2.1 Politik Islam
Dalam Agama Islam, bukan masalah Ubudiyah dan
Ilahiyah saja yang dibahas. Akan tetapi tentang kemaslahatn umat juga dibahas
dan diatur dalam Islam, dalam kajian ini salah satunya adalah Politik Islam
yang dalam bahasa agamanya disebut Fiqh Siyasah.
Fiqh Siyasah dalam koteks terjemahan diartikan
sebagai materi yang membahas mengenai ketatanegaraan Islam (Politik Islam).
Secara bahasa Fiqh adalah mengetahui hukum-hukum Islam yang bersifat amali
melalui dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan Siyasah adalah pemerintahan,
pengambilan keputusan, pembuatan kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan.
Sedangkan Ibn Al-Qayyim mengartikan Fiqh
Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kemudharatan, serta sekalipun Rasullah tidak
menetapkannya dan bahkan Allah menetapkannya pula.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
Fiqh Siyasah adalah hukum yang mengatur hubungan penguasa dengan rakyatnya.
Pembahasan diatas dapat diartikan bahwa Politik Islam dalam kajian Islam
disebut Fiqh Siyasah.
2.2 Bagian-bagian Fiqh Siyasah
Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan
penamaan Politik Islam dalam Islam adalah Fiqh Siyasah. Maka dalam kajian kali
ini akan dibahas mengenai bidang-bidang Fiqh Siyasah. Dan Fiqh Siyasah ini
menurut Pulungan (2002, hal:39) terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
1. Siyasah
Dusturiyah
2. Siyasah
Maliyah
3. Siyasah
Dauliyah
4. Siyasah
Harbiyah
2.2.1 Siyasah Dusturiyah
Siyasah Dusturiyah menurut tata bahasanya terdiri
dari dua suku kata yaitu Siyasah itu sendiri serta Dusturiyah. Arti Siyasah
dapat kita lihat di pembahasan diatas, sedangkan Dusturiyah adalah
undang-undang atau peraturan. Secara pengertian umum Siyasah Dusturiyah adalah
keputusan kepala negara dalam mengambil keputusan atau undang-undang bagi
kemaslahatan umat.
Sedangkan menurut Pulungan (2002, hal:39)
Siyasah Dusturiyah adalah hal yang mengatur atau kebijakan yang diambil oleh
kepala negara atau pemerintah dalam mengatur warga negaranya. Hal ini berarti
Siyasah Dusturiyah adalah kajian terpenting dlam suatu negara, karena hal ini
menyangkut hal-hal yang mendasar dari suatu negara. Yaitu keharmonisan antara
warga negara dengan kepala negaranya.
2.2.2 Siyasah Maliyah
Arti kata Maliyah bermakna harta benda,
kekayaan, dan harta. Oleh karena itu Siyasah Maliyah secara umum yaitu
pemerintahan yang mengatur mengenai keuangan negara.
Djazuli (2003) mengatakan bahwa Siyasah Maliyah
adalah hak dan kewajiban kepala negara untuk mengatur dan mengurus keungan negara
guna kepentingan warga negaranya serta kemaslahatan umat. Lain halnya dengan
Pulungan (2002, hal:40) yang mengatak bahwa Siyasah Maliyah meliputi hal-hal
yang menyangkut harta benda negara (kas negara), pajak, serta Baitul Mal.
Dari pembahsan diatas dapat kita lihat bahwa
siyasah maliyah adalah hal-hal yang menyangkut kas negara serta keuangan negara
yang berasal dari pajak, zakat baitul mal serta pendapatan negara yang tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
2.2.3 Siyasah Dauliyah
Dauliyah bermakna tentang daulat, kerajaan,
kekuasaan, wewenang, serta kekuasaan. Sedangkan Siyasah Dauliyah bermakna
sebagai kekuasaan kepala negara untuk mengatur negara dalam hal hubungan
internasional, masalh territorial, nasionalitas, ekstradisi tahanan,
pengasingan tawanan politik, pengusiran warga negara asing. Selain itu juga
mengurusi masalah kaum Dzimi, perbedaan agama, akad timbal balik dan sepihak
dengan kaum Dzimi, hudud, dan qishash (Pulungan, 2002. hal:41).
Dari pengertian diatas dapat dilihat bahwa
Siyasah Dauliyah lebih mengarah pada pengaturan masalah kenegaraan yang
bersifat luar negeri, serta kedaulatan negara. Hal ini sangat penting guna
kedaulatan negara untuk pengakuan dari negara lain.
2.2.4 Siyasah Harbiyah
Harbiyah bermakna perang, secara kamus Harbiyah
adalah perang, keadaan darurat atau genting. Sedangkan makna Siyasah Harbiyah
adalah wewenang atau kekuasaan serta peraturan pemerintah dalam keadaan perang
atau darurat.
Dalam kajian Fiqh Siyasahnya yaitu Siyasah
Harbiyah adalah pemerintah atau kepala negara mengatur dan mengurusi hala-hal
dan masalah yang berkaitan dengan perang, kaidah perang, mobilisasi umum, hak
dan jaminan keamanan perang, perlakuan tawanan perang, harta rampasan perang,
dan masalah perdamaian (Pulungan, 2002. hal:41).
A. Pengertian Fiqh Siyâsah
Kata “fiqh siyâsah” yang tulisan bahasa Arabnya
adalah “الفقه السياسي” berasal dari dua
kata yaitu kata fiqh (الفقه) dan yang kedua adalah
al-siyâsî (السياسي).
Kata fiqh secara bahasa adalah faham. Ini
seperti yang diambil dari ayat Alquran {قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول}[1][3],
yang artinya “kaum berkata: Wahai Syu’aib, kami tidak memahami banyak dari apa
yang kamu bicarakan”.[2][4]
Secara istilah, menurut ulama usul, kata fiqh
berarti: {العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية} yaitu “mengerti hukum-hukum syariat yang sebangsa amaliah yang
digali dari dalil-dalilnya secara terperinci
Sedangkan al-siyâsî pula, secara bahasa berasal
dari “ساس –
يسوس – سياسة” yang memiliki arti mengatur (أمر/دبّر), seperti di dalam
hadis: “كان بنو إسرائيل يسوسهم أنبياؤهم أي تتولى أمورهم كما يفعل الأمراء
والولاة بالرعية”, yang berarti: “Adanya Bani Israil itu
diatur oleh nabi-nabi mereka, yaitu nabi mereka memimpin permasalahan mereka
seperti apa yang dilakukan pemimpin pada rakyatnya”. Bisa juga seperti
kata-kata “ساس زيد الأمر أي يسوسه سياسة أي دبره وقام بأمره” yang artinya: “Zaid mengatur sebuah perkara yaitu Zaid
mengatur dan mengurusi perkara tersebut”. Sedangkan kata mashdar-nya yaitu
siyâsah itu secara bahasa bermakna: “القيام على الشيء بما يصلحه” yang artinya “bertindak pada sesuatu dengan apa yang patut
untuknya”.
