RESUM BUKU
Judul :
Berbahasa Secara Santun
Pengarang : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd
Penerbit :
Pustaka Pelajar
Kota Terbit : Yogyakarta
Tebal Halaman : 154
A. Kebiasaan dalam Berbahasa
Bahasa menentukan kebudayaan. Bukan, kebudayaanlah
yang menentukan bahasa. Bukankah bahasa dan kebudayaan Baling memengaruhi?
Bukankah bahasa dan kebudayaan tidak ada hubungannya? Apapun pendapatnya,
masing-masing dapat dibuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan bahwa
bahasa menentukan perilaku budaya manusia memang ada benarnya. Orang yang
ketika berbicara menggunakan pilihan kata,
ungkapan yang santun, struktur kalimat yang
benar menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya,
jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha
berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pads suatu saat
tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata,
ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak benar dan tidak santun.
yang
santun, halus, dan baik, ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain
di luar rumah, mereka juga akan berbahasa santun, halus, dan baik. Perhatikan contoh di
bawah ini (Icak adalah anak seorang guru BP tinggal di Kalimantan Tengah.
Usia 6 tahun, sehari-hari memakai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia dengan kedua
orang tuanya)
Contoh
1:
Icak : Ma.... mama, Icak
tadi do/an ke rumah dik Mirna.
Mama:
Lagi ngapain dik Mirna?
Icak : Adik nangis, trus tak kasih roti.
Mama:
Icak dapat dari mans?
Icak : Aku bell pake uang Icak
Mama:
Kok pake uang Icak.
Icak : iya, jajane Mirna
dimaem mbake (maksudnya yang mengasuh).
Mama: ya sudah sans, main dulu ya mama barn
ada Pak De.
Kejujuran
seorang anak kecil adalah potret dari perilaku berbahasa keluarganya. Jika perilaku berbahasa keluarga itu baik dan santun, anak-anak yang tumbuh dan
berkembang di keluarga itu juga akan baik dan santun.
Contoh
2:
Wahyu : Pak, aku mbok ditukokke panganan!(Pak, aku
belikan jajanan ya!)
Bapak : Lha mau rak wis ditukokke ibumu ta?(Tadi
kan sudah dibelikan
lbumu, kan?)
Wahyu : Lha malah wis digaglag sibu kabeh kok, kae
ki rakus je.(Lha justru sudah dimakan sibu semua kok, dia itu rakus kok).
Bapak : Hus nek omongan ora kaya ngono kuwi?(Hus, jika bicara jangan seperti itu).
Wahyu : Lha
kowe gek wingi kae ngomong ngono karo sibu
kok ya oleh.(Lha kamu kemarin bicara seperti itu pads
lbu kok ya boleh).
Bapak : Wis kana dolan sik, mengko nek karo mulih
tumbas!(Ya sans bermain dulu, nanti kalau pulang kits beli).
Wahyu : ya ayo mulih saiki, wong neng kene ya ra
disuguh apa-apa e.(Ya ayo pulang sekarang, di sini juga tidak dikasih
apa-apa, kan).
Contoh
3:
Ayah
: Watik, siapa temanmu yang rajin bermain kesini?
Watik Arya pak, teman kuliah Watik.
Orangnya balk kok. Bapaknya tukang kebun di kampus. Watik mau keluar
sebentar, mau jalan-jalan dengan Mas Arya, ya Pak!
Ayah Tidak. Kamu tidak boleh pergi.
Katakan pads dia agar tidak datang main ke sini lagi. Bikin malu keluarga saja.
Apa tidak ads teman lain yang bukan anak tukang kebun?
Watik (menyuruh temannya pulang, dan lari masuk kamar) Ayah
egois! (teriaknya).
