PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Al-Qur’an
adalah sebuah kitab suci yang mempunyai kesempurnaan isi, segala sesuatu
dijelaskan di dalamnya dan tidak satu pun yang terlupakan. Al-Quran adalah
kitab petunjuk dan pegangan keagamaan yang terjaga dan terpelihara
keotentikannya.[1]
Kesempurnaaan
Al-Qur’an tidaklah berarti memerinci segala aspek vertikal dan horizontal
manusia secara menyeluruh dan absolut kesempurnaanya terletak pada dasar-dasar
pokok dan isyarat-isyaratnya. Keabsolutannya hanyalah terletak pada semua teks
arabnya yang memang benar-benar datang dari Allah SWT, atau dikenaldengan qathi’i
al-wurud.
Akan tetapi, meskipun
demikian tidaklah semua ayat Al-Qur’an mengandung arti jelas (qath’iy
al-dalalah). Banyak diantaranya mengandung arti yang tidak jelas (zhanny
al-dalalah), yang akibatnya menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda.[2]
Menurun Harun Nasution, hal yang diakui sebagai wahyu dalam islam adalah teks
arab Al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad dan jibril. Kalau sudah diubah
susunan kata ataupun diganti kata atau sinonimnya, hal itu tidak lagi wahyu,
tetapi sudah merupakan penafsiran dari ayat Al-Qur’an. Penafsiran bukanlah
wahyu, tetapi adalah hasil ijtihad atau pemikiran manusia. Terjemahan merupakan
salah satu penafsiran ayat yang sesuai dengan kecenderungan penerjemah yang
bersangkutan. Kecenderungan sufi berlainan dengan kecenderungan teolog dan
kecenderungan teolog berlainan pula dengan kecenderungan filosof dan
kecenderungan ahli hukum berlainan dengan sufi dan begitulah seterusnya.[3]
Term qhat’i
dan zhanny ini biasa digunakan dalam ilmu ushul al-fiqh. Term ini
muncul ketika seorang mujtahid dihadapkan kepada masalah yang menyangkut
kandungan kebenaran sumber (wurud dan tsubut) dan yang menyangkut
kandungan makna (dalalah-nya). Pembedaan ini dilakukan dalam upaya
merumuskan dan menentukan aspek apa saja di antara ajaran islam itu yang tidak
dapat dilakukan ijtihad dan aspek apa saja yang masih dapat ata bhkan masih
dilakukan ijtihad terhadapnya. Dengn demikian pembedaan itu sendiri bersifat
ijtihadi.
Sesungguhnya
teks atau nash ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an tidaklah mencegah timbulnya
perbedaan pendapat tentang penafsiran Al-Qur’an yang diambil dari ayat-ayat
tertentu. Hal ini muncul karena arti yang dikandung teks ayat tidak selamanya
bersifa qhat’i atau positif dan tegas. Ada ayat yang bersifat zhanny atau negatif dan tidak tegas, yang membuka
kemungkinan terhadap lebih dari satu arti.
Di samping
itu, secara teoritis pemahaman dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an dapat pula
ditinjau melalui sisi jelas atau tidak jelasnya ayat, yaitu: apakah ayat dalam
bentuk zhahir, nash, mufassar, khafi niusykil, mujmal atau mutasyabih. Kondisi
ayat seperti ini sangat dibutuhkan batasan bagi seorang mufassir untuk dapat
mengetahuinya, mana ayat yang qath’i dan mana ayat yang zhanny,
yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai sasaran penggunaan nalar dalam
penafsirannya.
Di sisi
lain ayat Al-Qur’an juga menjelaskan suatu pengertian yang bersifat ‘ibarat
an-nash, Isyarat al-nash dilalat al-nash, iqtidha al-nash atau pengertian
yang manthuq dan mafhum. Karakteristik ayat seperti ini perlu
diketahui, karena dapat menunjukkan pengertian dari berbagai jalur, sehingga
fleksibilitas penafsiran ayat dapat dibuktikan. Hanya saja yang perlu diketahui
dalam menafsirkan ayat secara relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuaan dan
konstektual harus bersandar pada ruh al-tasyri’-nya. Pedoman ini
diperlukan agar penafsiran tersebut tidak keluar dari prinsip-prinsip yang
mendasar.
B.
