Breaking

LightBlog

Saturday, January 26, 2013

BERBAHASA SECARA SANTUN


RESUM BUKU


Judul                           : Berbahasa Secara Santun
Pengarang                   : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd
Penerbit                       : Pustaka Pelajar
Kota Terbit                  : Yogyakarta
Tebal Halaman            : 154


  A.    Kebiasaan dalam Berbahasa
Bahasa menentukan kebudayaan. Bukan, kebudayaanlah yang menentukan bahasa. Bukankah bahasa dan kebudayaan Baling memengaruhi? Bukankah bahasa dan kebudayaan tidak ada hubungannya? Apapun pendapatnya, masing-masing dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia me­mang ada benarnya. Orang yang ketika berbicara meng­gunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang benar menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pads suatu saat tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruk­nya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak benar dan tidak santun.
yang santun, halus, dan baik, ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah, mereka juga akan berbahasa santun, halus, dan baik. Perhatikan contoh di bawah ini (Icak adalah anak seorang guru BP tinggal di Kalimantan Tengah. Usia 6 tahun, sehari-hari memakai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan kedua orang tuanya)
Contoh 1:
Icak : Ma.... mama, Icak tadi do/an ke rumah dik Mirna.
Mama: Lagi ngapain dik Mirna?
Icak : Adik nangis, trus tak kasih roti.
Mama: Icak dapat dari mans?
Icak : Aku bell pake uang Icak
Mama: Kok pake uang Icak.
Icak : iya, jajane Mirna dimaem mbake (maksudnya yang mengasuh).
Mama: ya sudah sans, main dulu ya mama barn ada Pak De.
Kejujuran seorang anak kecil adalah potret dari perilaku berbahasa keluarganya. Jika perilaku berbahasa keluarga itu baik dan santun, anak-anak yang tumbuh dan berkembang di keluarga itu juga akan baik dan santun.

Contoh 2:
Wahyu : Pak, aku mbok ditukokke panganan!(Pak, aku belikan jajanan ya!)
Bapak : Lha mau rak wis ditukokke ibumu ta?(Tadi kan sudah dibelikan lbumu, kan?)
Wahyu : Lha malah wis digaglag sibu kabeh kok, kae ki rakus je.(Lha justru sudah dimakan sibu semua kok, dia itu rakus kok).
Bapak : Hus nek omongan ora kaya ngono kuwi?(Hus, jika bicara jangan seperti itu).
Wahyu : Lha kowe gek wingi kae ngomong ngono karo sibu kok ya oleh.(Lha kamu kemarin bicara seperti itu pads lbu kok ya boleh).
Bapak : Wis kana dolan sik, mengko nek karo mulih tumbas!(Ya sans bermain dulu, nanti kalau pulang kits beli).
Wahyu : ya ayo mulih saiki, wong neng kene ya ra disuguh apa-apa e.(Ya ayo pulang sekarang, di sini juga tidak dikasih apa-apa, kan).

