Pendidikan Agama Islam (PAI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Riba berarti
menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian
lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam.
B. Rumusan masalah
Dalam penyusunan makalah ini kami lebih menitik
beratkan pada pembahasan tentang :
1. Apa yang di maksud
dengan Riba?
2. Apa hukum dari Riba
tersebut dalam islam?
3. Bagaimana pandangan
ummat kristen terhadap Riba?
4. Apa perbedaan
Investasi dengan Membungakan Uang?
5. Apa perbedaan hutang
uang dengan hutang barang?
6. Apa perbedaan
antara Bunga dan Bagi Hasil?
C. Tujuan pembahasan
Penyusunan makalah ini bertujuan :
1. Untuk memberi
peneranga terhadap para pembaca tentang Riba
2. Untuk mengetahui
hukum dari perbuatan riba
3. Agar kita dapat
membandingkan pemikiran orang islam dan orang kristen dalam menilai suatu
perkara yang jelek
4. Agar para pembaca
dapat membedakan antara investasi dengan bunga, hutang barang dengan hutang
uang, juga antara bunga dan bagi hasil
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riba dalam pandangan agama
Riba bukan
cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun
memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan
kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke
masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
- Riba dalam agama Islam
Dalam Islam,
memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram.
Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
“Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya
perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem
bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian
pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.
bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat
diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal.
jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita
akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang
hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat
panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di
awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi
sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang
meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh
peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada
deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian
dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh
nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang
didapat oleh pihak bank.
Jenis-jenis riba dalam agama Islam
Secara garis
besar riba dikelompokkan menjadi dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba
jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba
jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
·
Riba Qardh
Suatu manfaat
atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtaridh).
·
Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
·
Riba Fadhl
Pertukaran
antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·
Riba Nasi’ah
Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian.
- Riba dalam agama Yahudi
Agama Yahudi
melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab
suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud.
Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di
antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia,
janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah
engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa
pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari
orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau
memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati
engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk
mendudukinya."
Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah
engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut
akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau
memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau
berikan dengan meminta riba.”
Konsep Bunga di Kalangan Kristen
Kitab
Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun,
sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas
6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut
menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada
orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu?
Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka
menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik
kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan
besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik
terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang
jahat.”
Ketidaktegasan
ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para
pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan
pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat
dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal
Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana
Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan
pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama
Kristen menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu
janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau
dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.”
Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I
- XII)
Pada masa ini,
umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga
kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil
(329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari
orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air
mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395)
mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah
palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta
imbalan bunga bertindak sangat kejam. St.
John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam
Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi
penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose
mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga
pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang
kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan
lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm
dari Centerbury (1033 - 1109)
menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktek bunga juga
dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306)
mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan
pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan.
Council of Arles (tahun 314)
mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan
pengambilan bunga. First Council of
Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para
pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum
baru dikeluarkan pada Council of Vienne
(tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah
sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan Para
Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa Bunga adalah semua bentuk yang
diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil
bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun
Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang
dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya.
Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan
bunga yang terselubung.
Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII -
XVI)
Pada masa ini
terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan.
Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam
masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai
digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk.
Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas
permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan
aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak
seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk
keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu
dan kelompok.
Mereka
dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga.
Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum,
bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga
yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh
sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar
sehubungan dengan bunga ini adalah Robert
of Courcon (1152-1218), William of
Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of
Pennaforte (1180-1278), St.
Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas
Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode
tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan
untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang
bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman
diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi
hutang.
Pandangan Para Reformis Kristen (Abad XVI -
Tahun 1836)
Pendapat para
reformis telah mengubah dan membentuk pandangan baru mengenai bunga. Para reformis itu antara lain adalah John Calvin (1509-1564), Charles
du Moulin (1500 - 1566), Claude
Saumaise (1588-1653), Martin Luther (1483-1546), Melanchthon (1497-1560), dan Zwingli
(1484-1531).
