Sebuah
Upaya Membedah Akar Pertumbuhan
dan
Ide-ide Substansialnya
tugas
matakuliah Gerakan Islam Modern
Pengantar
Indonesia nampaknya memang akan selalu menjadi lahan
subur lahir dan tumbuhnya berbagai gerakan Islam dengan berbagai ragamnya; baik
yang “hanya sekedar” perpanjangan tangan dari gerakan yang sebelumnya telah
ada, ataupun yang dapat dikategorikan sebagai gerakan yang benar-benar baru.
Dan sejarah pergerakan Islam Indonesia benar-benar telah menjadi saksi mata
terhadap kenyataan itu selama beberapa kurun waktu lamanya.
Dan kini, di era modern ini, mata sejarah
semakin “dimanjakan” oleh kenyataan itu dengan tumbuhnya aneka gerakan Islam
modern yang masing-masing menyimpan keunikannya tersendiri. Jagat pergerakan
Islam Indonesia modern tidak hanya diramaikan oleh organisasi semacam
Muhammadiyah dan NU, tapi disana ada pemain-pemain baru yang juga secara
perlahan –namun pasti- mulai menanamkan pengaruhnya. Mulai dari yang
mengandalkan perjuangan politis hingga yang lebih memilih jalur gerakan
sosial-kemasyarakatan.
Salah satu gerakan Islam tersebut adalah yang menyebut
diri mereka sebagaiSalafi atau Salafiyah. Salah
satu peristiwa fenomenal gerakan ini yang sempat “menghebohkan” adalah
kelahiran Laskar Jihad yang dimotori oleh Ja’far Umar Thalib pada 6 April 2000
pasca meletusnya konflik bernuansa SARA di Ambon dan Poso.[1]
Tulisan singkat ini akan mencoba mengulas sejarah dan
ide-ide penting gerakan ini, sekaligus memberikan beberapa catatan kritis yang diharapkan
dapat bermanfaat tidak hanya bagi gerakan ini namun juga bagi semua gerakan
Islam di Tanah Air.
Apa Itu Salafi?
Kata Salafi adalah sebuah bentuk
penisbatan kepada al-Salaf. Kata al-Salafsendiri
secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman
kita.[2] Adapun
makna al-Salaf secara terminologis yang dimaksud di sini
adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah saw dalam
haditsnya:
“Sebaik-baik manusia adalah (yang
hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti
mereka...” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, maka yang dimaksud dengan al-Salaf adalah
para sahabat Nabi saw, kemudian tabi’in, lalu atba’ al-tabi’in. Karena
itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan al-Qurun
al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapatkan keutamaan).[3] Sebagian ulama
kemudian menambahkan label al-Shalih(menjadi al-Salaf
al-Shalih) untuk memberikan karakter pembeda dengan pendahulu kita yang
lain.[4] Sehingga
seorang salafi berarti seorang yang mengaku mengikuti jalan
para sahabat Nabi saw, tabi’in dan atba’ al-tabi’in dalam
seluruh sisi ajaran dan pemahaman mereka.[5]
Sampai di sini nampak jelas bahwa sebenarnya tidak
masalah yang berarti dengan paham Salafiyah ini, karena pada
dasarnya setiap muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi saw
dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya itu; tabi’in dan atba’
al-tabi’in. Atau dengan kata lain seorang muslim manapun sebenarnya
sedikit-banyak memiliki kadar kesalafian dalam dirinya meskipun ia tidak
pernah menggembar-gemborkan pengakuan bahwa ia seorang salafi.Sebagaimana
juga pengakuan kesalafian seseorang juga tidak pernah dapat menjadi
jaminan bahwa ia benar-benar mengikuti jejak para al-Salaf
al-Shalih, dan –menurut penulis- ini sama persis dengan pengakuan
kemusliman siapapun yang terkadang lebih sering berhenti pada taraf pengakuan
belaka.
‘Ala kulli hal, penggunaan istilah Salafi ini
secara khusus mengarah pada kelompok gerakan Islam tertentu setelah maraknya
apa yang disebut “Kebangkitan Islam di Abad 15 Hijriyah”. Terutama yang
berkembang di Tanah Air, mereka memiliki beberapa ide dan karakter yang khas
yang kemudian membedakannya dengan gerakan pembaruan Islam lainnya.
Sejarah Kemunculan Salafi di
Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan Salafi di
Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan pembaruan yang dilancarkan
oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Menurut Abu
Abdirrahman al-Thalibi[6], ide pembaruan
Ibn ‘Abd al-Wahhab diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh
beberapa ulama asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyahpertama
di tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah
satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung
dalam kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tapi, Ja’far Umar Thalib mengklaim
–dalam salah satu tulisannya[7]-
bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh
Iskandar Muda (1603-1637).
Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif juga
kemudian memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir
kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS, dan Al-Irsyad. “Kembali kepada al-Quran
dan al-Sunnah” serta pemberantasan takhayul, bid’ah dan khurafat kemudian
menjadi semacam isu mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun
satu hal yang patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak
sepenuhnya mengambil apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan
purifikasi Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan
lain yang datang belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat
dikatakan telah menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Di tahun 80-an, -seiring dengan maraknya gerakan kembali
kepada Islam di berbagai kampus di Tanah air- mungkin dapat dikatakan sebagai
tonggak awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia.
