadai dalam islam. Tuntutan hidup yang semakin keras membuat
banyak orang memilih mendapatkan uang dengan cepat meski tidak mengetahui
hukum-hukumnya dalam islam. Oleh karena itu penulis tertarik untuk menelaah
lebih lanjut mengenai hukum gadai dalam islam.
B. Rumusan Masalah
Adanya praktek gadai dalam kehidupan
sehari-hari merupakan tanda tanya besar tentang perannya dalam agama
islam. Dalam membahas persoalan ini penulis merumuskan beberapa masalah, yaitu:
- Seperti apa
peranan gadai dalam islam ?
- Seperti
apakah hukum gadai dalam islam?
C. Manfaat dan Tujuan
Dengan mempelajari gadai dalam islam maka kita akan
mengetahui seperti apakah hukum gadai itu sebenarnya sehingga kita memahami dan
dapat mengaplikasikan hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Rahn/ Gadai
Ar-Rahn merupakan mashdar dari rahana-yarhanu-rahnan;
bentuk pluralnya rihân[un], ruhûn[un] dan ruhun[un]. Secara
bahasa artinya adalah ats-tsubût wa ad-dawâm (tetap dan langgeng);
juga berarti al-habs (penahanan).[1]
Secara syar‘i, ar-rahn (agunan) adalah
harta yang dijadikan jaminan utang (pinjaman) agar bisa dibayar dengan harganya
oleh pihak yang wajib membayarnya, jika dia gagal (berhalangan) menunaikannya.
Ar-Rahn disyariatkan dalam Islam. Allah Swt.
Berfirman (TQS al-Baqarah [2]: 283):
Artinya
: “Jika kalian dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai),
sementara kalian tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
Aisyah
ra. menuturkan: “Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam pernah membeli makanan
dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau mengagunkan baju besinya.” (HR
Bukhari dan Muslim).
Anas
ra. juga pernah menuturkan: “Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wasalam
pernah mengagunkan baju besinya di Madinah kepada orang Yahudi, sementara
Beliau mengambil gandum dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarga
Beliau.” (HR al-Bukhari).
Ar-Rahn boleh dilakukan baik ketika safar maupun
mukim. Firman Allah, in kuntum ‘alâ safarin (jika kalian dalam keadaan safar),
bukanlah pembatas, tetapi sekadar penjelasan tentang kondisi. Riwayat Aisyah
dan Anas di atas jelas menunjukkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam
melakukan ar-rahn di Madinah dan beliau tidak dalam kondisi safar, tetapi
sedang mukim. [QS al-Baqarah ayat 283 menjelaskan bahwa dalam muamalah tidak
secara tunai ketika safar dan tidak terdapat penulis untuk menuliskan transaksi
itu maka ar-rahn dalam kondisi itu hukumnya sunnah. Dalam kondisi mukim
hukumnya mubah.[2]
Imam Al Qurthubi mengatakan : “Tidak ada seorangpun
yang melarang Ar- Rahn pada keadaan tidak safar, kecuali Mujahid, Al Dhahak dan
Dawud (Ad Dzohiri) [AbhatsHai'at Kibar Ulama 6/107]. Demikian juga Ibnu Hazm.
Adapun Ibnu Qudamah, beliau mengatakan :
Diperbolehkan Ar-rahn dalam keadaan tidak safar (menetap) sebagaimana
diperbolehkan dalam keadaan safar (bepergian).
Sedangkan Ibnul Mundzir mengatakan : Kami tidak
mengetahui seorangpun yang menyelisihi hal ini kecuali Mujahid. Menurutnya,
Ar-Rahn tidak ada kecuali dalam keadaan safar, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).
B. Rukun (ketentuan pokok) Ar-rahn
- Shighat
(ijab dan qabul)
Al-‘aqidan (dua orang yang melakukan akad ar-rahn),
yaitu pihak yang mengagunkan (ar-râhin) dan yang menerima agunan (al-murtahin).
Al-ma’qud ‘alaih (yang menjadi obyek akad), yaitu barang yang diagunkan
(al-marhun) dan utang (al-marhun bih). Selain ketiga ketentuan dasar tersebut,
ada ketentuan tambahan yang disebut syarat, yaitu harus ada qabdh (serah
terima).
Jika semua ketentuan tadi terpenuhi, sesuai dengan
ketentuan syariah, dan dilakukan oleh orang yang layak melakukan tasharruf,
maka akad ar-rahn tersebut sah.
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli
dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus
dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi.
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah,
barang elektronik, dsb saat ini-yang jika pembeli (debitor) tidak bisa
melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh
pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas
menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh
dilakukan.