Apabila digabungkan kedua kata fiqh dan
al-siyâsî maka fiqh siyâsah yang juga dikenal dengan nama siyâsah syar’iyyah
secara istilah memiliki berbagai arti:
1. Menurut Imam
al-Bujairimî: “Memperbagus permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara
memerintah mereka untuk mereka dengan sebab ketaatan mereka terhadap
pemerintahan”.
2. Menurut
Wuzârat al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah bi al-Kuwait: “Memperbagus
kehidupan manusia dengan menunjukkan pada mereka pada jalan yang dapat
menyelamatkan mereka pada waktu sekarang dan akan datang, serta mengatur
permsalahan mereka”.
3. Menurut Imam
Ibn ‘Âbidîn: “Kemaslahatan untuk manusia dengan menunjukkannya kepada jalan
yang menyelamatkan, baik di dunia maupun di akhirat. Siyâsah berasal dari Nabi,
baik secara khusus maupun secara umum, baik secara lahir, maupun batin. Segi
lahir, siyâsah berasal dari para sultan (pemerintah), bukan lainnya. Sedangkan
secara batin, siyâsah berasal dari ulama sebagai pewaris Nabi bukan dari
pemegang kekuasaan”.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas,
terdapat dua unsur penting di dalam Fiqh Siyâsah yang saling berhubungan secara
timbal balik, yaitu: 1. Pihak yang mengatur; 2. Pihak yang diatur. Melihat
kedua unsur tersebut, menurut Prof. H. A. Djazuli, Fiqh Siyâsah itu mirip
dengan ilmu politik, yang mana dinukil dari Wirjono Prodjodikoro bahwa:
Dua unsur penting dalam bidang politik, yaitu
negara yang perintahnya bersifat eksklusif dan unsur masyarakat.
Akan tetapi, jika dilihat dari segi fungsinya,
fiqh siyâsah berbeda dengan politik. Menurut Ali Syariati seperti yang dinukil
Prof. H. A. Djazuli, bahwa fiqh siyâsah (siyâsah syar’iyyah) tidak hanya
menjalankan fungsi pelayanan (khidmah), tetapi juga pada saat yang sama
menjalankan fungsi pengarahan (`ishlâh). Sebaliknya, politik dalam arti yang
murni hanya menjalankan fungsi pelayanan, bukan pengarahan. [Ini juga
dibuktikan dengan definisi politik di dalam Penguin Encyclopedia:
“Political Science: The academic discipline
which describes and analyses the operations of government, the state, and other
political organizations, and any other factors which influence their behaviour,
such as economics. A major concern is to establish how power is exercised, and
by whom, in resolving conflict within society.”
Ternyata, memang di dalam definisi ilmu politik
di sini, tidak disinggung sama sekali tentang kemaslahatan untuk rakyat atau
masyarakat secara umum.
Oleh karena itu, politik yang didasari adat
istiadat atau doktrin selain Islam, yang dikenal dengan siyâsah wadl’iyyah itu
bukanlah fiqh siyâsah, hanya saja selagi siyâsah wadl’iyyah itu tidak
bertentangan dengan prinsip Islam, maka ia tetap dapat diterima.[3][15]
B. Ruang Lingkup Fiqh Siyâsah
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama
dalam menentukan ruang lingkup kajian fiqh siyâsah. Ada yang membagi menjadi
lima bidang. Ada yang membagi menjadi empat bidang, dan lain-lain. Namun,
perbedaan ini tidaklah terlalu prinsipil.
Menurut Imam al-Mâwardî, seperti yang
dituangkan di dalam karangan fiqh siyâsah-nya yaitu al-Ahkâm al-Sulthâniyyah,
maka dapat diambil kesimpulan ruang lingkup fiqh siyâsah adalah sebagai
berikut:[4][16]
1. Siyâsah
Dustûriyyah;
2. Siyâsah
Mâliyyah;
3. Siyâsah
Qadlâ`iyyah;
4. Siyâsah
Harbiyyah;
5. Siyâsah
`Idâriyyah.
Sedangakan menurut Imam Ibn Taimiyyah, di dalam
kitabnya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar’iyyah, ruang lingkup fiqh siyâsah
adalah sebagai berikut:[5][17]
1. Siyâsah
Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah
`Idâriyyah;
3. Siyâsah
Mâliyyah;
4. Siyâsah
Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah.
Sementara Abd al-Wahhâb Khalâf lebih
mempersempitnya menjadi tiga bidang kajian saja, yaitu:[6][18]
1. Siyâsah Qadlâ`iyyah;
2. Siyâsah
Dauliyyah;
3. Siyâsah
Mâliyyah;
Salah satu dari ulama terkemuka di Indonesia,
T. M. Hasbi, malah membagi ruang lingkup fiqh siyâsah menjadi delapan bidang
berserta penerangannya, yaitu:[7][19]
1. Siyâsah
Dustûriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tentang peraturan perundang-undangan);
2. Siyâsah
Tasyrî’iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan tetang penetapan hukum);
3. Siyâsah
Qadlâ`iyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan peradilan);
4. Siyâsah
Mâliyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan ekonomi dan moneter);
5. Siyâsah
`Idâriyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan administrasi negara);
6. Siyâsah
Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah Syar’iyyah (kebijaksanaan hubungan luar negeri
atau internasional);
7. Siyâsah
Tanfîdziyyah Syar’iyyah (politik pelaksanaan undang-undang);
8. Siyâsah
Harbiyyah Syar’iyyah (politik peperangan).
Dari sekian uraian tentang, ruang lingkup fiqh
siyâsah dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian pokok. Pertama (1): politik
perundang-undangan (Siyâsah Dustûriyyah). Bagian ini meliputi pengkajian
tentang penetapan hukum (Tasyrî’iyyah) oleh lembaga legislatif, peradilan
(Qadlâ`iyyah) oleh lembaga yudikatif, dan administrasi pemerintahan
(`Idâriyyah) oleh birokrasi atau eksekutif.[8][20]
Kedua (2): politik luar negeri (Siyâsah
Dauliyyah/Siyâsah Khârijiyyah). Bagian ini mencakup hubungan keperdataan antara
warganegara yang muslim dengan yang bukan muslim yang bukan warga negara. Di
bagian ini juga ada politik masalah peperangan (Siyâsah Harbiyyah), yang
mengatur etika berperang, dasar-dasar diizinkan berperang, pengumuman perang,
tawanan perang, dan genjatan senjata.[9][21]
Ketiga (3): politik keuangan dan moneter
(Siyâsah Mâliyyah), yang antara lain membahas sumber-sumber keuangan negara,
pos-pos pengeluaran dan belanja negara, perdagangan internasional,
kepentingan/hak-hak publik, pajak dan perbankan.[10][22]
Politik Rasulullah Saw di Mekkah
Masa kenabian merupakan masa yang awal dari sejarah Islam, dan semenjak Rasulullah memulai dakwahnya sampai beliau wafat yang dinamakan masa itu dengan masa kenabian atau masa wahyu, mengingat ciri-ciri yang membedakannya dari masa-masa yang lain, adalah masa yang ideal, yang di masa itulah puncak berwujudnya keagungan Islam. Masa kenabian itu, terbagi kepada dua periode yang dipisahkan oleh hijrah. Dalam pada itu tidak ada di antara kedua fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang pertama, adalah sebagai perintis jalan bagi yang kedua.