Dari tiga kasus data di atas, semuanya menjadi pembentuk perilaku dan kepribadian seseorang. Kasus
pertama, hubungan antara penutur
dengan mitra tutur (orang tua dengan anak)
sangat harmonis. Kata-kata yang diucapkan oleh anak sangat santun. Hal
itu menunjukkan bahwa kedua orang tuanya selalu berkomunikasi dengan bahasa
yang santun kepada anak. Jika komunikasi
seperti itu dapat terus berlanjut, anak
akan tumbuh dengan kepribadian yang baik. Orang tua, di samping man
memerhatikan kata-kata yang digunakan ketika
berbicara dengan anaknya, sekahgus menanamkan nilai kemanusiaan positif kepada anak. Kepedulian anak
terhadap temannya diapresiasi oleh orang tua secara baik. Namun, kasus kedua dan ketiga tentu bukan kasus
pembentuk perilaku dan kepribadian yang baik. Hanya kasus pertama yang diharapkan dapat membentuk perilaku dan
kepribadian yang baik melalui pemakaian bahasa yang santun.
Pemakai BI seharusnya
di samping dapat ber-BI secara baik dan benar, juga dapat berbahasa
secara santun. Berbahasa secara baik dan benar sudah dikenal masyarakat secara
lugs karena diajarkan di seluruh jenjang pendidikan dan dipergunakan
dalam berbagai situasi. Sementara itu, pemakaian BI secara santun, belum banyak
dikenal dalam masyarakat. Pemakai BI secara santun barn dilakukan atas dasar
pranata adat dan budaya yang berlaku dalam bahasa setempat, tetapi belum mendapat perhatian para ahli bahasa untuk
merumuskan kaidah secara pasti dan belum menjadi mated dalam pembelajaran BI
secara khusus.
Memang BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara membutuhkan kebakuan. Pranarka (1979) menekankan adanya modernisasi yang terlibat dalam sederet komponen berbahasa, yakni (1) discipline,
(2) accuracy, dan (3) precision. Sebagai
konsekuensi di dalam berbahasa, orang harus
menepati kaidah baik dalam pemeliharaan
pola struktur maupun kosakatanya (dicipline). Di samping itu, is harus pula secara akurat dan
tepat menyatakan idenya yang sesuai
dengan pola struktur bahasa serta
forum, dan situasi berkomunikasi (accuracy). Ketepatan berbahasa seperti itu tidak hanya menampilkan
disiplin, tetapi juga kecendekiaan (intelektualitas). Hal ini menuntut penutur untuk dapat membatasi bahasa dalam situasi
yang aktual. Dapat dikatakan bahwa
dalam rangka menerapkan kaidah
komunikasi yang aktual, penutur didorong untuk menampilkan kecermatannya
(precision).
Dalam berkomunikasi, Grice (1975) mengajukan 4 (empat) kaidah agar tuturan dapat menjadi santun yaitu: prinsip
kerja sama (cooperative principles) yang meliputi (a) prinsip kualitas Oika berbahasa, apa yang
dikatakan harus didukung oleh data), (b) prinsip kuantitas (jika berbahasa, apa
yang dikatakan cukup seperlunya saja, tidak ditambah dan tidak dikurangi), (c)
prinsip relevansi (jika berbahasa, yang
dikatakan harus selalu ada relevansinya dengan pokok yang dibicarakan, dan (d) prinsip cara. (jika
berbahasa, di samping harus
memikirkan pokok masalah yang dibicarakan, jugs bagaimana cars menyampaikannya). Pemikiran Grice di atas cukup balk, setidaknya sudah mulai
memikirkan perlunya ada kaidah
berbahasa di luar kaidah tats bahasa. Namun, jika dicermati, pemikiran
Grice tersebut hanya cocok untuk
menyampaikan informasi, tetapi justru dapat mengancam keharmonisan
hubungan sosial.
Kesantunan dalam berkomunikasi ada kaitannya dengan tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin (1978). Austin melihat bahwa setiap ujaran dalam tindak komunikasi selalu mengandung tiga unsur yaitu (1) tindak lokusi berupa ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur,
(2) tindak ilokusi berupa maksud'yang
terkandung dalam ujaran, dan (3) tindak perlokusi
berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran.