Adalah Ja’far Umar Thalib salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini.
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul“Saya Merindukan Ukhuwah Imaniyah
Islamiyah”, ia menceritakan kisahnya mengenal paham ini dengan
mengatakan:[8]
“Ketika saya
belajar agama di Pakistan antara tahun 1986 s/d 1987, saya melihat betapa kaum
muslimin di dunia ini tercerai berai dalam berbagai kelompok aliran pemahaman.
Saya sedih dan sedih melihat kenyataan pahit ini. Ketika saya masuk ke medan
jihad fi sabilillah di Afghanistan antara tahun tahun 1987 s/d 1989, saya
melihat semangat perpecahan di kalangan kaum muslimin dengan mengunggulkan
pimpinan masing-masing serta menjatuhkan tokoh-tokoh lain...
Di tahun-tahun
jihad fi sabilillah itu saya mulai berkenalan dengan para pemuda dari Yaman dan
Surian yang kemudian mereka memperkenalkan kepada saya pemahaman Salafus Shalih
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Saya mulai kenal dari mereka seorang tokoh dakwah
Salafiyah bernama Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i...
Kepiluan di
Afghanistan saya dapati tanda-tandanya semakin menggejala di Indonesia. Saya
kembali ke Indonesia pada akhir tahun 1989, dan padajanuari 1990 saya mulai
berdakwah. Perjuangan dakwah yang saya serukan adalah dakwah Salafiyah...”
Ja’far Thalib sendiri kemudian mengakui bahwa ada banyak
yang berubah dari pemikirannya, termasuk diantaranya sikap dan kekagumannya
pada Sayyid Quthub, salah seorang tokoh Ikhwanul Muslimin yang dahulu banyak ia
lahap buku-bukunya. Perkenalannya dengan ide gerakan ini membalik kekaguman itu
180 derajat menjadi sikap kritis yang luar biasa –untuk tidak mengatakan sangat
benci-.[9]
Di samping Ja’far Thalib, terdapat beberapa tokoh lain
yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal Gerakan Salafi Modern
di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat
(Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo), dan Abu
Nida’ (Yogyakarta). Nama-nama ini bahkan kemudian tergabung dalam dewan redaksi
Majalah As-Sunnah –majalah Gerakan Salafi Modern pertama di
Indonesia-, sebelum kemudian mereka berpecah beberapa tahun kemudian.
Adapun tokoh-tokoh luar Indonesia yang paling berpengaruh
terhadap GerakanSalafi Modern ini –di samping Muhammad ibn ‘Abd
al-Wahhab tentu saja- antara lain adalah:
1. Ulama-ulama
Saudi Arabia secara umum.
2. Syekh Muhammad
Nashir al-Din al-Albany di Yordania (w. 2001)
3. Syekh Rabi
al-Madkhaly di Madinah
4. Syekh Muqbil
al-Wadi’iy di Yaman (w. 2002).
Tentu ada tokoh-tokoh lain selain ketiganya, namun ketiga
tokoh ini dapat dikatakan sebagai sumber inspirasi utama gerakan ini. Dan jika
dikerucutkan lebih jauh, maka tokoh kedua dan ketiga secara lebih khusus banyak
berperan dalam pembentukan karakter gerakan ini di Indonesia. Ide-ide yang
berkembang di kalangan Salafi modern tidak jauh berputar
dari arahan, ajaran dan fatwa kedua tokoh tersebut; Syekh Rabi’ al-Madkhaly dan
Syekh Muqbil al-Wadi’iy. Kedua tokoh inilah yang kemudian memberikan pengaruh
besar terhadap munculnya gerakan Salafi ekstrem, atau
–meminjam istilah Abu Abdirrahman al-Thalibi- gerakan Salafi Yamani.[10]
Perbedaan pandangan antara pelaku gerakan Salafi modern
setidaknya mulai mengerucut sejak terjadinya Perang Teluk yang melibatkan
Amerika dan Irak yang dianggap telah melakukan invasi ke Kuwait. Secara khusus
lagi ketika Saudi Arabia “mengundang” pasukan Amerika Serikat untuk membuka
pangkalan militernya di sana. Saat itu, para ulama dan du’at di Saudi –secara
umum- kemudian berbeda pandangan: antara yang pro[11] dengan
kebijakan itu dan yang kontra.[12] Sampai
sejauh ini sebenarnya tidak ada masalah, karena mereka umumnya masih menganggap
itu sebagai masalah ijtihadiyah yang memungkinkan terjadinya perbedaan
tersebut. Namun berdasarkan informasi yang penulis dapatkan nampaknya ada pihak
yang ingin mengail di air keruh dengan “membesar-besarkan” masalah ini. Secara
khusus, beberapa sumber[13] menyebutkan
bahwa pihak Menteri Dalam Negeri Saudi Arabia saat itu–yang selama ini dikenal
sebagai pejabat yang tidak terlalu suka dengan gerakan dakwah yang ada-
mempunyai andil dalam hal ini. Upaya inti yang dilakukan kemudian adalah
mendiskreditkan mereka yang kontra sebagai khawarij, quthbiy (penganut
paham Sayyid Quthb), sururi (penganut paham Muhammad Surur ibn
Zain al-‘Abidin), dan yang semacamnya.