Di dalam periode yang pertama, timbulah benih masyarakat Islam dan dalam periode inilah ditetapkan dasar-dasar Islam yang pokok. Dalam periode yang kedua, disempurnakan pembentukan masyarakat Islam serta dijelaskan sesuatu yang tadinya dikemukakan secara ringkas (global) dan disempurnakan perundang-undangan dan tata aturan dengan melahirkan prinsip-prinsip baru, serta menerapkan prinsip-prinsip itu ke dalam kenyataan. Dalam periode inilah nampak masyarakat Islam dalam bentuk kemasyarakatan sebagai satu kesatuan yang bergerak menuju kepada satu tujuan.
Hijrah Rasulullah merupakan awal dari mulainya periode kedua dari masa kerasulan beliau. Biasanya disebut dengan Al-Ahad al-Madani atau periode Madinah (Elwa, :19).
Secara umum politik Rasulullah Saw di Mekkah adalah sebagai berikut: Pertama, Mempusatkan gerakan Islam pada satu tempat (Darul Arqam) agar aktivitas dan gerakan dapat berjalan dengan optimal tanpa mendapat gangguan dari kelompok-kelompok lain (Quraisy). Kedua, melakukan hijrah ke Habsy dan Thaif demi menyelamatkan para pengikut dari kekejaman dan penindasan kafir Quraisy, serta menjalin kerjasama dengan pemimpin-pemimpin setempat untuk mendapatkan bala bantuan. Ketiga, mengadakan perjanjian dengan para pemuda Yatsrib (Madinah) di Aqabah I dan II yang esensinya mereka mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah Swt yang ditugaskan untuk menyebarkan pesan-pesan ilahiyah kepada masyarakat.
Masa kenabian merupakan masa yang awal dari sejarah Islam, dan semenjak Rasulullah memulai dakwahnya sampai beliau wafat yang dinamakan masa itu dengan masa kenabian atau masa wahyu, mengingat ciri-ciri yang membedakannya dari masa-masa yang lain, adalah masa yang ideal, yang di masa itulah puncak berwujudnya keagungan Islam. Masa kenabian itu, terbagi kepada dua periode yang dipisahkan oleh hijrah. Dalam pada itu tidak ada di antara kedua fase itu perbedaan yang tegas bahkan periode yang pertama, adalah sebagai perintis jalan bagi yang kedua.
Di dalam periode yang pertama, timbulah benih masyarakat Islam dan dalam periode inilah ditetapkan dasar-dasar Islam yang pokok. Dalam periode yang kedua, disempurnakan pembentukan masyarakat Islam serta dijelaskan sesuatu yang tadinya dikemukakan secara ringkas (global) dan disempurnakan perundang-undangan dan tata aturan dengan melahirkan prinsip-prinsip baru, serta menerapkan prinsip-prinsip itu ke dalam kenyataan. Dalam periode inilah nampak masyarakat Islam dalam bentuk kemasyarakatan sebagai satu kesatuan yang bergerak menuju kepada satu tujuan.
Hijrah Rasulullah merupakan awal dari mulainya periode kedua dari masa kerasulan beliau. Biasanya disebut dengan Al-Ahad al-Madani atau periode Madinah (Elwa, :19).
Secara umum politik Rasulullah Saw di Mekkah adalah sebagai berikut: Pertama, Mempusatkan gerakan Islam pada satu tempat (Darul Arqam) agar aktivitas dan gerakan dapat berjalan dengan optimal tanpa mendapat gangguan dari kelompok-kelompok lain (Quraisy). Kedua, melakukan hijrah ke Habsy dan Thaif demi menyelamatkan para pengikut dari kekejaman dan penindasan kafir Quraisy, serta menjalin kerjasama dengan pemimpin-pemimpin setempat untuk mendapatkan bala bantuan. Ketiga, mengadakan perjanjian dengan para pemuda Yatsrib (Madinah) di Aqabah I dan II yang esensinya mereka mengakui Muhammad sebagai Nabi dan Rasul Allah Swt yang ditugaskan untuk menyebarkan pesan-pesan ilahiyah kepada masyarakat.
Politik Rasulullah Saw di Madinah
Penduduk kota Yatsrib terdiri atas bangsa Arab dan Yahudi. Suku-suku arab terkemuka adalah Aus dan Khazraj yang bermigrasi dari Arabia Selatan (Yaman) di samping suku Arab Pribumi. Sedangkan golongan Yahudi mempunyai dua puluh suku yang menetap di wilayah itu dan sekitarnya. Seperti Taima’, Khaibar, dan Fadak. Mereka adalah Yahudi imigran yang terusir dari Palestina oleh Jenderal Titus dan Kerajaan Romawi Timur. Dengan demikian, masyarakat Yahudi dari segi etnis bercorak majemuk. Begitu juga dari segi keyakinan dan agama. Komunitas Yahudi beragama Yahudi, komunitas Arab terdiri atas penganut Paganisme (musyrik), Yahudi dan Kristen minoritas dikalangan bangsa Arab. Heteroginitas bertambah kompleks setelah sebagian orang Arab memeluk Islam (disebut kaum Anshar) dan Nabi Muhammad Saw bersama pengikutnya (Muhajirin) berhijrah ke kota itu serta muncul pula golongan baru, yaitu golongan munafik yang sering berperilaku sebagai provokator (Pulungan, 2001: 16).
Masyarakat yang bercorak pluralistik seperti Yastrib di atas menyebabkan setiap golongan memiliki cara berfikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya menurut filosofi hidupnya yang dipengaruhi oleh keyakinan, kultur, dan tuntutan situasi. Karakter manusia yang demikian menyebabkan mudah timbul konflik. Karena masyarakat yang terdiri atas beberapa komunitas mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya sehingga cenderung terjadi konflik dalam mewujudkan kepentingan.