RUMUSAN MASALAH
Pada makalah ini penulis dalam
rumusan makalahnya mencoba untuk menjelaskan tentang metode penafsiran
Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
1.
Pentingnya Penafsiran Al-Qur’an secara Ilmiah
bila
diamati, dalam Al-Qur’an dapat ditemukan dua bentuk realitas, yaitu realitas
yang dapat didekati dengan pengalaman empiris melalui eksperimen dan observasi
dan realitas yang berada di luar jangkauan pengalaman inderawi.[4]
Realitas
yang dapat didekati dengan pengalaman empiris memiliki akar teologis dengan
sinyalemen Al-Qur’an tentang ayat-ayat kauniah dan eksistensi individu
dalam masyarakat. Untuk menjabarkan sinyalemen tersebut dan memahami realitas
ini, penalaran mempunyai posisi yang sangat strategis dan menentukan. Di pihak
lain, ada realitas yang berada di luar pengalaman manusia yaitu bagian
metafisik yang lebih memerlukan pendekatan iman. Untuk realitas ini, Al-Qur’an
menggunakan ungkapan al-ghalib.[5]
Muhammad Assad mendefinisikan realitas metafisik sebagai realitas yang berada
di luar persepsi metafisik sebagai realitas yang berada di luar persepsi
manusia dan tidak dapat dibuktikan melalui observasi ilmiah.[6]
Memahami
ayat-ayat yang berhubungan dengan kauniah dan eksistensi manusia dalam
masyarakat tidaklah cukup dengan memerhatikan tefsiran teksnya secara harfiah,
tetapi haruslah melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama ilmu kealaman dan
ilmu-ilmu sosial. Di samping itu, seorang penafsir harus memerhatikan konteks
ayatnya, yaitu situasi dan kondisi yang melingkupinya dan keadaan sosial
kulturalnya. Menurut M. Quraish shihab, paling tidak haruslah diperhatikan
pengetahuan bahasanya, konteks antara kata dan ayat dan sifat penemuan ilmiah.[7]
Disadari bahwa Al-Qur’an tidaklah di turunkan dalam rentangan waktu dan
kondisi yang hampa kultural. Demikian pula, tafsiran-tafsiran yang diberikan
oleh para mufassirin pada masanya terdahulu tidak terlepas dari konteks
zamannya. Penafsiran mufassir sebelum abad ke-20 tidaklah memiliki
konsepsi-konsepsi kebutuhan abad ke-20. Penafsiran yang sudah ada mungkin
menyimpang atau bisa jadi telah menjadi usang.
Perbedaan-perbedaan pendapat pada masa lampau terikat atau terpengaruh
oleh berbagai peristiwa sejarah. Kini, situasinya sudah berubah. Perbedaan
pendapat yang berakar pada kasus-kasus masa lampau haruslah ditinggalkan,
karena kita sekarang sudah berhadapan dengan masalah-masalah yang berbeda. Oleh
karena itu, ajakan untuk kembali kepada Al-Qur’an secara eksplisit dan implisit
menghendaki tafsiran-tafsiran baru yang logis dan realistis.
Penafsiran baru yang dimaksud merupakan perasaan adanya keperluan untuk
melakukan upaya-upaya pembaruan dan penyesuaian dalam penafsiranAl-Qur’an
dengan menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih baik. Usaha ini
merupakan upaya memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan konteksnya, yaitu situasi
dan permasalahan masa kini.
Dengan munculnya berbagai ilmu pengetahuan dan semakin meningkatnya ilmu
pengetahuan tersebut, baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial menuntut kita agar
memahami dan menafsirkan Al-Qur’an tidak hanya harfiah saja, tetapi haruslah
dengan cara pendekatan teoritis. Objek pengamatan yang sama bisa tampak
berbeda, karna perbedaan cara penglihatan atau perbedaan pendekatan teori yang
kita pakai. Hal ini bisa dimengerti sebab teori tersebut akan membentuk
realitas yang diamati. Demikian halnya ketika kita memahami dan menafsirkan
Al-Qur’an yang dianggap sebagai realitas, sebagai wujud ketentuan-ketentuan
tuhan yang pasti dan jelas tertulis.