- Waktu
Ar-Rahn (Gadai) Menjadi Keharusan
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah
keharusan Ar-Rahn. Apakah langsung seketika saat transaksi, ataukah setelah
serah terima barang gadainya
Dalam masalah ini
terdapat dua pendapat.
a. Serah
terima adalah menjadi syarat keharusan terjadinya Ar-Rahn. Demikian pendapat
Madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam madzhab Ahmad bin Hambal serta
madzhab Dzohiriyah.
b. Ar-Rahn
langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian bila pihak yang
menggadaikan menolak menyerahkan barang gadainya maka ia pun dipaksa untuk
menyerahkannya. Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan riwayat dalam madzhab
Al Hambaliyah.
Menurut Prof. DR. Abdullah Al Thoyyar, yang rajih,
bahwasanya Ar-Rahn menjadi keharusan dengan adanya akad transaksi, karena hal
itu dapat merealisasikan faidah Ar-Rahn, yaitu berupa pelunasan hutang
dengannya atau dengan nilainya, ketika (hutangnya) tidak mampu dilunasi.
- Waktu
Serah Terima Ar-Rahn Dianggap Sah
Barang gadai adakalanya berupa barang yang tidak
dapat dipindahkan seperti rumah dan tanah, Maka disepakati serah terimanya
dengan mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.
Ada kalanya berupa barang yang dapat dipindahkan.
Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati serah terimanya dengan ditakar
pada takaran, bila barang timbangan maka disepakati serah terimanya dengan
ditimbang pada takaran. Bila barang timbangan, maka serah terimanya dengan
ditimbang dan dihitung, bila barangnya dapat dihitung. Serta dilakukan
pengukuran, bila barangnya berupa barang yang diukur.
Namun bila barang gadai tersebut berupa tumpukan
bahan makanan yang dijual secara tumpukan, dalam hal ini perselisihan pendapat
tantang cara serah terimanya. Ada yang berpendapat dengan cara memindahkannya
dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak
yang menggadaikannya, sedangkan murtahin dapat mengambilnya.
- Hukum-Hukum
Setelah Serah Terima.
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya
serah terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan), pertumbuhan
barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan pertanggung jawaban bila rusak atau
hilang.
a. Pemegang
Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin
selama masa perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
“Jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang). [Al-Baqarah : 283]
Dan
sabda beliau “Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan. Dan susu
(dari hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang
mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.” [Hadits Shohih
riwayat Al Tirmidzi].
b. Pembiayaan,
Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin). Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam arti pemeliharaan barang tersebut). Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan. Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Hewan
yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari hewan) diminum
apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang mengendarainya dan yang minum,
(untuk) memberi nafkahnya. [Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi].
c. Pertumbuhan
Barang Gadai
Pertumbuhan atau pertambahan barang gadai setelah
digadaikan adakalanya bergabung dan adakalanya terpisah. Bila tergabung
seperti, (bertambah) gemuk, maka ia masuk dalam barang gadai dengan kesepakatan
ulama. Sedangkan jika terpisah, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan yang menyepakatinya
memandang pertambahan atau pertumbuhan barang gadai yang terjadi setelah barang
gadai ditangan Murtahin, maka ikut kepada barang gadai tersebut.
Sedangkan Imam Syafi’i dan Ibnu Hazm dan yang
menyepakatinya memandang, pertambahan atau pertumbuhan bukan ikut barang gadai,
tetapi menjadi milik orang yang menggadaikannya. Hanya saja Ibnu Hazm berbeda
dengan Syafi’i menyangkut barang gadai yang berupa kendaraan dan hewan
menyusui. Ibnu Hazm berpendapat, dalam kendaraan dan hewan yang menyusui,
(pertambahan dan pertumbuhannya) milik yang menafkahinya.
d. Perpindahan
Kepemilikan Dan Pelunasan Hutang Dengan Barang Gadai
Barang gadai tidak berpindah kepemilikannya kepada
Murtahin apabila telah selesai masa perjanjiannya, kecuali dengan izin orang
yang menggadaikannya (Rahin), dan rahin tidak mampu melunasinya
Demikianlah keindahan Islam dalam permasalah gadai.
Penyelesaian dan pelunasan hutang dilakukan secara adil. Tidak seperti yang
dilakukan di tengah masyarakat kebanyakan. Yakni terjadinya tindak kezhaliman
yang dilakukan pemilik piutang, dengan cara menyita barang gadai, walau nilainya
lebih besar dari hutangnya, bahkan mungkin berlipat-lipat. Perbuatan semacam
ini, sangat jelas merupakan perbuatan Jahiliyah dan perbuatan zhalim yang harus
dihilangkan. Semoga kita terhindar dari perbuatan ini.