Contoh 3:
Ayah : Watik, siapa temanmu yang rajin bermain kesini?
Watik Arya pak, teman kuliah Watik. Orangnya balk kok. Bapaknya tukang kebun di kampus. Watik mau keluar sebentar, mau jalan-jalan dengan Mas Arya, ya Pak!
Ayah Tidak. Kamu tidak boleh pergi. Katakan pads dia agar tidak datang main ke sini lagi. Bikin malu keluarga saja. Apa tidak ads teman lain yang bukan anak tukang kebun?
Watik (menyuruh temannya pulang, dan lari masuk kamar) Ayah egois! (teriaknya).
Dari tiga kasus data di atas, semuanya menjadi pem­bentuk perilaku dan kepribadian seseorang. Kasus pertama, hubungan antara penutur dengan mitra tutur (orang tua dengan anak) sangat harmonis. Kata-kata yang diucapkan oleh anak sangat santun. Hal itu menunjukkan bahwa kedua orang tuanya selalu berkomunikasi dengan bahasa yang santun kepada anak. Jika komunikasi seperti itu dapat terus berlanjut, anak akan tumbuh dengan kepribadian yang baik. Orang tua, di samping man memerhatikan kata-kata yang digunakan ketika berbicara dengan anaknya, sekahgus menanamkan nilai kemanusiaan positif kepada anak. Kepedulian anak terhadap temannya diapresiasi oleh orang tua secara baik. Namun, kasus kedua dan ketiga tentu bukan kasus pembentuk perilaku dan kepribadian yang baik. Hanya kasus pertama yang diharapkan dapat membentuk perilaku dan kepribadian yang baik melalui pemakaian bahasa yang santun.
Pemakai BI seharusnya di samping dapat ber-BI secara baik dan benar, juga dapat berbahasa secara santun. Ber­bahasa secara baik dan benar sudah dikenal masyarakat secara lugs karena diajarkan di seluruh jenjang pendidikan dan dipergunakan dalam berbagai situasi. Sementara itu, pemakaian BI secara santun, belum banyak dikenal dalam masyarakat. Pemakai BI secara santun barn dilakukan atas dasar pranata adat dan budaya yang berlaku dalam bahasa setempat, tetapi belum mendapat perhatian para ahli bahasa untuk merumuskan kaidah secara pasti dan belum menjadi mated dalam pembelajaran BI secara khusus.
Memang BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara membutuhkan kebakuan. Pranarka (1979) menekankan adanya modernisasi yang terlibat dalam sederet komponen berbahasa, yakni (1) discipline, (2) ac­curacy, dan (3) precision. Sebagai konsekuensi di dalam berbahasa, orang harus menepati kaidah baik dalam pe­meliharaan pola struktur maupun kosakatanya (dicipline). Di samping itu, is harus pula secara akurat dan tepat me­nyatakan idenya yang sesuai dengan pola struktur bahasa serta forum, dan situasi berkomunikasi (accuracy). Ketepat­an berbahasa seperti itu tidak hanya menampilkan disiplin, tetapi juga kecendekiaan (intelektualitas). Hal ini menuntut penutur untuk dapat membatasi bahasa dalam situasi yang aktual. Dapat dikatakan bahwa dalam rangka menerapkan kaidah komunikasi yang aktual, penutur didorong untuk menampilkan kecermatannya (precision).
Dalam berkomunikasi, Grice (1975) mengajukan 4 (empat) kaidah agar tuturan dapat menjadi santun yaitu: prinsip kerja sama (cooperative principles) yang meliputi (a) prinsip kualitas Oika berbahasa, apa yang dikatakan harus didukung oleh data), (b) prinsip kuantitas (jika berbahasa, apa yang dikatakan cukup seperlunya saja, tidak ditambah dan tidak dikurangi), (c) prinsip relevansi (jika berbahasa, yang dikatakan harus selalu ada relevansinya dengan pokok yang dibicarakan, dan (d) prinsip cara. (jika berbahasa, di samping harus memikirkan pokok masalah yang dibicarakan, jugs bagaimana cars menyampaikannya). Pemikiran Grice di atas cukup balk, setidaknya sudah mulai memikirkan perlunya ada kaidah berbahasa di luar kaidah tats bahasa. Namun, jika dicermati, pemikiran Grice tersebut hanya cocok untuk menyampaikan informasi, tetapi justru dapat mengancam keharmonisan hubungan sosial.
Kesantunan dalam berkomunikasi ada kaitannya dengan tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin (1978). Austin melihat bahwa setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (2) tindak ilokusi berupa maksud'yang terkandung dalam ujaran, dan (3) tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran.