Indikasi diatas menunjukkan bahwa penafsiran akan berbeda apabila
pendekatan dan teori yang digunakan berbeda. Hasil penafsiran menggunakan
paradigma ilmiah tidaklah sama dengan hasil penafsiran secara harfiah. Untuk
itu, penafsiran Al-Qur’an yang banyak melibatkan disiplin ilmu pengetahuan akan
menghasilkan teori-teori baru dari realitas Al-Qur’an. Dengan realitas ini,
objek pengamatan yang terdapat dalam masyarakat dapat diamati secara lebih
konstektual dan menghasilkan penjelasan-penjelasan yang lebih bisa diterima,
baik yang berhubungan dengan peristiwa sejarah masa lampau maupun keadaan
sekarang.
Bertitik tolak
dari realitas Al-Qur’an sebagai realitas yang dapat didekati melalui pengalaman
empiris sejalan dengan sinyalemen Al-Qur’an tentang ayat-ayat kauniah dan
eksistensi manusia dalam masyarakat,maka sesusungguhnya tepat apabila ayat-ayat
Al-Qur’an ditafsirkan secara ilmiah dan memadukannya secara relevansif dengan
perkembangan ilmu pengetahuan melalui pendekatan analitis interdisipliner dan
kontekstual.
Penafsiran
terhadap Al-Qur’an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa akan mencul
tafsiran baru sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan. Hal ini
relevan dengan karakteristik Al-Qur’an itu sendiri yang mengandung berita masa
silam dan keadaan masa depan. Dengan melakukan penelitian dan pengamatan
terhadap isyarat-isyarat Al-Qur’an akan membuka tabir rahasia-rahasia yang
belum tersentuh oleh generasi sebelumnya. Hakikat ayat sebagai simbol wahyu
yang tampak dan tersurat tidak dapat dipisahkan dengan sesuatu yang tersirat.
Oleh sebab itu, Al-Qur’an sendiri
memperkenalkan konsep tafsir dan ta’wil.
Para ulama
berbeda pendapat tentang tafsir dan ta’wil. Bagi ulama mutaqaddimin, pengertian
ta’wil sama dengan pengertian tafsir. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh Abu
Ubaidah.[8] Mujahid
dan Ibnu jarir al-Thabari jaga menyamakan maksud tafsir dengan ta’wil.
Pendapat yang
telah diuraikan di atas ditolak oleh ulama lain yang mempertegas bahwa antara
ta’wil dan tafsir terdapat perbedaan yang jelas. Pendapat yang terakhir ini
lebih populer dikalangan ulama mutaakhirin. Sebut saja di antaranya al-Raghib
al-Ashfahani. Menurutnya, tafsir mempunyai pengertian lebih umum dan lebih
banyak dipergunakan untuk memahafi lafadz-lafadz dan kosa kata dalam
kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah dan kitab-kitab lainnya. Sedangkan ta’wil
lebih banyak dipergunakan untuk mengungkap makna-makna dan kalimat-kalimat
kitab-kitab yang diturunkan Allah saja.[9]
Al-Maturidy,
berkaitan dengan tafsir mengatakan bahwa tafsir berarti memastikan bahwa
yang dikendaki Allah adalah demikian, sedangkan ta’wil berarti
mentarjihkan satu diantara makna-makna yang memungkinkan oleh lafadz tanpa
memastikan.[10]
Pengertian ini hampir senada dengan isi komentar as-shabuni setelah menelaah berbagai uraian yang
diberikan as-Suyuti dalam kitabnya al-itqan fi ‘Ulumil Al-Qur’an. As-Shabuni
menguti[p pengertian yang simpel dan mendekati kebenaran bahwa “tafsir adalah
penjelasan makna Al-Qur’an yang dhohir (nyata) sedangkan ta’wil adalah
penjelasan para ulama dari ayat yang maknanya tersirat, serta rahasia-rahasia
ketuhanan yang begitu halus, yang terkandung dalam ayat Al-Qur’an. Pendapat ini
jika dicermati bersumber dari pendapat al-Lusi yang menyatakan: “sungguh telah
sering didefisinikan oleh para mufasir dengan tidak mendapat bantahan bahwa
ta’wil mempunyai beberapa pengertian yang mendalam berupa pengetahuan ilahi
yang bersumber dari alam gaib untuk qalbu para ilmuan. Sedang tafsir tidak
demikian.[11]
Meminjam
pendapat al-Bajaly, tafsir banyak berhubungan dengan riwayat, sedang ta’wil banyak
berhubungan dengan dirayat.[12] Senada
dengan ini, Abu Talibal Tsa’laby berpendapat, tafsir adalah menerangkan makna
lafadz, baik makna hakikat maupun majaz, seperti menafsirkan batin lafadz.