Momentum inilah yang kemudian mempertegas keberadaan dua
pemahaman dalam gerakan Salafi modern –yang untuk mempermudah
pembahasan oleh Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi disebut sebagai-: Salafi
Yamani dan Salafi Haraki.[14] Dan
sebagaimana fenomena gerakan lainnya, kedua pemahaman inipun terimpor masuk ke
Indonesia dan memiliki pendukung.
Ide-ide
Penting Gerakan Salafi
Pertanyaan paling mendasar yang muncul kemudian adalah
apa yang menjadi ide penting atau karakter khas gerakan ini dibanding gerakan
lainnya yang disebutkan sedikit-banyak terpengaruh dengan ide purifikasi
Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia?
Setidaknya ada beberapa ide penting dan khas
gerakan Salafi Modern dengan gerakan-gerakan tersebut, yaitu:
1. Hajr
Mubtadi’ (Pengisoliran terhadap pelaku bid’ah)
Sebagai sebuah gerakan purifikasi Islam, isu bid’ah tentu
menjadi hal yang mendapatkan perhatian gerakan ini secara khusus. Upaya-upaya
yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada usaha keras untuk mengkritisi
dan membersihkan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh
berbagai lapisan masyarakat Islam. Dan sebagai sebuah upaya meminimalisir
kebid’ahan, para ulama Ahl al-Sunnah menyepakati sebuah mekanisme yang dikenal
dengan hajr al-mubtadi’ atau pengisoliran terhadap mubtadi’. [15] Dan tentu saja,
semua gerakan salafi sepakat akan hal ini.
Akan tetapi, pada prakteknya di Indonesia, masing-masing
faksi –salafi Yamanidan haraki- sangat berbeda. Dalam hal ini,
salafi Yamani terkesan membabi buta dalam menerapkan mekanisme
ini. Fenomena yang nyata akan hal ini mereka terapkan dengan cara
melemparkan tahdzir (warning) terhadap person yang bahkan
mengaku mendakwahkan gerakan salafi. Puncaknya adalah ketika mereka menerbitkan
“daftar nama-nama ustadz yang direkomendasikan” dalam situs mereka
www.salafy.or.id.[16]Dalam daftar
ini dicantumkan 86 nama ustadz dari Aceh sampai Papua yang mereka anggap dapat
dipercaya untuk dijadikan rujukan, dan ‘uniknya’ nama-nama itu didominasi oleh
murid-murid Syekh Muqbil al-Wadi’i di Yaman.
Sementara Salafi Haraki cenderung melihat mekanisme hajr
al-mubtadi’ ini sebagai sesuatu yang tidak mutlak dilakukan, sebab
semuanya tergantung pada maslahat dan mafsadatnya. Menurut mereka, hajr
al-mubtadi’ dilakukan tidak lebih untuk memberikan efek jera kepada
sang pelaku bid’ah. Namun jika itu tidak bermanfaat, maka boleh jadi
metode ta’lif al-qulub-lah yang berguna.[17]
2. Sikap terhadap
politik (parlemen dan pemilu).
Hal lain yang menjadi ide utama gerakan ini adalah bahwa
gerakan Salafi bukanlah gerakan politik dalam arti yang bersifat praktis.
Bahkan mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti
pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. Ide ini terutama
dipegangi dan disebarkan dengan gencar oleh pendukung Salafi Yamani. Muhammad
As-Sewed mislanya –yang saat itu masih menjabat sebagai ketua FKAWJ mengulas
kerusakan-kerusakan pemilu sebagai berikut:
a. Pemilu adalah
sebuah upaya menyekutukan Allah (syirik) karena menetapkan aturan berdasarkan
suara terbanyak (rakyat), padahal yang berhak untuk itu hanya Allah.
b. Apa yang
disepakati suara terbanyak itulah yang dianggap sah, meskipun bertentangan
dengan agama atau aturan Allah dan Rasul-Nya.
c. Pemilu adalah
tuduhan tidak langsung kepada islam bahwa ia tidak mampu menciptakan masyarakat
yang adil sehingga membutuhkan sistem lain.
d. Partai-partai
Islam tidak punya pilihan selain mengikuti aturan yang ada, meskipun aturan itu
bertentangan dengan Islam.
e. Dalam pemilu
terdapat prinsip jahannamiyah, yaitu menghalalkan segala cara
demi tercapainya tujuan-tujuan politis, dan sangat sedikit yang selamat dari
itu.