Nabi Muhammad Saw sangat memahami corak masyarakat Yatsrib yang mempunyai potensi timbulnya konflik. Karena itu, Nabi Muhammad Saw mengadakan penataan dan pengendalian sosial untuk mengatur hubungan antar golongan dalam kehidupan ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Untuk itu ia melakukan tiga langkah politik. Pertama, membangun masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah, pusat pengajaran dan penyiaran Islam, pembinaan akhlak dan kultur umat Islam dan sarana mempererat ikatan di antara sesama jamaah. Berdirinya Masjid juga menjadi tonggak terbentuknya masyarakat Islam serta merupakan titik awal pembangunan kota. Sebagai pemimpin masyarakat Nabi Muhammad sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan perdagangan. Pembangunan jalan serta tempat khusus untuk mempermudah transaksi perdagangan. Sehingga akhirnya Madinah tampil sebagai salah satu kota besar sekaligus pusat perdagangan di Jazirah Arabia (Yatim, 2002: 119-120). Kedua, mewujudkan persaudaraan nyata dan efektif antara kaum Muhajirin dan Anshar. Ketiga, ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah dengan cara membuat perjanjian tertulis yang menekankan pada persatuan yang erat di antara kaum muslimin dan Yahudi serta sekutunya dalam kehidupan sosial politik (Pulungan, 2001: 17-18).
Penduduk kota Yatsrib terdiri atas bangsa Arab dan Yahudi. Suku-suku arab terkemuka adalah Aus dan Khazraj yang bermigrasi dari Arabia Selatan (Yaman) di samping suku Arab Pribumi. Sedangkan golongan Yahudi mempunyai dua puluh suku yang menetap di wilayah itu dan sekitarnya. Seperti Taima’, Khaibar, dan Fadak. Mereka adalah Yahudi imigran yang terusir dari Palestina oleh Jenderal Titus dan Kerajaan Romawi Timur. Dengan demikian, masyarakat Yahudi dari segi etnis bercorak majemuk. Begitu juga dari segi keyakinan dan agama. Komunitas Yahudi beragama Yahudi, komunitas Arab terdiri atas penganut Paganisme (musyrik), Yahudi dan Kristen minoritas dikalangan bangsa Arab. Heteroginitas bertambah kompleks setelah sebagian orang Arab memeluk Islam (disebut kaum Anshar) dan Nabi Muhammad Saw bersama pengikutnya (Muhajirin) berhijrah ke kota itu serta muncul pula golongan baru, yaitu golongan munafik yang sering berperilaku sebagai provokator (Pulungan, 2001: 16).
Masyarakat yang bercorak pluralistik seperti Yastrib di atas menyebabkan setiap golongan memiliki cara berfikir dan bertindak sendiri dalam mewujudkan kepentingannya menurut filosofi hidupnya yang dipengaruhi oleh keyakinan, kultur, dan tuntutan situasi. Karakter manusia yang demikian menyebabkan mudah timbul konflik. Karena masyarakat yang terdiri atas beberapa komunitas mempunyai perbedaan kepentingan yang tajam dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya sehingga cenderung terjadi konflik dalam mewujudkan kepentingan.
Nabi Muhammad Saw sangat memahami corak masyarakat Yatsrib yang mempunyai potensi timbulnya konflik. Karena itu, Nabi Muhammad Saw mengadakan penataan dan pengendalian sosial untuk mengatur hubungan antar golongan dalam kehidupan ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Untuk itu ia melakukan tiga langkah politik. Pertama, membangun masjid yang berfungsi sebagai tempat beribadah, pusat pengajaran dan penyiaran Islam, pembinaan akhlak dan kultur umat Islam dan sarana mempererat ikatan di antara sesama jamaah. Berdirinya Masjid juga menjadi tonggak terbentuknya masyarakat Islam serta merupakan titik awal pembangunan kota. Sebagai pemimpin masyarakat Nabi Muhammad sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan perdagangan. Pembangunan jalan serta tempat khusus untuk mempermudah transaksi perdagangan. Sehingga akhirnya Madinah tampil sebagai salah satu kota besar sekaligus pusat perdagangan di Jazirah Arabia (Yatim, 2002: 119-120). Kedua, mewujudkan persaudaraan nyata dan efektif antara kaum Muhajirin dan Anshar. Ketiga, ditujukan kepada seluruh penduduk Madinah dengan cara membuat perjanjian tertulis yang menekankan pada persatuan yang erat di antara kaum muslimin dan Yahudi serta sekutunya dalam kehidupan sosial politik (Pulungan, 2001: 17-18).
Ibn ‘Arabi dalam Sorotan
Tasawuf merupakan salah satu labirin dari
berbagai dimensi keberagamaan. Sering diperhadapkan dengan syariat yang lebih
berorientasi pada fomalisme beragama, tasawuf merupakan sebuah upaya menyelami
relung terdalam religiusitas.
Karenanya, tasawuf setidaknya terbentuk karena
dua modus: (1) untuk mendalami dan menyelami makna agama, dan (2) untuk mencari
nilai-nilai dan format-format baru dalam beragama. Meski, respon sosial-politik
terhadap lahirnya sufisme juga tak bisa kita abaikan begitu saja.
Jamak dimafhumi, bahwa dunia tasawuf dikejutkan sekaligus diramaikan oleh kehadiran sosok sufi yang sangat kontroversial, Ibn ‘Arabi. Kekhasannya terletak pada ikhtiar menggabungkan antara imajinasi, rasio, dan religi, sehingga menghasilkan buah pemikiran yang nyentrik, dan karenanya keselamatan nyawa pun menjadi ancaman baginya.
Karya masterpiece-nya, al-Futuhat al-Makiyyah, dianggap sebagai referensi utama kajian tasawuf Islam. Dilahirkan pada 17 Ramadhan H (bertepatan dengan 28 Juli 1165 M), di Murcia, Andalusia (Spanyol). Ibn ‘Arabi tumbuh dalam lingkungan spiritual yang kental. Ini yang mendorongnya untuk belajar agama sejak usia masih belia. Ia belajar ilmu fikih, hadis, qiraat, dan ilmu-ilmu lain dari para guru besar di zamannya.
Karyanya mencapai 400 buku dan artikel pendek. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa karyanya mencapai 1000 buku dan artikel. Ciri khas yang bisa ditemukan dalam karyanya adalah tema tasawuf dan ilmu relung hati (‘ilm al-asrar).
Menurut Ibn ‘Arabi, ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh orang yang mempelajari tasawuf: lapar, kurang tidur, tidak banyak bicara, mengisolasi diri, jujur, tawakal, sabar, tekun, dan yakin. Sementara yang harus ditolak dalam tasawuf adalah empat hal: hasrat, dunia, nafsu, dan setan.
Pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi dipengaruhi oleh rangkaian panjang pergulatan tradisi yang melingkupi zaman dan lingkungannya. Mulai dari tradisi Timur, hellenistik, Persia, India, Yunani, Kristen, hingga tradisi Yahudi. Tak heran, bila pemikirannya bersifat eklektis dan justru lebih bersifat filosofis ketimbang islami.
Buku Ibn ‘Arabi dalam Sorotan: Menyingkap Kode & Menguak Simbol di Balik Paham Wihdat al-Wujud, adalah sebuah buku yang mencoba memotret sosok Ibn ‘Arabi secara menyeluruh, namun ringkas dan bernas, dalam berbagai dimensi pemikirannya. Potret Ibn ‘Arabi dilihat dari berbagai faktor dan pengaruh yang berkontribusi bagi lahirnya pemikirannya.
Diawali dengan pro-kontra dan kritik di seputar karya-karyanya, kemudian pembahasan mengenai berbagai buah tangan yang lahir dari pemikirannya, serta tema-tema penting seputar pemikirannya yang sering diperbincangkan dan diperdebatkan. Lantas, diakhiri oleh penilaian dan pandangan Ibnu Taimiyyah terhadap sosok Ibn ‘Arabi. Dan, sebagai penutup, dicantumkan beberapa nukilan hikmah yang terdapat dalam karya besar Ibn ‘Arabi: al-Futuhat al-Makkiyyah.
Ibn ‘Arabi menjadi orang pertama yang meletakkan dasar-dasar aliran wahdatul wujud. Dalam kritiknya, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa mazhab Ibn ‘Arabi, secara esensial, mengatakan bahwa makhluk itu “sama” dengan keberadaan al-Khaliq. Implikasinya, penyembahan kaum Musa terhadap anak sapi (‘ijl) misalnya, sama dengan penyembahan kepada Allah. Penyembahan berhala juga sama dengan penyembahan kepada Allah.
Maka, menanggapi pemikiran Ibn ‘Arabi yang kontroversial dan melawan mainstream itu, setidaknya ada tiga pendapat terhadap Ibn ‘Arabi. Satu golongan berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi adalah orang yang infidel (kafir). Sebagian lain menganggapnya sebagai orang yang mencapai makrifat, sementara golongan terakhir bersikap netral atau abstein.
Ya, buku Ibn ‘Arabi dalam Sorotan, setidaknya dapat menjadi pengantar yang jenial, bagi siapa saja yang ingin memasuki alam pikiran Ibn ‘Arabi yang dikelompokkan dalam aliran tasawuf-filosofis itu, yang penuh dengan gagasan-gagasan yang mengejutkan. Testriono
Jamak dimafhumi, bahwa dunia tasawuf dikejutkan sekaligus diramaikan oleh kehadiran sosok sufi yang sangat kontroversial, Ibn ‘Arabi. Kekhasannya terletak pada ikhtiar menggabungkan antara imajinasi, rasio, dan religi, sehingga menghasilkan buah pemikiran yang nyentrik, dan karenanya keselamatan nyawa pun menjadi ancaman baginya.
Karya masterpiece-nya, al-Futuhat al-Makiyyah, dianggap sebagai referensi utama kajian tasawuf Islam. Dilahirkan pada 17 Ramadhan H (bertepatan dengan 28 Juli 1165 M), di Murcia, Andalusia (Spanyol). Ibn ‘Arabi tumbuh dalam lingkungan spiritual yang kental. Ini yang mendorongnya untuk belajar agama sejak usia masih belia. Ia belajar ilmu fikih, hadis, qiraat, dan ilmu-ilmu lain dari para guru besar di zamannya.
Karyanya mencapai 400 buku dan artikel pendek. Bahkan, ada yang menyebutkan bahwa karyanya mencapai 1000 buku dan artikel. Ciri khas yang bisa ditemukan dalam karyanya adalah tema tasawuf dan ilmu relung hati (‘ilm al-asrar).
Menurut Ibn ‘Arabi, ada beberapa hal yang harus dimiliki oleh orang yang mempelajari tasawuf: lapar, kurang tidur, tidak banyak bicara, mengisolasi diri, jujur, tawakal, sabar, tekun, dan yakin. Sementara yang harus ditolak dalam tasawuf adalah empat hal: hasrat, dunia, nafsu, dan setan.
Pemikiran tasawuf Ibn ‘Arabi dipengaruhi oleh rangkaian panjang pergulatan tradisi yang melingkupi zaman dan lingkungannya. Mulai dari tradisi Timur, hellenistik, Persia, India, Yunani, Kristen, hingga tradisi Yahudi. Tak heran, bila pemikirannya bersifat eklektis dan justru lebih bersifat filosofis ketimbang islami.
Buku Ibn ‘Arabi dalam Sorotan: Menyingkap Kode & Menguak Simbol di Balik Paham Wihdat al-Wujud, adalah sebuah buku yang mencoba memotret sosok Ibn ‘Arabi secara menyeluruh, namun ringkas dan bernas, dalam berbagai dimensi pemikirannya. Potret Ibn ‘Arabi dilihat dari berbagai faktor dan pengaruh yang berkontribusi bagi lahirnya pemikirannya.
Diawali dengan pro-kontra dan kritik di seputar karya-karyanya, kemudian pembahasan mengenai berbagai buah tangan yang lahir dari pemikirannya, serta tema-tema penting seputar pemikirannya yang sering diperbincangkan dan diperdebatkan. Lantas, diakhiri oleh penilaian dan pandangan Ibnu Taimiyyah terhadap sosok Ibn ‘Arabi. Dan, sebagai penutup, dicantumkan beberapa nukilan hikmah yang terdapat dalam karya besar Ibn ‘Arabi: al-Futuhat al-Makkiyyah.
Ibn ‘Arabi menjadi orang pertama yang meletakkan dasar-dasar aliran wahdatul wujud. Dalam kritiknya, Ibnu Taimiyyah mengemukakan bahwa mazhab Ibn ‘Arabi, secara esensial, mengatakan bahwa makhluk itu “sama” dengan keberadaan al-Khaliq. Implikasinya, penyembahan kaum Musa terhadap anak sapi (‘ijl) misalnya, sama dengan penyembahan kepada Allah. Penyembahan berhala juga sama dengan penyembahan kepada Allah.
Maka, menanggapi pemikiran Ibn ‘Arabi yang kontroversial dan melawan mainstream itu, setidaknya ada tiga pendapat terhadap Ibn ‘Arabi. Satu golongan berpendapat bahwa Ibn ‘Arabi adalah orang yang infidel (kafir). Sebagian lain menganggapnya sebagai orang yang mencapai makrifat, sementara golongan terakhir bersikap netral atau abstein.