Beberapa
pendapat Calvin sehubungan dengan bunga antara lain:
·
Dosa apabila bunga
memberatkan.
·
Uang dapat membiak (kontra
dengan Aristoteles).
·
Tidak menjadikan pengambil
bunga sebagai profesi.
·
Jangan mengambil bunga dari
orang miskin.
Du Moulin mendesak agar pengambilan
bunga yang sederhana diperbolehkan asalkan bunga tersebut digunakan untuk
kepentingan produktif. Saumise, seorang pengikut Calvin, membenarkan semua pengambilan bunga, meskipun ia berasal
dari orang miskin. Menurutnya, menjual uang dengan uang adalah seperti
perdagangan biasa, maka tidak ada alasan untuk melarang orang yang akan
menggunakan uangnya untuk membuat uang. Menurutnya pula, agama tidak perlu
repot-repot mencampuri urusan yang berhubungan dengan bunga.
B.
Perbedaan Investasi dengan Membungakan Uang
- Investasi
adalah kegiatan usaha yang mengandung risiko karena berhadapan dengan
unsur ketidakpastian. Dengan demikian, perolehan kembaliannya (return) tidak pasti dan tidak
tetap.
- Membungakan
uang adalah kegiatan usaha yang kurang mengandung risiko karena perolehan
kembaliannya berupa bunga yang relatif pasti dan tetap.
Islam
mendorong masyarakat ke arah usaha nyata dan produktif. Islam mendorong seluruh
masyarakat untuk melakukan investasi dan melarang membungakan uang. Sesuai
dengan definisi di atas, menyimpan uang di bank Islam termasuk kategori
kegiatan investasi karena perolehan kembaliannya (return) dari waktu ke waktu tidak pasti dan tidak tetap. Besar
kecilnya perolehan kembali itu ter-gantung kepada hasil usaha yang benar-benar
terjadi dan dilakukan bank sebagai mudharib atau pengelola dana.
Dengan demikian,
bank Islam tidak dapat sekadar menyalurkan uang. Bank Islam harus terus
berupaya meningkatkan kembalian atau return
of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi
pemilik dana.
C.
Perbedaan Hutang Uang dan Hutang Barang
D.
Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil
Sekali lagi,
Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama
memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang
sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
Bunga : Penentuan bunga
dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung.
®
Bagi Hasil : Penentuan
besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi.
·
Bunga : Besarnya persentase
berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
®
Bagi Hasil : Besarnya rasio
bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
·
Bunga : Pembayaran bunga
tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan
oleh pihak nasabah untung atau rugi.
®
Bagi hasil : tergantung
pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
·
Bunga : Jumlah pembayaran
bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi
sedang “booming”
®
Bagi hasil : Jumlah
pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
·
Bunga : Eksistensi bunga
diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan.
®
Bagi hasil : Tidak ada yang
meragukan keabsahan bagi hasil.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Riba berarti
menetapkan bunga/melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan
persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok, yang dibebankan kepada
peminjam. Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian
lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara bathil. Ada
beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang
merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam
transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan
dengan prinsip muamalat dalam Islam.
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi
dua.Yaitu riba hutang-piutang dan riba jual-beli.Riba hutang-piutang terbagi
lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli
terbagi atas riba fadhl dan riba nasi’ah.
Sedangkan dalam Agama Yahudi juga melarang praktek pengambilan bunga.
Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam
Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di
antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia,
janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
B. Saran
Setelah membaca dan mengkaji makalah yang telah
kami susun, kami berharap kepada semua teman-teman untuk mengamalkannya dalam keidupan
sehri-hari. Dan kami juga berharap kritik yang membangun agar kami dapat
memperbaiki penyusunan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
·
Arifin, Muhammad bin
Badri M.A. 2010. Riba dan Tinjauan Praktis Perbankan Syariah. Pustaka Darul Ilmi.
Jakarta.
No comments:
Post a Comment