Berbeda dengan Salafi Haraki yang cenderung menganggap
masalah ini sebagai persoalan ijtihadiyah belaka. Dalam sebuah tulisan
bertajuk al-Musyarakah fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah yang
dimuat oleh situs islamtoday.com (salah satu situs yang dianggap sering menjadi
rujukan mereka dikelola oleh DR. Salman ibn Fahd al-‘Audah) misalnya,
dipaparkan bahwa sistem peralihan dan penyematan kekuasaan dalam Islam tidak
memiliki sistem yang baku. Karena itu, tidak menutup mungkin untuk mengadopsi
sistem pemilu yang ada di Barat setelah ‘memodifikasi’nya agar sesuai dengan
prinsip-prinsip politik Islam. Alasan utamanya adalah karena hal itu tidak
lebih dari sebuah bagian adminstratif belaka yang memungkinkan kita untuk
mengadopsinya dari manapun selama mendatangkan mashlahat.[19] Maka
tidak mengherankan jika salah satu ormas yang dianggap sebagai salah satu
representasi faksi ini, Wahdah Islamiyah, mengeluarkan keputusan yang
menginstruksikan anggotanya untuk ikut serta dalam menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu-pemilu yang lalu.[20]
3. Sikap terhadap
gerakan Islam yang lain.
Pandangan pendukung gerakan Salafi modern
di Indonesia terhadap berbagai gerakan lain yang ada sepenuhnya merupakan imbas
aksiomatis dari penerapan prinsiphajr al-mubtadi’ yang telah
dijelaskan terdahulu. Baik Salafi Yamani maupun Haraki, sikap keduanya terhadap
gerakan Islam lain sangat dipengaruhi oleh pandangan mereka dalam
penerapan hajr al-mubtadi’. Sehingga tidak mengherankan dalam
poin inipun mereka berbeda pandangan.
Jika Salafi Haraki cenderung ‘moderat’ dalam menyikapi
gerakan lain, maka Salafi Yamani dikenal sangat ekstrim bahkan seringkali tanpa
kompromi sama sekali. Fenomena sikap keras Salafi Yamani terhadap gerakan Islam
lainnya dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut:
a. Sikap terhadap
Ikhwanul Muslimin
Barangkali tidak berlebihan jika dikatakan Ikhwanul
Muslimin nampaknya menjadi musuh utama di kalangan Salafi Yamani. Mereka bahkan
seringkali memelesetkannya menjadi “Ikhwanul Muflisin”.[21] Tokoh-tokoh
utama gerakan ini tidak pelak lagi menjadi sasaran utama kritik tajam yang
bertubi-tubi dari kelompok ini. Di Saudi sendiri –yang menjadi asal gerakan
ini-, fenomena ‘kebencian’ pada Ikhwanul Muslimin dapat dikatakan mencuat
seiring bermulanya kisah Perang Teluk bagian pertama. Adalah DR. Rabi’ ibn Hadi
al-Madkhali yang pertama kali menyusun berbagai buku yang secara spesifik
menyerang Sayyid Quthb dan karya-karyanya. Salah satunya dalam buku yang diberi
judul “Matha’in Sayyid Quthb fi Ashab al-Rasul” (Tikaman-tikaman
Sayyid Quthub terhadap Para Sahabat Rasul).[22]
Sepengetahuan penulis, fenomena ini bisa dibilang baru
mengingat pada masa-masa sebelumnya beberapa tokoh Ikhwan seperti Syekh
Muhammad al-Ghazali dan DR. Yusuf al-Qaradhawi pernah menjadi anggota dewan
pendiri Islamic University di Madinah, dan banyak tokoh Ikhwan lainnya yang
diangkat menjadi dosen di berbagai universitas Saudi Arabia. Dalam berbagai
penulisan ilmiah –termasuk itu tesis dan disertasi- pun karya-karya tokoh
Ikhwan –termasuk Fi Zhilal al-Qur’an yang dikritik habis oleh
DR. Rabi al-Madkhali- sering dijadikan rujukan. Bahkan Syekh Bin Baz
–Mufti Saudi waktu itu- pernah mengirimkan surat kepada Presiden Mesir, Gamal
Abdul Naser untuk mencabut keputusan hukuman mati terhadap Sayyid Quthb.[23]
Terkait dengan ini misalnya, Ja’far Umar Thalib misalnya
menulis:
Di tempat Syekh
Muqbil pula saya mendengar berita-berita penyimpangan tokoh-tokoh yang selama
ini saya kenal sebagai da’i dan penulis yang menganu pemahaman salafus shalih.
Tokoh-tokoh yang telah menyimpang itu ialah Muhammad Surur bin Zainal Abidin,
Salman Al-Audah, Safar Al-Hawali, A’idl Al-Qarni, Nasir Al-Umar, Abdurrahman
Abdul Khaliq. Penyimpangan mereka terletak pada semangat mereka untuk
mengelu-elukan tokoh-tokoh yang telah mewariskan berbagai pemahaman sesat di
kalangan ummat Islam, seperti Sayyid Qutub, Hasan Al-Banna, Muhammad Abduh,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Rasyid Ridha dan lain-lainnya.[24]
Dan jauh sebelum itu, Ja’far Umar Thalib juga melontarkan
celaan yang sangat keras terhadap DR. Yusuf al-Qaradhawy –salah seorang tokoh
penting Ikhwanul Muslimin masa kini- dengan menyebutnya sebagai ‘aduwullah (musuh
Allah) dan Yusuf al-Qurazhi (penisbatan kepada salah satu kabilah Yahudi di
Madinah, Bani Quraizhah). Meskipun kemudian ia dikritik oleh gurunya sendiri, Syekh
Muqbil di Yaman, yang kemudian mengganti celaan itu dengan mengatakan: Yusuf
al-Qaradha (Yusuf Sang penggunting syariat Islam).[25] Di
Indonesia sendiri, sikap ini berimbas kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang dianggap sebagai representasi Ikhwanul Muslimin di Indonesia.