B. Kesulitan Mengungkapkan Maksud secara Santun
Hingga saat ini, kesantunan dalam berbahasa
Indonesia belum banyak dikaji secara ilmiah. Para ahli Pragmatik belum banyak
meneliti pemakaian BI yang santun. Memang pars ahli bahasa sudah menetapkan
pemakaian bahasa yang baik
dan benar.
Banyak orang sudah dapat berbahasa
secara baik dan benar, tetapi kadang-kadang belum mampu berbahasa secara santun. Perhatikan contoh di
bawah ini!
Begitu saya mundur dari jabatan
Presiden, Madura Papua, dan Aceh akan memisahkan diri dari NKRI (konteks tuturannya adalah ketika
Presiden mendapat tekanan dari lawan politiknya agar mundur dan jabatannya pads
saat negara diguncang berbagai kerusuhan).
Tuturan di atas merupakan bahasa yang
baik (karena sudah sesuai dengan ragam) dan juga sudah benar karena tidak ada kaidah tata bahasa yang
dilanggar. Namun, apakah tuturan tersebut
sudah santun? Tuturan tersebut terasa kurang
santun karena penutur terkesan kurang rendah hati sehingga dapat menyinggung perasaan mitra tutur.
Sebagai seorang Presiden, mestinya
tidak perlu berkata seperti itu meskipun dengan risiko kehilangan
jabatannya. Tuturan akan menjadi lebih santun jika dikatakan "Begitu
saya mundur dari jabatan Presiden apakah ada jaminan bahwa keadaan negara akan
semakin membaik?".
Suatu tuturan
dikatakan santun bila dapat meminimkan pengungkapan pendapat yang tidak santun (Leech, 1983: 81).
Grice (2000: 362) merumuskan kembali anggapan tersebut menjadi "pilihlah
ungkapan yang tidak meremehkan status mitra
tutur". Artinya, dalam bertutur, demi kesantunan kits perlu memilih ungkapan yang paling kecil
kemungkinannya menyebabkan mitra
tutur kehilangan muka. Oleh karena itu, demi kesantunan, penutur harus
dapat memperlakukan mitra tutur sebagai
berikut (Grice, 2000: 362):
1.
Jangan perlakukan mitra tutur
sebagai prang yang tunduk kepada penutur. Jangan sampai mitra tutur enak diterima. Perilaku tutur yang demikian menimbulkan citra positif pads penuturnya, yaitu bahwa
penuturnya adalah orang yang sopan
dalam berbahasa Indonesia.
2. Kemampuan
memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra tutur. Di Indonesia, seperti juga
pads komunitas tutur lain, sikap persahabatan
adalah sesuatu yang bagus.
3. Gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur. Berbahasa dikatakan
santun apabila kode bahasa yang digunakan oleh penutur mudah dipahami oleh mitra tutur, misainya: (1) tuturawnnya lengkap, (2) tuturannya
logis, (3) sungguh-suhgguh verbal, (4) menggunakan ragam bahasa sesuai dengan
konteks.
4.
Kemampuan memilih topik yang
disukai oleh mitra tutur dan
cocok dengan situasi. Kesopanan berbahasa juga ditentukan oleh topik tuturan.
5.
Benar,
komunikasi akan terasa santun dan tidak mustahil berbagai tujuan komunikasi
dapat dicapai.
6.
Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan. Setiap
orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan. Pokok
pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi.
7.
Pokok
pembicaraan dalam berkomunikasi sangat menentukan kualitas seseorang. Jika
berkali-kali berjumpa dengan seseorang,
tetapi pokok pembicaraan yang dibicarakan
tidak pernah berubah dan berkembang, mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu
tidak berkualitas, tidak berharkat, dan bahkan martabatnya dinilai rendah.