Ya, buku Ibn ‘Arabi dalam Sorotan, setidaknya dapat menjadi pengantar yang jenial, bagi siapa saja yang ingin memasuki alam pikiran Ibn ‘Arabi yang dikelompokkan dalam aliran tasawuf-filosofis itu, yang penuh dengan gagasan-gagasan yang mengejutkan. Testriono
Piagam Madinah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas
Piagam Madinah (Bahasa Arab:
صحیفة
المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan
sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi
Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan
semua suku-suku dan kaum-kaum penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada
tahun 622.[1][2] Dokumen
tersebut disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan
pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah.
Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bagi kaum Muslim,
kaum Yahudi, dan
komunitas-komunitas pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu
kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, Bahasa Persia: محمد فارابی ) atau Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzalagh al-Farabi), juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir adalah seorang filsuf Islam yang menjadi salah satu ilmuwan dan filsuf terbaik di zamannya. Ia berasal dari Farab, Kazakhstan. Sampai umur 50, ia tetap tinggal di Kazakhstan. Tetapi kemudian ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun. Lalu ia pergi ke Alepo (Halib), Suriah untuk mengabdi kepada sang raja di sana.
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang sangat ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Ia dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik.
Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara. Setelah mendapat pendidikan awal, Al_farabi belajar logika kepada orang Kristen Nestorian yang berbahasa Suryani, yaitu Yuhanna ibn Hailan. Pada masa kekhalifahan Al-Muta'did (892-902M), Al-farabi dan Yhanna ibn Hailan pergi ke Baghdad dan Al-farabi unggul dalam ilmu logika. Al-Farabi selanjutnya banyak memberi sumbangsihnya dalam penempaan filsafat baru dalam bahasa Arab. Pada kekahlifahan Al-Muktafi (902-908M) dan awal kekhalifahan Al-Muqtadir (908-932M) Al-farabi dan Ibn Hailan meninggalkan Baghdad menuju Harran. Dari Baghdad Al-Farabi pergi ke Konstantinopel dan tinggal di sana selama dealapan tahun serta mempelajari seluruh silabus filsafat.
Al-Farabi dikenal sebagai "guru kedua" setelah Aristoteles. Dia adalah filosof islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Karyanya yang paling terkenal adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama)yang membahas tetang pencapaian kebahagian melalui kehidupan politik dan hubungan antara rezim yang paling baik menurut pemahaman Plato dengan hukum Ilahiah islam. Filsafat politik Al-Farabi, khususnya gagasannya mengenai penguasa kota utama mencerminkan rasionalisasi ajaran Imamah dalam Syi'ah.
AL MAWARDI : PENCETUS TEORI POLITIK ISLAM
Di masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, khazanah
intelektualisme mengalami kemajuan yang sangat berarti. Bahkan sebagian
kalangan menilai, zaman itu sebagai salah satu tonggak kebangkitan peradaban
Islam dan keemasan keilmuan. Salah satu tokoh ilmuwan dan pelopor kemajuan itu
adalah Al Mawardi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). “Al Khatib of Baghdad” tulis seorang orientalis.
Ulama penganut Mazhab Syafi’i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi’i terkenal kala itu.
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku AlAhkaamAlShultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘’negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa’i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.’
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.
Sejarah Islam mencatat Al Mawardi sebagai pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam. Tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini juga menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). “Al Khatib of Baghdad” tulis seorang orientalis.
Ulama penganut Mazhab Syafi’i ini bernama lengkap Abu Al Hasan Ali bin Habib Al Mawardi. Lahir di kota pusat peradaban Islam klasik, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M, Al Mawardi menerima pendidikan pertamanya di kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum Mazhab Syafi’i terkenal kala itu.
Kemudian, ia pindah ke Baghdad melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusasteraan dari Abdullah al Bafi dan Syekh Abdul Hamid al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika, dan sastra.
Sebagai seorang penasihat politik, Al Mawardi menempati kedudukan yang penting di antara sarjana-sarjana Muslim. Dia diakui secara universal sebagai salah seorang ahli hukum terbesar pada zamannya. Al Mawardi mengemukakan fiqh Mazhab Syafi’i dalam karya besarnya Al Hawi, yang dipakai sebagai buku rujukan tentang hukum Mazhab Syafi’i oleh ahli-ahli hukum di kemudian hari, termasuk Al Isnavi yang sangat memuji karya tersebut. Buku Al Mawardi ini terdiri 8.000 halaman, kemudian ia ringkas dalam 40 halaman berjudul Al Iqra.
Pemikiran
Menelaah pemikiran Al Mawardi, bisa dikatakan cukup dengan membaca karya besarnya, yakni Al Ahkaam Al Shultoniyah (Hukum dan Prinsip Kekuasaan), yang menjadi master piece-nya. Meskipun ia juga menulis beberapa buku lainnya, namun dalam buku AlAhkaamAlShultoniyah inilah pokok pemikiran dan gagasannya menyatu.
Dalam magnum opusnya ini, termuat prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran yang sangat maju, bahkan sampai kini sekalipun. Dalam buku ini misalnya, dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala‘’negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana.
Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa’i dan ghanimah (harta peninggalan dan pampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.
Baginya, imam (yang dalam pemikirannya adalah seorang raja, presiden, sultan) merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.
Lantas bagaimana ketentuan seorang imamah yang dianggap legal? Dalam hal ini, Al-Mawardi menjelaskan, jabatan imamah (kepemimpinan) dinilai sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqth). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai, atau juga disebut model `Al Ikhtiar.’
Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, Al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar As Shiddiq.
Dalam pandangan Al-Mawardi, negara adalah sebuah kesatuan komunitas yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki otoritas penuh, baik yang didapat lewat proses suksesi maupun proses pemilihan. Hubungan antara pemimpin negara (khalifah) dan warganya, dalam kaitan ini adalah, hubungan kontrak yang diikat dalam sebuah baiat. Baiat penguasa bisa dilakukan secara umum di hadapan seluruh rakyat maupun dilakukan di depan para majelis syura (wakil rakyat) yang juga dikenal sebagai lembaga pengangkat dan pembubar.
Dalam masalah pemecatan seorang khalifah, A1-Mawardi menyebutkan dua hal yang mengubah kondite dirinya, dan karenanya ia harus mundur dari jabatannya itu. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan akibat syahwat, atau akibat syubhat. Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindera (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).
Selain itu, juga cacat organ tubuh, dan cacat tindakan. Sedangkan cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.
Berkaitan dengan masalah jihad, Al-Mawardi menegaskan, selain perintah jihad kepada orang kafir, jihad dibagi menjadi tiga bagian: jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (dikenal juga sebagai bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan. Bila kita cermati, pembagian versi Al-Mawardi ini selalu tersangkut-paut dengan politik kekuasaan, alias mengalami reduksi dari maknanya yang luas.