Secara umum, ada beberapa hal yang dianggap sebagai
penyimpangan oleh kalangan Salafi Yamani dalam tubuh Ikhwanul Muslimin,
diantaranya:
Berbeda dengan yang disebut Salafi Haraki, mereka
cenderung kooperatif dalam melihat gerakan-gerakan Islam yang ada dalam
bingkai “nata’awan fima ittafaqna ‘alaih, wa natanashahu fima
ikhtalafna fihi.”[29] Karena itu, faksi ini cenderung
lebih mudah memahami bahkan berinteraksi dengan kelompok lain, termasuk
misalnya Ikhwanul Muslimin. Meskipun untuk itu kelompok inipun harus rela
diberi cap “Sururi”oleh kelompok Salafi Yamani. Yayasan Al-Sofwa,
misalnya, masih mengakomodir kaset-kaset ceramah beberapa tokoh PKS seperti
DR.Ahzami Sami’un Jazuli.[30]
b. Sikap
terhadap Sururiyah
Secara umum, Sururi atau Sururiyah adalah
label yang disematkan kalangan Salafi Yamani terhadap Salafi Haraki yang
dianggap ‘mencampur-adukkan’ berbagai manhaj gerakan Islam dengan manhaj salaf.
Kata Sururiyah sendiri adalah penisbatan kepada Muhammad Surur
bin Zainal Abidin. Tokoh ini dianggap sebagai pelopor paham yang mengadopsi dan
menggabungkan ajaran Salafi dengan Ikhwanul Muslimin. Disamping Muhammad Surur,
nama-nama lain yang sering dimasukkan dalam kelompok ini adalah DR. Safar ibn
‘Abdirrahman al-Hawali, DR. Salman ibn Fahd Al-‘Audah –keduanya di Saudi- dan
Abdurrahman Abdul Khaliq dari Jam’iyyah Ihya’ al-Turats di
Kuwait.
Dalam sebuah tulisan berjudul Membongkar Pikiran
Hasan Al-Banna-Sururiyah (III) diuraikan secara rinci pengertian Sururiyah itu:[31]
“Ada sekelompok
orang yang mengikuti kaidah salaf dalam perkara Asma dan Sifat Allah, iman dan
taqdir. Tapi, ada salah satu prinsip mereka yang sangat fatal yaitu
mengkafirkan kaum muslimin. Mereka terpengaruh oleh prinsip Ikhwanul Muslimin.
Pelopor aliran ini bernama Muhammad bin Surur.
Muhammad bin
Surur yang lahir di Suriah dahulunya adalah Ikhwanul Muslimin. Kemudian ia
menyempal dari jamaah sesat ini dan membangun gerakannya sendiri berdasarkan
pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (misalnya masalah demonstrasi, kudeta dan
yang sejenisnya)...”[32]
Tulisan yang sama juga menyimpulkan beberapa sisi
persamaan antara Sururiyahdengan Ikhwanul Muslimin, yaitu:
- Keduanya
sama-sama mengkafirkan golongan lain dan pemerintah muslim.
- Keduanya satu
ide dalam masalah demonstrasi, mobilisasi dan selebaran-selebaran.
- Keduanya sama
dalam masalah pembinaan revolusi dalam rangka kudeta.
- Keduanya sama
dalam hal tanzhim dan sistem kepemimpinan yang mengerucut
(piramida).
Hanya saja banyak ‘tuduhan’ sebenarnya terlalu
tergesa-gesa untuk tidak mengatakan membabi buta. Ada yang tidak mempunyai
bukti akurat, atau termasuk persoalan yang sebenarnya termasuk kategori ijtihad
dan tidak bisa disebut sebagai kesesatan (baca: bid’ah).
4. Sikap terhadap
pemerintah
Secara umum, sebagaimana pemerintah yang umum diyakini
Ahl al-Sunnah –yaitu ketidakbolehan khuruj atau melakukan
gerakan separatisme dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah-, Gerakan Salafi
juga meyakini hal ini. Itulah sebabnya, setiap tindakan atau upaya yang
dianggap ingin menggoyang pemerintahan yang sah dengan mudah diberi cap Khawarij, bughat atau
yang semacamnya.[34]
Dalam tulisannya yang bertajuk “Membongkar
Pemikiran Sang Begawan Teroris (I), Abu Hamzah Yusuf misalnya menulis:
“Tokoh-tokoh
yang disebutkan Imam Samudra di atas (maksudnya: Salman al-Audah, Safar
al-Hawali dan lain-lain –pen) tidaklah berjalan di atas manhaj Salaf.
Bahkan perjalanan hidup mereka dipenuhi catatan hitam yang menunjukkan mereka
jauh dari manhaj Salaf...