B.     Kesulitan Mengungkapkan Maksud secara Santun
Hingga saat ini, kesantunan dalam berbahasa Indone­sia belum banyak dikaji secara ilmiah. Para ahli Pragmatik belum banyak meneliti pemakaian BI yang santun. Memang pars ahli bahasa sudah menetapkan pemakaian bahasa yang baik dan benar.
Banyak orang sudah dapat berbahasa secara baik dan benar, tetapi kadang-kadang belum mampu berbahasa secara santun. Perhatikan contoh di bawah ini!
Begitu saya mundur dari jabatan Presiden, Madura Papua, dan Aceh akan memisahkan diri dari NKRI (konteks tuturannya adalah ketika Presiden mendapat tekanan dari lawan politiknya agar mundur dan jabatannya pads saat negara diguncang berbagai kerusuhan).
Tuturan di atas merupakan bahasa yang baik (karena sudah sesuai dengan ragam) dan juga sudah benar karena tidak ada kaidah tata bahasa yang dilanggar. Namun, apakah tuturan tersebut sudah santun? Tuturan tersebut terasa kurang santun karena penutur terkesan kurang rendah hati sehingga dapat menyinggung perasaan mitra tutur. Sebagai seorang Presiden, mestinya tidak perlu berkata seperti itu meskipun dengan risiko kehilangan jabatannya. Tuturan akan menjadi lebih santun jika dikatakan "Begitu saya mundur dari jabatan Presiden apakah ada jaminan bahwa keadaan negara akan semakin membaik?".
Suatu tuturan dikatakan santun bila dapat meminimkan pengungkapan pendapat yang tidak santun (Leech, 1983: 81). Grice (2000: 362) merumuskan kembali anggapan ter­sebut menjadi "pilihlah ungkapan yang tidak meremehkan status mitra tutur". Artinya, dalam bertutur, demi kesantunan kits perlu memilih ungkapan yang paling kecil kemungkinan­nya menyebabkan mitra tutur kehilangan muka. Oleh karena itu, demi kesantunan, penutur harus dapat memperlakukan mitra tutur sebagai berikut (Grice, 2000: 362):
1.      Jangan perlakukan mitra tutur sebagai prang yang tunduk kepada penutur. Jangan sampai mitra tutur enak diterima. Perilaku tutur yang demikian menimbul­kan citra positif pads penuturnya, yaitu bahwa penutur­nya adalah orang yang sopan dalam berbahasa Indonesia.
2.      Kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. Di Indonesia, seperti juga pads komunitas tutur lain, sikap persahabatan adalah sesuatu yang bagus.
3.      Gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. Berbahasa dikatakan santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur mudah dipahami oleh mitra tutur, misainya: (1) tuturawnnya lengkap, (2) tutur­annya logis, (3) sungguh-suhgguh verbal, (4) meng­gunakan ragam bahasa sesuai dengan konteks.
4.      Kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan situasi. Kesopanan berbahasa juga ditentukan oleh topik tuturan.
5.      Benar, komunikasi akan terasa santun dan tidak mustahil berbagai tujuan komunikasi dapat dicapai.
6.      Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan. Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Pokok pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi.
7.      Pokok pembicaraan dalam berkomunikasi sangat menentukan kualitas seseorang. Jika berkali-kali berjumpa dengan seseorang, tetapi pokok pembicaraan yang dibicara­kan tidak pernah berubah dan berkembang, mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak berkualitas, tidak berharkat, dan bahkan martabatnya dinilai rendah.
Selain itu, pemakaian bahasa agar santun dapat jugs dinyatakan menggunakan bentuk ironi (Arsim, 2005). Pe­nerapan bentuk ironi, penutur bertutur dengan santun, tetapi yang dituturkan itu tidak benar, dan karena itu daya ilokusinya (maksudnya) adalah yang sebaliknya. Jadi dengan menerap­kan prinsip ini, penutur mengungkapkan daya ilokusi yang tidak santun secara santun. Misalnya: "Terima kasih Anda sangat perhatian dengan keluarga says, bahkan sempat antar-jemputistrisaya!" padahal yang dimaksudkan penutur adalah bahwa pendengar telah terlalu jauh mencampuri urusan keluarganya yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh pendengar.
Poedjosoedarmo (1978) mengemukakan bahwa santun tidaknya pemakaian bahasa dapat diukur melalui 7 (tujuh) prinsip yaitu:
a.       Kemampuan mengendalikan emosi agar tidak "lepas kontrol" dalam berbicara.
b.      Kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur.
c.       Gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur.
d.      Kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan cocok dengan situasi.
e.       Kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meski­pun tidak harus seperti bahasa proposal.
f.       Penutur hendaknya memilih bentuk kalimat yang balk dan ucapkan dengan enak agar mudah dipahami dan diterima oleh mitra tutur dengan enak pula.
g.      Perhatikanlah norms tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur), urutan tuturan. Jika ingin menyela, katakan maaf Mengenai gerakan tubuh (gestur), pads saat ber­bicara tunjukkan wajah berseri dan penuh perhatian terhadap mitra bicara.
h.      Di samping prinsip-prinsip di atas, untuk menyatakan kesantunan dibutuhkan strategi dalam berkomunikasi, yaitu: (a) spa yang dikomunikasikan, (b) bagaimana cars me­ngomunikasikannya, dan (c) mengapa sesuatu hal perlu di­komunikasikan. Jika ketiga hal itu dapat digunakan secara benar, komunikasi akan terasa santun dan tidak mustahil berbagai tujuan komunikasi dapat dicapai.
Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan. Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Pokok pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi. Berkomunikasi tanpa ada yang dikomunikasikan, pembicaraan tidak akan membawa peningkatan harkat dan martabat seseorang. Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain, tetapi tidak jelas pokok masalah yang dibicarakan, mitra tutur akan kebingungan mengikuti pembicaraannya. Orang Jawa sering mengatakan "kowe ki arep ngomong apa?" terhadap sese­orang yang tidak jelas pokok masalah yang dibicarakan.
Pokok pembicaraan dalam berkomunikasi sangat menentukan kualitas seseorang. Jika berkali-kali berjumpa dengan seseorang, tetapi pokok pembicaraan yang dibicara­kan tidak pernah berubah dan berkembang, mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak berkualitas, tidak berharkat, dan bahkan martabatnya dinilai rendah. Mitre tutur akan bosan berbicara dengan orang yang demikian. Sebaliknya, jika penutur selalu berbicara topik yang baru dan selalu mem­berikan wawasan baru kepada mitra tutur, penutur akan dinilai sebagai orang yang berkualitas. Dengan demikian, strategi komunikasi perlu memerhatikan pokok masalah yang dibicarakan.  Semakin pokok masalah yang dibicarakanberkualitas, semakin berkualitas pule penuturnya.
Strategi kedua, yaitu bagaimana cara berkomunikasi seseorang. Kadang-kadang seseorang gaga) dalam ber­komunikasi bukan karena pokok masalah yang dibicarakan salah atau tidak berkualitas, tetapi karena cara menyam­ paikan tidak benar. Oleh karena itu, dalam berkomunikasi kadang-kadang cara menyampaikan ini justru diletakkan pads strategi pertama. Asumsinya, bahwa setiap orang yang berkomunikasi pasti memiliki pokok masalah yang perlu dikomunikasikan.