Dengan demikian tafsir menerangkan petunjuk yang dikehendaki, sedang ta’wil
menerangkan hakikat yang dikehendaki.[13]
Berdasarkan
berbagai uraian di muka dapat di garis bawahi bahwa tafsir adalah
pengertian lahiriah ayat yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang
dikehendaki Allah. Oleh sebab itu, tafsir kebanyakan diterapkan pada
ayat-ayat muhkamnat (ayat-ayat yangjelas makna-maknanya) dan berhubungan
dengan riwayat yang diterangkan dalam Al-Qur’an dan Al-hadist. Sementara itu,ta’wil
ialah pengertian yang tersirat yang cara pengungkapannya melalui proses istimbat
(perenungan dan pemikiran) dari ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk itu,ta’wil banyak
berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang kurang jalas
maksudnya) dan berhubungan dengan dirayat, yang kebanyakan di istimbatkan oleh
para ulama.
Pembahasan
ta’wil biasanya muncul bila pernyataan nash tidak sejalan atau bertentangan
dengan nash yang lain, nash tidak sejalan dengan logika dan atau kenyataan yang
berkembang di dalam masyarakat. Jika perkembangan kondisi masyarakat ini
dipandang sebagai acuan konsep ta’wil, maka pembahasannya semakin menarik dan
urgen, sebab semakin pesat perkembangan masyarakat makin banyak pula pernyataan
nash yang dikonsepsikan ulama terdahulu tidak lagi simetris dengan beberapa
kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya konsep
ta’wil harus diakui keberadaannya, hanya saja persoalannya kemudian ayat-ayat
mana saja yang bisa dita’wi, apa syarat-syarat ta’wil, siapa saja yang bisa
melakukan ta’wil, apa saja yang bisa dijadikan qarinah di dalam memalingkan
makna dzahir ke makna yang lain dan apa bedanya kajian ta’wil dengan kajian,
lainnya, seperti kajian dzahir dan mutasyabih, ‘am dan khas,
mutlaq dan muqayyad.
Al-Qur’an
memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas,ayat-ayatnya selalu terbuka
untuk menurima interpretasi baru atau pendek kata, penafsirannya tidak pernah
pasti. Oleh sebab itu, sebagaimana dikatakan M. Quraish shihab, kebutuhan akan
penafsiran Al-Qur’an secara ilmiah terasa sanyat mendesak. Hal ini mengingat
sifat redaksi ayat Al-Qur’an yang beragam, yakni ada yang jelas dan rinci dan
ada pula yang samar dan global. Jangankan yang samar, yang jelas sekalipun
masih membutuhkan penafsiran. Hanya dengan mendengarkan ayat-ayatnya yang
dibacakan, atau bahkan membacanya empat atau lima kali saja, amatlah mustahil
diperoleh pemahaman yang sepenuhnya atas kitab suci itu tujuan itu pun bahkan
tidak tercapai kalau kita hanya mengandalkan pemahaman seorang atau satu
generasi saja.[14]
Dengan
memerhatikan indikasi kebutuhan akan penafsiran Al-Qur’an di atas, maka usaha
ke arah penafsiran Al-Quran secara ilmiah sangatlah urgen wujudnya. Penafsiran
secara ilmiah / saintis (tafsir bi al-‘ilmi) adalah sebuah metode
penafsiran Al-Qur’an yang menjelaskan isi ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan
data-data sains. Padanannya, seperti metode penafsiran tekstual yang
mendasarkan penafsiran Al-Qur’an atas hadist dan metode penafsiran rasional
yang mendasarkan penafsiran tersebut atas prolog-prolog rasional.[15] Dengan
kata lain, memanfaatkan ilmu pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan
kandungan ayat-ayat Al-Qur’an adalah salah satu contoh dari usaha penerapan
metode tafsir saintis.
2.