Tak ada
hubungan antara tokoh-tokoh itu dengan para ulama Ahlus Sunnah. Bahkan semua
orang tahu bahwa antara mereka berbeda dalam hal manhaj (metodologi). Tokoh-tokoh
itu berideologikan Quthbiyyah, Sururiyah, dan Kharijiyah...”[35]
Dalam “Mereka Adalah Teroris” juga
misalnya disebutkan:
“...Kemudian
dilanjutkan tongkat estafet ini oleh para ruwaibidhah(sebutan lain untuk Khawarij
-pen) masa kini semacam Dr. Safar Al-Hawali, Salman Al-Audah dan sang
jagoan konyol Usamah bin Laden. Sementara Imam Samudra hanyalah salah satu
bagian kecil saja dari sindikat terorisme yang ada di Indonesia. Kami katakan
ini karena di atas Imam Samudra masih ada tokoh-tokoh khawarij Indonesia yang
lebih senior seperti: Abdullah Sungkar alias Ustadz Abdul Halim, Abu Bakar
Ba’asyir alias Ustadz Abdush Shamad.”[36]
Pernyataan ini
disebabkan karena tokoh-tokoh yang dimaksud dikenal sebagai orang-orang yang
gigih melontarkan kritik ‘pedas’ terhadap pemerintah Kerajaan Saudi Arabia
terutama dalam kasus penempatan pangkalan militer AS di sana. Sementara dua
nama terakhir dikenal sebagai orang-orang yang gigih memformalisasikan syariat
Islam di Indonesia.
Sebagai konsekwensi dari prinsip ini, maka muncul kesan
bahwa kaum Salafi cenderung ‘enggan’ melontarkan kritik terhadap pemerintah.
Meskipun sesungguhnya manhaj al-Salaf sendiri memberikan peluang untuk itu
meskipun dibatasi secara “empat mata” dengan sang penguasa.
Namun pada prakteknya kemudian, ternyata prinsip inipun
sedikit banyak telah dilanggar oleh mereka sendiri. Abu ‘Abdirrahman al-Thalibi
misalnya –yang menulis kritik tajam terhadap gerakan ini- menyebutkan salah
satu penyimpangan Salafi Yamani:“Sikap Melawan Pemerintah”. Ia
menulis:
“Dalam beberapa kasus, jelas-jelas
Salafy Yamani telah melawan pemerintah yang diakui secara konsensus oleh Ummat
Islam Indonesia, khususnya melalui tindakan-tindakan Laskar Jihad di masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Tanggal 6 April
2000, mereka mengadakan tabligh akbar di Senayan, tak lama kemudian mereka
berdemo di sekitar Istana Negara dimana Abdurrahman Wahid sedang berada di
dalamnya. Kenyataan yang sangat mengherankan, mereka bergerak secara massal
dengan membawa senjata-senjata tajam. Belum pernah Istana Negara RI didemo oleh
orang-orang bersenjata, kecuali dalam peristiwa di atas. Masih bisa dimaklumi,
meskipun melanggar hukum, jika yang melakukannya adalah anggota partai komunis
yang dikenal menghalalkan kekerasan, tetapi perbuatan itu justru dilakukan oleh
para pemuda yang mewarisi manhaj Salafus Shalih. Masya Allah, Salafus Shalih
mana yang mereka maksudkan?”[37]
Hal lain lagi adalah bahwa hingga kini mereka masih saja
melancarkan kritik yang pedas terhadap Partai Keadilan Sejahtera –yang dianggap
sebagai bagian dari Ikhwanul Muslimin di Indonesia-. Namun kenyataannya
sekarang bahwa Partai ini telah menjadi bagian dari pemerintahan Indonesia yang
sah. Beberapa anggota mereka duduk sebagai anggota parlemen, ada yang menjadi
menteri dalam kabinet, bahkan mantan ketuanya, Hidayat Nur Wahid saat ini
menjabat sebagai Ketua MPR-RI. Bukankah berdasarkan kaidah yang selama ini
mereka gunakan, kritik pedas mereka terhadap PKS dapat dikategorikan sebagai
tindakan khuruj atas pemerintah?
“Ja’far Umar Thalib Telah Meninggalkan
Kita...”
Kalimat mungkin dapat dijadikan sebagai bukti fase baru
perkembangan gerakan Salafi di Indonesia. Setelah sebelumnya dijelaskan bahwa
dalam perjalanannya gerakan ini terbagi menjadi setidaknya 2 faksi: Yamani dan
haraki, maka setidaknya sejak dewan eksekutif FKAWJ membubarkan
FKAWJ dan Laskar Jihad pada pertengahan Oktober 2002, ada hembusan angin
perubahan yang sangat signifikan di tubuh gerakan ini. SalafiYamani ternyata
kemudian berpecah menjadi 2 kelompok: yang pro Ja’far dan yang kontra
terhadapnya.
Ja’far Umar Thalib sejak saat itu dapat dikatakan menjadi
‘bulan-bulanan’ kelompok eks Laskar Jihad yang kontra dengannya. Apalagi
setelah DR.Rabi’ al-Madkhali –ulama yang dulu sering ia jadikan rujukan fatwa-
justru mengeluarkan tahdzirterhadapnya. Pesantrennya di Yogyakarta
pun mulai ditinggalkan oleh mereka yang dulu menjadi murid-muridnya.