Dalam hubungannya jihad terhadap mereka yang murtad, Al-Mawardi membagi dua kondisi. Pertama, mereka berdomisili di negara Islam dan tidak memiliki wilayah otonom. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak berhak diperangi, melainkan perlu diteliti latar belakang keputusannya untuk kemudian diupayakan bertobat. Kedua, mereka memiliki wilayah otonom di luar wilayah Islam. Mereka wajib diperangi.
Soal jihad melawan pemberontak, ia menulis,
“Jika salah satu kelompok dari kaum Muslimin memberontak, menentang pendapat
(kebijakan) jamaah kaum Muslimin lainnya, dan menganut pendapat yang mereka
ciptakan sendiri; jika dengan pendapatnya itu mereka masih taat kepada sang
imam, tidak memiliki daerah otonom di mana mereka berdomisili di dalamnya,
mereka terpencar yang memungkinkan untuk ditangkap, berada dalam jangkauan
negara Islam, maka mereka dibiarkan, tidak diperangi, kewajiban dan hak mereka
sama dengan kaum Muslimin lainnya.”
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Terbaik
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi’i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna’. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ’tab Al Igna’, dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang ‘perumpamaan’ dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, “Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu ‘ibarat’ atau ‘umpama’.” []
Dalam banyak hal, khususnya dalam konteks demokrasi dan politik modern, sulit rasanya menerapkan konsep dan pemikiran Al-Mawardi secara penuh. Barangkali, hanya beberapa bagian, semisal dalam masalah kualifikasi dan pengangkatan seorang imam, juga masalah pembagian kekuasaan di bawahnya. Namun demikian, wacana yang dilontarkan Al-Mawardi ini sangat berbobot ketika diletakkan sebagai antitesis dari kegagalan teori demokrasi, dan sumbangan khazanah berharga bagi perkembangan politik Islam modern.
Bahkan, harus diakui pula bahwa pemikiran dan gagasannya memiliki pengaruh besar atas penulis-penulis generasi selanjutnya, terutama di negeri-negeri Islam. Pengaruh ini misalnya, terlihat pada karya Nizamul Mulk Tusi, yakni Siyasat Nama, dan Prolegomena karya Ibnu Khaldun. Khaldun, yang diakui sebagai peletak dasar sosiologi, dan pengarang terkemuka mengenai ekonomi politik tak ragu lagi telah melebihi A1-Mawardi dalam banyak hal.
Setelah seluruh hayatnya diabdikan untuk dunia ilmu dan kemaslahatan umat, Sang Khaliq akhirnya memanggil Al-Mawardi untuk selamalamanya pada 1058 M, dalam usia 83 tahun.
Terbaik
Pada tahun 1037 M, khalifah Al Qadir mengundang empat orang ahli hukum mewakili keempat mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). Mereka diminta menulis sebuah buku fikih. Al-Mawardi terpilih untuk menulis buku fikih Mazhab Syafi’i.
Setelah selesai, hanya dua orang yang memenuhi permintaan khalifah sesuai yang diharapkan, yakni Al Quduri dengan bukunya Al Mukhtashor (Ringkasan), dan Al Mawardi dengan kitabnya Kitab Al Igna’. Khalifah memuji karya Al-Mawardi sebagai yang terbaik, dan menyuruh para penulis kerajaan untuk menyalinnya, lalu menyebarluaskannya ke seluruh perpustakaan Islam di wilayah kekuasaannya.
Selain kedua karyanya itu, yakni IÚ’tab Al Igna’, dan Al Ahkaam al Shultoniyah, Al-Mawardi yang sejak kecil bercita-cita menjadi pegawai negeri ini juga menulis buku Adab al Wazir (Etika Menteri), Siyasat al Malik (Politik Raja), Tahsil un Nasr wat Tajit uz Zafar (Memudahkan Penaklukan dan Mempercepat Kemenangan). Al Ahkam al Shultonlyah telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Italia, Indonesia, dan Urdu.
Al Mawardi juga menulis buku tentang ‘perumpamaan’ dalam Al-Quran, yang menurut pendapat Imam As Suyuthi, merupakan buku pertama dalam soal ini. Menekankan pentingnya buku ini, Al-Mawardi menulis, “Salah satu dari ilmu Quran yang pokok adalah ilmu ‘ibarat’ atau ‘umpama’.” []
Gagasan-gagasan Ilmu Ushul Fiqh AL-GHOZALI
Karya-karya Ghazali
telah banyak diedit oleh banyak para ulama, baik ulama yang sezaman maupun
ulama belakangan. Fenomena ini merupakan indikasi bahwa
karya-karya Ghazali mempunyai makna yang sangat berarti bagi kalangan intelektual.
Bahkan belakangan muncul karya-karya ilmiah berkenaan dengan rihlah
ilmiah selama Ghazali hidup, seperti yang ditulis oleh Abdurrahman Badawi.
Beberapa karya yang telah diedit, dielaborasi atau diringkas antara lain
dalam bidang ushul fiqh. Dari empat karya ushul fiqh Ghazali, hanya tiga buku
yang sempat diperbanyak oleh para penulis muslim, yakni al-Mankhul, Syifa
al-Galul, dan al-Mustasyfa min Ilm al-Ushul.
Al-Mustashfa min Ilm
al-Ushul
Sebagai salah satu karya besar Ghazali, kitab ini ditulis pada masa
akhir hayatnya, yakni setelah Ghazali kembali dari Baghdad ke temapt asalnya,
Tus. Meskipun sebelum sampai Tus, Ghazali lebih dulu merantau Naisabur.25)
Diberbagai tempat perantauannya selama di Baghdad, Ghazali banyak mempelajari
ilmu filsafat, khususnya mengkaji filsafat Ibn Sina dan al Farabi, serta
karya-karya Aristoteles. Baginya filsafat merupakan salah satu metode untuk
mencari kebenaran yang rasionalis. Namun setelah Ghazali mendalami filsafat
secara penuh, Ghazali memberikan kritik-kritik tajam terhadap filosuf yang
kerangka fikirnya melenceng, dengan karyanya Maqhashid al-Faiasifah dan Tahaful
al-Falasifah.
Dengan latar belakang filsafat yang mapan, mainstream pemikiran
Ghazali bertambah dinamis. Dalam bidang pemikiran hukum Islam (ushul fiqh),
warna filsafatnya lebih dominan bila dibandingkan dengan sebelum Ghazali
bergelimang dengan ilmu filsafat. Corak kitab al-Mustashfa banyak dipengaruhi
oleh filsafat.26) Bahkan dalam satu tulisannya Ghazali menyatakan
barang siapa yang tidak menggunakan mantiq, maka ilmunya tidak tsiqah
(tajam).