Selain itu, pemakaian bahasa agar santun dapat jugs
dinyatakan menggunakan bentuk ironi (Arsim, 2005). Penerapan bentuk ironi, penutur bertutur dengan santun, tetapi yang dituturkan itu tidak benar, dan karena itu
daya ilokusinya (maksudnya) adalah
yang sebaliknya. Jadi dengan menerapkan prinsip ini, penutur
mengungkapkan daya ilokusi yang tidak santun secara santun. Misalnya: "Terima
kasih Anda sangat perhatian dengan keluarga says, bahkan sempat
antar-jemputistrisaya!" padahal yang dimaksudkan penutur adalah bahwa
pendengar telah terlalu jauh mencampuri urusan
keluarganya yang seharusnya tidak pantas dilakukan oleh pendengar.
Poedjosoedarmo (1978) mengemukakan
bahwa santun tidaknya
pemakaian bahasa dapat diukur melalui 7 (tujuh) prinsip yaitu:
a. Kemampuan
mengendalikan emosi agar tidak "lepas kontrol"
dalam berbicara.
b.
Kemampuan memperlihatkan sikap bersahabat kepada mitra
tutur.
c.
Gunakan kode bahasa yang mudah dipahami oleh mitra tutur.
d.
Kemampuan memilih topik yang disukai oleh mitra tutur dan
cocok dengan situasi.
e.
Kemukakan tujuan pembicaraan dengan jelas, meskipun
tidak harus seperti bahasa proposal.
f.
Penutur
hendaknya memilih bentuk kalimat yang balk dan ucapkan dengan enak agar mudah
dipahami dan diterima oleh mitra tutur
dengan enak pula.
g.
Perhatikanlah
norms tutur lain, seperti gerakan tubuh (gestur), urutan tuturan. Jika ingin
menyela, katakan maaf Mengenai gerakan tubuh (gestur), pads saat berbicara
tunjukkan wajah berseri dan penuh perhatian terhadap mitra bicara.
h.
Di samping prinsip-prinsip di atas,
untuk menyatakan kesantunan dibutuhkan
strategi dalam berkomunikasi, yaitu: (a) spa yang dikomunikasikan, (b)
bagaimana cars mengomunikasikannya, dan (c) mengapa sesuatu hal perlu dikomunikasikan.
Jika ketiga hal itu dapat digunakan secara benar,
komunikasi akan terasa santun dan tidak mustahil berbagai tujuan komunikasi
dapat dicapai.
Strategi pertama, yaitu apa yang dikomunikasikan.
Setiap orang yang berkomunikasi dengan orang lain harus ada yang dibicarakan.
Pokok pembicaraan menjadi salah satu unsur primer dalam berkomunikasi.
Berkomunikasi tanpa ada yang dikomunikasikan, pembicaraan tidak akan membawa peningkatan harkat dan martabat seseorang.
Ketika seseorang berkomunikasi dengan orang lain, tetapi tidak jelas pokok masalah yang dibicarakan, mitra
tutur akan kebingungan mengikuti
pembicaraannya. Orang Jawa sering mengatakan "kowe ki arep
ngomong apa?" terhadap seseorang yang tidak jelas pokok masalah yang
dibicarakan.
Pokok pembicaraan dalam berkomunikasi sangat menentukan
kualitas seseorang. Jika berkali-kali berjumpa dengan seseorang, tetapi pokok
pembicaraan yang dibicarakan tidak pernah
berubah dan berkembang, mitra tutur akan menilai bahwa penutur itu tidak berkualitas, tidak berharkat, dan
bahkan martabatnya dinilai rendah. Mitre tutur akan bosan berbicara dengan
orang yang demikian. Sebaliknya, jika
penutur selalu berbicara topik yang baru dan selalu memberikan wawasan baru kepada mitra tutur, penutur
akan dinilai sebagai orang yang berkualitas. Dengan demikian, strategi
komunikasi perlu memerhatikan pokok masalah yang dibicarakan. Semakin pokok
masalah yang dibicarakanberkualitas, semakin berkualitas pule penuturnya.