Uniknya, kelompok yang kontra terhadapnya justru
‘dipimpin’ oleh Muhammad Umar As-Sewed, orang yang dulu menjadi tangan kanannya
(wakil panglima) saat menjadi panglima Laskar Jihad. Ja’far Thalib-pun mulai
dekat dengan orang-orang yang dulu dianggap tidak mungkin bersamanya. Arifin
Ilham ‘Majlis Az-Zikra’ dan Hamzah Haz, contohnya.
Karena itu, Qomar ZA –redaktur majalah Asy-Syariah yang
dulu adalah murid Ja’far Umar Thalib- menulis artikel pendek berjudul “Ja’far
Umar Thalib Telah Meninggalkan Kita...”.[38] Di sana antara lain ia menulis:
“Adapun sekarang betapa jauh keadaannya
dari yang dulu (Ja’far Umar Thalib, red). Jangankan majlis yang engkau tidak
mau menghadirinya saat itu, bahkan sekarang majlis dzikirnya Arifin Ilham kamu
hadiri, mejlis Refleksi Satu Hati dengan para pendeta dan biksu kamu hadiri (di
UGM, red), majlis dalam peresmian pesantren Tawwabin yang diprakarsai oleh
Habib Riziq Syihab, Abu Bakar Baa’syir Majelis Mujahidin Indonesia dan
lain-lain. Kamu hadiri juga peringatan Isra’ Mi’raj sebagaimana dinukil dalam
majalah Sabili dan banyak lagi...
Apakah gurumu yang sampai saat ini kamu
suka menebeng di belakangnya yaitu Syekh Muqbil, semoga Allah merahmatinya,
akan tetap memujimu dengan keadaanmu yang semacam ini??...
Asy-Syaikh Rabi’ berkata: “...Dan saya
katakan: Dialah yang meninggalkan kalian dan meninggalkan manhaj ini (manhaj
Ahlus Sunnah)...”
Ja’far sendiri belakangan nampak menyadari sikap kerasnya yang berlebihan di
masa awal dakwahnya. Dan nampaknya, apa yang ia lakukan belakangan ini –meski
menyebabkannya menjadi sasaran kritik bekas pendukungnya- adalah sebuah
upayanya untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Dalam artikelnya, “Saya
Merindukan Ukhuwwah Imaniyah Islamiyah” , ia menulis pengakuan itu
dengan mengatakan:
“...Saya lupa dengan keadaan yang
sesungguhnya mayoritas ummat di Indonesia yang tingkat pemahamannya amat rendah
tentang Islam. Saya saat itu menganggap tingkat pemahaman ummatku sama dengan
tingkat pemahaman murid-muridku. Akibatnya ketika saya menyikapi penyelewengan
ummat dari As-Sunnah, saya anggap sama dengan penyelewengan orang-orang yang
ada di sekitarku yang selalu saya ajari ilmu. Tentu anggapan ini adalah
anggapan yang dhalim. Dengan anggapan inilah saya akhirnya saya ajarkan sikap
keras dan tegas terhadap ummat yang menyimpang dari As-Sunnah walaupun mereka
belum mendapat penyampaian ilmu Sunnah. Sayapun sempat menganggap bahwa
mayoritas kaum muslimin adalah Ahlul Bid’ah dan harus disikapi sebagai Ahlul
Bid’ah. Maka tampaklah Dakwah Salafiyyah yang saya perjuangkan menjadi
terkucil, kaku dan keras. Saya telah salah paham dengan apa yang saya pelajari
dari kitab-kitab para Ulama’ tersebut di atas tentang sikap Ahlul Bid’ah. Saya
sangka Ahlul Bid’ah itu ialah semua orang yang menjalankan bid’ah secara
mutlak.”[39]
Penutup
Demikianlah
paparan singkat tentang gerakan Salafi modern di Indonesia. Sudah tentu masih
banyak sisi gerakan ini yang belum tertuang dalam tulisan ini. Dan di bagian
akhir tulisan ini, ada beberapa catatan kritis yang perlu penulis kemukakan
atas gerakan ini:
1. Diperlukan
kajian yang komperhensif tentang sejarah masa lalu ummat Islam, dan termasuk
didalamnya sejarah generasi As-Salaf Ash-Shalih yang menjadi panutan semua
gerakan Islam –tentu saja dengan kadar yang berbeda-beda antara satu dengan
yang lain-. Dan khusus untuk pendukung gerakan Salafi ini, ada banyak sisi
kehidupan As-Salaf yang mungkin terlupakan; seperti: kesantunan dan kearifan
dalam menyikapi perbedaan yang masih mungkin untuk ditolerir, serta bersikap
proporsional dan adil dalam menyikapi kesalahan atau kekeliruan pihak lain.
2. Salah satu
kesalahan utama pendukung gerakan ini –khususnya SalafiYamani- adalah
ketidaktepatan dalam menyimpulkan apakah sesuatu itu dapat dikategorikan
sebagai manhaj baku kalangan As-Salaf atau bukan. Dalam kasus di lapangan,
seringkali karakter pribadi seorang ulama dianggap sebagai bagian dari manhaj
Salafi. Padahal kita semua memahami bahwa setiap orang memiliki tabiat dasar
yang nyaris berbeda. Jika Abu Bakr dikenal dengan kelembutannya, maka Umar
dikenal dengan ketegasannya. Berbeda lagi dengan Abu Dzar yang keteguhan
prinsipnya membuat dia lebih cocok hidup sendiri daripada terlalu banyak
melakukan interaksi sosial.