Sistematika penulisan kitab al-Mustashfa min ilm Ushul Ghazali
dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu : tsamrah (al ahkam), al mutsmir
(adillar al-ahkam), turuq al-istismar (wajhu al-isridlal), dan al-mustatsmir
(al-mujtahid). Empat pokok kajian yang ada dalam al-Mustafshfa, ia
disebut al-aqtab al arba’ah.
Dalam qatb yang pertama (al-tsamrah) ini berisi tentang
hukum wadh’i, taklift rukhshah, azimah dan berbagai permasalahan
yang terkait. Yang kedua (al-mutsmir), meliputi pembahasan dasar hukum
al-kitab, as-Sunnah dan ijma’. Sedangkan untuk al-qutb yang ketiga berisi
tentang cara-cara istidlal. Atau dengan kata lain bagaimana sebuah hukum
itu dibuat dielaborasi dari dalil-dalil yang pasti, dengan dua cara; pertama
dengan cara kebahasaan dan kedua dengan memahami konteks al-isyarah, al-mafhum
dan lain-lain. Dan yang terakhir adalah tentang al-mustasmir. Qutb ini
berisi ijtihad mujtahid dan lain-lain yang berkaitan dengan ijtihad.27)
Sistematika penulisan yang demikian ini sesuai dengan tahapan
aspek-aspek kajian dalam ushul fiqh yang harus diketahui oleh orang yang akan
melakukan pencarian hukum (istinbath al-ahkam). Disini keunggulan
Ghazali dalam menyusun materi kajian dalam sebuah kitab ilmiah. Bahkan Wael B.
Haliaq sangat kagum dengan kajian yang dilakukan Ghazali dalam menjelaskan
ushul fiqh yang sangat sistematis. Dalam sebuah tulisannya Hallaq pernah
menyatakan bahwa Ghazali adalah tokoh pendiri ilmu ushul al-fiqh ternyata
karyanya al-Risalah sudah banyak ditamu oleh para pengikutnya.28)
Memang dapat dimaklumi bila dalam kitab al-Mustashfa Ghazali
kelihatan lebih independen dari pengaruh luar, karena ia sudah menjadi penulis
yang mandiri (Imam Mustaqillan) yang mempunyai kecenderungan kritis. Imam
Haramain yang pernah ikut membentuk pola pikir Ghazali juga mulai ditinggalkan.
Ghazali ingin mencari trade mark sendiri sesuai dengan kualitas dan
integritas kepribadiannya.
Dari keterangan diatas dapat dimengerti bahwa kitab al-Mustashfa ini
mencerminkan nilai-nilai pemikiran al-Ghazali yang cerdas. Untuk itu dalam
kitab ini Ghazali tidak mengambil atau mengintrodusir ide-ide para ulama
pendahulunya. Beberapa pola yang mengindikasikan kepribadiannya dalam kitab ini
adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan kepribadiannya
dalam kitabini adalah penggunaan beberapa kata yang dipakai dalam mengungkapkan
pendapat dirinya; wa al-mukhtar indana (pendapat yang terpilih menurut
saya), wa shalih indana (pendapat yang benar menurut saya), dan wa
hadza ghairu mardiyyin indana (pendapat ini yang menurut saya tidak layak).
Penutup
Mengakhiri tulisan ini, ada beberapa catatan akhir yang mesti harus
diperhatikan dengan pokok masalah yang diangkat. Pertama, dua tulisan Ghazali
yang pertama, al-Mankhul dan Syifa al-Ghalil, Ditulis sebelum
Ghazali memperdalam ilmu filsafat, yakni sebelum Ghazali mengadakan rihlah
ilmiah di Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Dengan kondisi Ghazali yang masih
pemula maka dua kitab yang pertama kali dikarang lebih diharapkan untuk
mempermudah dalam mengkaji ilmu ushul fiqh, yang diperoleh dari para ulama
ushul terdahulu. Untuk itu bahasa yang dipakai juga menggunakan bahasa yang
mudah dan lugas. Bahkan dalam kitab al-Mankhul, Ghazali menggunakan sistematika
penulisan dengan cara tanya jawab yang dijawab sendiri oleh Ghazali.
Disamping itu Ghazali sebagai murid Imam Haramain masih banyak
mengintrodusir apa yang pernah disampaikan Imam Haramain khususnya dalam hampir
sama dengan al-Burhan fi Ilm ushul fiqh. Materi yang dibahas dalam al-Mankhul
dari dua jilid, dibagi menjadi tujuh kitab yaitu : kitab pertama tentang
al-bayan (alkitab dan assunah) yang meliputi pembahasan tentang amr, hani, amm,
khash, af’al Rasul, Syari'ah, ta’wil serta hal-hal yang berkaitan dengan ijma’.
Ketiga tentang qiyas, yang pada kitab syifa al-Ghalil dijelaskan dengan tuntas
yang meliputi lima syarat-syarat qiyas versi Ghazali. Keempat adalah istidlal. Dilanjutkan
dengan kitab tentang tarjih dan kitab al-Ijtihad. Pada kitab ketujuh yang
terakhir, Ghazali mengakhiri dengan persoalan fatwa.29)
Sedangkan untuk al-Mustashfa min ilm al-ushul dikarang oleh
Ghazali yang sudah tercurahkan yakni telah mendalami ilmu filsafat. Disini
perlu dijelaskan bahwa disaat mendalami ilmu filsafat, bukan berarti Ghazali
sama sekali meninggalkan disiplin ilmu-ilmu yang lain seperti tasawuf, ilmu
fiqih maupun yang lain. Karena sebelum Ghazali belajar filsafatpun, Ghazali kecil
sudah belajar ilmu fiqh maupun ilmu tasawuf.30) Merupakan suatu
kewajaran apabila Ghazali sangat antusias untuk belajar filsafat yang sangat
beragam, juga karena tuntutan ilmiah karena filsafat dalam Islam pasca ibn Sina
(w. 1037) mengalami kemunduran,31) dan baru 1092 Ghazali menulis
percikan tulisan tentang filsafat.
Faktor lain yang mendukung munculnya gagasan baru Ghazali juga karena
sudah tidak ada tokoh yang paling berpengaruh pada Ghazali, Imam Haramain.
Dengan demikian kesempatan Ghazali untuk merefleksikan ide-idenya dalam ushul
fiqh menjadi sebuah kenyataan. Pola yang dikembangkan oleh Ghazali berbeda
dengan karya-karya sebelumnya, sehingga Abdul Wahab Ibrahim Abu Sulaiman maupun
Muhammad Hasan Haitu memasukkan al-Mustashfa dalam rumpun ilmu ushul fiqh yang
empat.32
No comments:
Post a Comment