Strategi kedua, yaitu bagaimana cara
berkomunikasi seseorang. Kadang-kadang seseorang gaga) dalam berkomunikasi bukan karena pokok masalah yang
dibicarakan salah atau tidak berkualitas, tetapi karena cara menyam paikan tidak benar. Oleh karena itu, dalam
berkomunikasi kadang-kadang cara
menyampaikan ini justru diletakkan pads strategi pertama. Asumsinya,
bahwa setiap orang yang berkomunikasi pasti memiliki pokok masalah yang perlu dikomunikasikan.
D . Membawa Sikap-sikap Positif Budaya Java dalam Berbahosa Indonesia
Di
samping uraian di atas, pemakaian bahasa dapat dikatakan santun jika ada
prinsip rukun dan" kurmat (Geertz dalam
Magnes Suseno, 1985:38). Kedua prinsip itu, menurut Geertz, adalah
prinsip kerukunan dan prinsip kurmat Yang pertama mengacu ke kewajiban
setiap anggota untuk menjaga keseimbangan
sosial (baca: kerukunan) dan yang kedua, yang bermakna 'hormat', merujuk
pada "kewajiban" setiap anggota masyarakat untuk menunjukkan rasa
menghargai orang lain sesuai dengan status dan kedudukan masing-masing di
dalam masyarakat.
Hematnya,
bahasa membentuk perilaku manusia. Jika kebiasaan yang tertanam pads diri seseorang buruk, perilaku yang tumbuh dan berkembang juga akan buruk. Jika kebiasaan
berbahasa yang tertanam pads diri
seseorang adalah kebiasaan berbahasa yang buruk, perilaku bahasanya pun juga
akan tumbuh buruk. Inilah pengaruh bahasa terhadap perilaku manusia.
Berkaitan
dengan itu, kebiasaan berbahasa seseorang yang buruk sebenarnya sudah sejak
lama tertanam perilaku buruk dalam dirinya.
Oleh karena itu, jika ingin agar perilaku berbahasa seseorang tumbuh dan berkembang dengan santun, hendaknya
ditanamkan pula kebiasaan berbahasa secara santun.
Untuk menanamkan perilaku berbahasa secara santun ada banyak teori
yang dapat dijadikan acuan. Pertama, prinsip kerja sama dari Grace (1983),
yaitu prinsip kualitas, prinsip
kuantitas, prinsip relevansi, dan prinsip cara. Kedua, maksim dari Leech (1983), yaitu (a) maksim
kebijaksanaan, (b) maksim kedermawanan, (c) maksim pujian, (d) maksim kerendahan hati, (e) maksim kesetujuan, (f) maksim
simpati, dan (g) maksim pertimbangan. Ketiga, Austin (1978),
yaitu perhatikan (a) tindak lokusi berupa
ujaran yang dihasilkan oleh seorang penutur, (b) tindak ilokusi berupa
maksud yang terkandung dalam ujaran, dan (c)
tindak perlokusi berupa efek yang ditimbulkan oleh ujaran. Keempat, dan
lain-lain.
Jika
maksim-maksim di atas sudah diikuti dengan baik, penutur perlu memerhatikan
strategi berkomunikasi. Strategi berkomunikasi
yang baik, antara lain (a) harus ada pokok masalah yang dibicarakan, (b)
harus memilih cara penyampaian dengan mengenali level sosial mitra tutur
(apakah mereka level dhupak bujang, Semu Mantra, ataukah Esem Bupati), dan (c) mengapa pokok masalah tertentu harus disampaikan.
Bala maksim, di atas dipandang belum
mencukupi,,ja'ngan segansegan membawa nilai-nilai etnis tertentu yang
dinilai positif. Misalnya, ketika
berkomunikasi harus mahir angon rasa, angon owayah,
adu rasa, empan pagan, tepa sells, andhap asor, selalu hormat pads mitra tutur, dan
sebagainya.
No comments:
Post a Comment