D . Membawa Sikap-sikap Positif Budaya Java dalam Berbahosa Indonesia
Di samping uraian di atas, pemakaian bahasa dapat dikatakan santun jika ada prinsip rukun dan" kurmat (Geertz dalam Magnes Suseno, 1985:38). Kedua prinsip itu, menurut Geertz, adalah prinsip kerukunan dan prinsip kurmat Yang pertama mengacu ke kewajiban setiap anggota untuk men­jaga keseimbangan sosial (baca: kerukunan) dan yang kedua, yang bermakna 'hormat', merujuk pada "kewajiban" setiap anggota masyarakat untuk menunjukkan rasa meng­hargai orang lain sesuai dengan status dan kedudukan masing-masing di dalam masyarakat.

Hematnya, bahasa membentuk perilaku manusia. Jika kebiasaan yang tertanam pads diri seseorang buruk, perilaku yang tumbuh dan berkembang juga akan buruk. Jika kebiasaan berbahasa yang tertanam pads diri seseorang adalah kebiasaan berbahasa yang buruk, perilaku bahasanya pun juga akan tumbuh buruk. Inilah pengaruh bahasa terhadap perilaku manusia.
Berkaitan dengan itu, kebiasaan berbahasa seseorang yang buruk sebenarnya sudah sejak lama tertanam perilaku buruk dalam dirinya. Oleh karena itu, jika ingin agar perilaku berbahasa seseorang tumbuh dan berkembang dengan santun, hendaknya ditanamkan pula kebiasaan berbahasa secara santun.
Untuk menanamkan perilaku berbahasa secara santun ada banyak teori yang dapat dijadikan acuan. Pertama, prinsip kerja sama dari Grace (1983), yaitu prinsip kualitas, prinsip kuantitas, prinsip relevansi, dan prinsip cara. Kedua, maksim dari Leech (1983), yaitu (a) maksim kebijaksanaan, (b) maksim kedermawanan, (c) maksim pujian, (d) maksim kerendahan hati, (e) maksim kesetujuan, (f) maksim simpati, dan (g) maksim pertimbangan. Ketiga, Austin (1978), yaitu perhatikan (a) tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (b) tindak ilokusi berupa maksud yang terkandung dalam ujaran, dan (c) tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran. Keempat, dan lain-lain.
Jika maksim-maksim di atas sudah diikuti dengan baik, penutur perlu memerhatikan strategi berkomunikasi. Strategi berkomunikasi yang baik, antara lain (a) harus ada pokok masalah yang dibicarakan, (b) harus memilih cara penyampaian dengan mengenali level sosial mitra tutur (apakah mereka level dhupak bujang, Semu Mantra, ataukah Esem Bupati), dan (c) mengapa pokok masalah tertentu harus disampaikan. Bala maksim, di atas dipandang belum mencukupi,,ja'ngan segan­segan membawa nilai-nilai etnis tertentu yang dinilai positif. Misalnya, ketika berkomunikasi harus mahir angon rasa, angon owayah, adu rasa, empan pagan, tepa sells, andhap asor, selalu hormat pads mitra tutur, dan sebagainya.

No comments:

Post a Comment

Adbox