- Unsur
dan Rukun Rahn
Dalam prakteknya, gadai
secara syariah ini memilikibeberapa unsur:
a. Pertama: Ar-Rahin
Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam
uang dengan jaminan barang
b. Kedua: Al-Murtahin
Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan
atau yang meminjamkan uangnya.
c. Ketiga: Al-Marhun/
Ar-Rahn
Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan
d. Keempat: Al-Marhun
bihi
Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang
digadaikan
- Rukun
Gadai
Sedangkan dalam praktek gadai, ada beberapa rukun
yang menjadi kerangka penegaknya. Dintaranya adalah
a. Al-’Aqdu yaitu
akad atau kesepaktan untuk melakukan transaksi rahn Sedangkan yang termasuk
rukun rahn adalah hal-hal berikut:
b. Adanya
Lafaz yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan
secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud adanya
perjanjian gadai di antara para pihak.
c. Adanya
pemberi dan penerima gadai
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang
berakal dan balig sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan
hukum sesuai dengan ketentuan syari’at Islam.
d. Adanya
barang yang digadaikan
Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan
perjanjian gadai dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian
itu kemudian berada di bawah pengasaan penerima gadai.
e. Adanya
Hutang
Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak
berubah dengan tambahan bunga atau mengandung unsur riba.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gadai dalam islam adalah hal yang diperbolehkan.
Karena secara sistematikanya gadai menyerupai utang-piutang, namun bedanya
dalam gadai ada barang yang dijadikan jaminan dan dibawa saat transaksi. Dalam
prakteknya, gadai secara syariah ini memiliki beberapa unsur:
: Ar-Rahin (orang yang menggadaikan), Al-Murtahin (orang yang
menerima barang gadai), Al-Marhun/ Ar-Rahn (barang yang digadaikan atau
dipinjamkan), Al-Marhun bihi (uang yang dipinjamkan). Adapun
beberapa rukun gadai yakni: Al-’Aqdu, adanya lafaz, adanya pemberi
dan penerima gadai, adanya barang yang digadaikan, adanya hutang. Dengan adanya
hal-hal diatas maka syahlah sebuah transaksi gadai.
B. Saran
Gadai merupakan hal yang diperbolehkan dalam
islam, namun pada saat ini masih banyak orang yang masih belum mempercayai
hukum gadai, bahkan banyak diantaranya yang lebih memilih renten dibanding
gadai. Oleh karena itu seharusnya gadai, sistem, serta peranannya dalam islam
harus lebih disosialisasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Zainuddin. 2008. Hukum Gadai Syariah. Sinar Grafika. Jakarta.
Badrulzaman,
Mariam Darus. Bab-bab tentang Credietverband, gadai dan Fidusia,
Alumni, Bandung.
Masjchoen
Sofwan, Sri Soedewi, 1980, Pokok Hukum Jaminan diIndonesia Pokok-pokok Hukum
Jaminan dan Perorangan,
Liberty, Yogyakarta.
[Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi', IV/213,
al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad ar-Ramli al-Anshari,
Ghayah al-Bayan Syarh Zabidi ibn Ruslan, I/193, Dar al-Ma'rifah, Beirut. tt;
Abu Abdillah al-Maghribi, Mawahib al-Jalil, V/2, Dar al-Fikr, Beirut, cet. ii.
1398]
Atha' bin Khalil
Abu ar-Rasytah, Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), hlm. 437-438, Dar
al-Ummah, Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.]
Yustina Apriyani
– UIN Sunan Gunung Djati Bandung, http://sepnazyik.wordpress.com/makalah-pendidikan/hukum-gadai/,
diunduh pada, 23 Desember 2011.
[1] [Ibn Muflih al-Hanbali,
al-Mubdi', IV/213, al-Maktab al-Islami, Beirut. 1400 ; Muhammad bin Ahmad
ar-Ramli al-Anshari, Ghayah al-Bayan Syarh Zabidi ibn Ruslan, I/193, Dar
al-Ma'rifah, Beirut. tt; Abu Abdillah al-Maghribi, Mawahib al-Jalil, V/2, Dar
al-Fikr, Beirut, cet. ii. 1398]
[2] Atha' bin Khalil Abu ar-Rasytah,
Taysîr fî Ushûl at-Tafsîr (Sûrah al-Baqarah), hlm. 437-438, Dar al-Ummah,
Beirut, cet. ii (mudaqqiqah). 2006.]
nice
ReplyDelete