Dalam kasus Salafi misalnya, sebagian
pendukungnya banyak mengadopsi karakter Syekh Rabi atau Syekh Muqbil misalnya,
yang memang dikenal dengan karakter pribadi yang keras. Padahal masih banyak
ulama rujukan mereka yang cenderung lebih toleran dan elegan.
Akhirnya,
memang tidak ada gading yang tak retak. Setiap anak Adam itu berpotensi
melakukan kesalahan, namun sebaik-baik orang yang selalu terjatuh dalam
kesalahan adalah yang selalu bertaubat dan menyadari kesalahannya, kata Nabi
saw. Setiap gerakan sudah tentu memiliki sisi positif dan negatif. Yang terbaik
pada akhirnya adalah yang mampu meminimalisir sisi negatifnya dan semakin hari
memiliki perubahan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Wallahul muwaqqiq!
[5] Dari kata ini kita kemudian sering mendengarkan kata
bentukan lainnya seperti Salafiyah (yang berarti ajaran atau
paham kesalafan) atau Salafiyun/Salafiyin yang merupakan
bentuk plural dariSalafi.
[7] Pasang
Surut Menegakkan Syari’ah Islamiyah, majalah SALAFY, hal. 2-12, edisi
40 tahun 1422/2001. Seputar masalah ini juga dapat dilihat dalam Laporan
International Crisis Group bertajuk“Indonesia Backgrounder: Why Salafism and
Terrorism Mostly Don’t Mix”, Asia Report no.83, 13 September 2004,
hal. 5-6.
[11] Yang pro
dalam hal ini misalnya adalah Hai’ah Kibar al-‘Ulama (Dewan
Ulama Besar) di sana yang saat itu diketuai oleh Syekh Abd al-Aziz ibn Baz.
[12] Yang
kontra dalam hal ini misalnya adalah Syekh Hamud al-‘Uqla (seorang ulama senior
yang selevel dengan ‘Abd al-Aziz ibn Baz), Safar ibn ‘Abd al-Rahman al-Hawali,
Salman ibn Fahd al-‘Audah, dan ‘Aidh ibn ‘Abdillah al-Qarni. Tiga
nama terakhir kemudian sempat di penjara, namun setelah lepasnya dari penjara
ketiganya kemudian menjadi tokoh yang sering dijadikan rujukan pendapat oleh
Pemerintah Saudi terutama dalam upaya meredam radikalisme alumni jihad Afghan.
[13] Informasi ini penulis dengarkan dari beberapa dosen Islamic
University of Madinah, seperti DR. Shalih al-Fa’iz dan DR. Rusyud al-Rusyud.
[15] Lih. Pembahasan lengkap tentang masalah ini dalam Hajr
al-Mubtadi’, karya DR. Bakr ibn Abdillah Abu Zaid.
[18] Lih. Beberapa
Kerusakan Pemilu,Muhammad Umar As-Sewed, Majalah SALAFY, edisi
XXX, hal. 8-15. Lihat juga wawancara dengan Eko Rahardjo, ketua divisi
penerangan FKAWJ tanggal 10 Agustus 2004 dalam Gerakan Salafi Radikal
di Indonesia, hal. 121.
[19] Lih. Al-Musyarakah
fi al-Intikhabat al-Barlamaniyah, DR. ‘Abdullah ibn Ibrahim
al-Thuraiqy,www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2869 dan www.islamtoday.net/print.cfm?artid=2896 . Dalam
tulisan yang sama, ia menawarkan sebuah sistem pemilu Islam yang mengadopsi
konsep Ahl al-Hill wa-‘Aqd yang hanya melibatkan ‘orang-orang
pilihan’ dan bukan seluruh rakyat di sebuah tempat.
[23] Lih. Al-Khithab
al-Dzahaby, karya DR.Bakr ibn Abdillah Abu Zaid. Buku kecil ini pada
mulanya adalah surat balasan Syekh Bakr untuk DR.Rabi’ yang memintanya memberi
pengantar atas bukunya yang mengkritik Sayyid Quthb secara tidak proporsional.
Permintaan itu justru ditolak dan dijawab dengan surat ini. DR.Bakr Abu Zaid
adalah anggota Dewan Ulama Besar Saudi yang saat ini menjabat sebagai Ketua
Konfrensi Fikih Internasional Rabithah Alam Islami di Mekkah.
[29] Uniknya
prinsip ini justru diucapkan oleh Syekh Nashiruddin al-Albani dengan mengadopsi
dan melakukan sedikit koreksi redaksional atas prinsip Ikhwanul Muslimin: “Nata’wanu
fima ittafaqna alaih wa na’dzuru ba’dhuna ba’dhan fima ikhtalafna fihi.”
[34] Lih. Mereka
Adalah Teroris, hal.664-702. Buku setebal 720 halaman ini ditulis oleh
Luqman Ba’abduh –salah seorang murid Syekh Muqbil ibn Hadi al-Wadi’i di
Indonesia- untuk membantah buku yang ditulis Imam Samudra, Aku Melawan
Teroris.
No comments:
Post a Comment