Penerapan Tafsir
secara Ilmiah
Untuk memperkuat penjelasan
tentang model penafsiran secara ilmiah, maka penulis merasa perlu untuk
menghadirkan contoh penerapan model penafsiran ini. Berkaitan dengan hal ini,
kita dapat memerhatikan tafsiran ayat Al-Qur’an yang berbunyi,
والسماء بنيناهابايدوانالموسعون {47}
“Sesungguhnya Kami benar-benar
meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 47)
Allamah Thabathabai menafsirkan ayat tersebut dengan
ungkapan, “Dan ada kemungkinan bahwa kata ‘musi’un diambil dari ungkapan
‘awsa’a an-nafaqah’, yaitu memperbanyak nafkah. Atas dasar ini, maksud dari
ayat tersebut adalah perluasan dan penambahan ciptaan langit, sebagaimana hal
itu menjadi kecenderungan dalam pembahasan-pembahasan saintis pada masa kini.”[16]
Kita juga
bisa mencermati penafsiran ayat,
والشمس تجرى
لمستقرلها ذلك تقديرالعزيزالعليم {38}
“Dan matahari
bergerak [menuju] ke tempat berdiamnya.” (QS. Yasin [36]: 38). Pada masa-masa sebelumnya, para mufassir menafsirkan
ayat ini dengan gerakan lahirian matahari yang berjalan sehari-hari atau per
musim. Akan tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuan-penemuan ilmiah dan
sains baru, para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari
menuju suatu titik tertentu yang di situ terdapat planet vega. Semua penafsiran
itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di
beberapa kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam
menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an dengan rangka mendukung metode penafsiran
ilmiah.
Pada
bagian lain, kita dapat mencermati pula penafsiran ayat,
وترالجبال تحسبهاجامدةوهى تمرمرالسحاب صنع الله الذى اتقن كل شئ انه
خبيربماتفعلون{88}
“Engkau melihat bahwa
gunung-gunung itu diam [tak bergerak], sedangkan ia berjalan sebagaimana awan
berjalan.” (QS-An-Naml [27]: 88). Sebagian ahli
tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan bergeraknya gunung-gunung pada hari
kiamat. Akan tetapi, sebagian yang lain mengklaim bahwa ayat Ini adalah salah
satu mukjizat ilmiah Al-Qur’an. Mereka meyakini bahwa ayat ini membuktikan
bahwa bumi bergerak.
Kata
‘thair’ dalam surah al-Fil ditafsirkan dengan nyamuk atau lalat yang
membawa virus-virus penyakit. Kata ‘dabbah’ dalam ayat,
واذاوقع القول عليهم اخرجنالهم دبة من الارض تكلمهم ان الناس كا
نواباياتنالايوقنون {82}
“Ketika perintah azab untuk
mereka telah sampai, Kami mengeluarkan untuk mereka seekor binatang ternak dari
bumi.” (QS. An-Naml [27]: 82)
ditafsirkan dengan bulan-bulan buatan. Kata ‘ghitsa’an an ahwa’ dalam
surah al-A’la [87], ayat 5 ditafsirkan dengan batu karang. Kata ‘rawasi’ dalam
surah ar-Ra’d [13], ayat 3 ditafsirkan dengan bumi-bumi yang gersang. Kata ‘nafs
wahidah’ dalam surah al-‘A’raf [7], ayat 189 ditafsirkan dengan proton.[17]
KESIMPULAN
Dari pemaparan
makalah tersebut diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:
Penafsiran yang memasukkan unsur-unsur lokal
sah-sah saja. Hal ini merujuk pada pendapat para ahli yang memperbolehkannya.
Seperti kita ketahui, kandungan Al-Qur’an yang mengandung segi ketuhanan, hukum
atau syari’at dan akhlak dapat dibuktikan dimensi ke-universalannya.
Sifat kandungan Al-Qur’an yang universal ini berimplikasi bahwa tafsir atau
penafsiran Al-Qur’an tidak akan menutup diri dari kepentingan lokal seperti
perkembangan ilmu, filsafat, desakan-desakan pembaruan atu perkembangan
moderenisasi di dunia islam atau desakan pembangunan dari suatu negara dengan
berbagai sisinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafi’e
Ma’arif, 1989, “Posisi Sentral Al-Qur’an dalam Studi Islam”, dalam Taufik
Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), 1989, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta
PT. Wacana Yogya.
Muhammad assad,
1980, The Massage of the Qur’an, Gibraltar: Daar al-Maktab.
Quraish shihab, 1992, “Membumikan Al-Qur’an”, Bandung Mizan.
Ali Hasan al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmah
Akram, Jakarta, Rajawali.
Muhammad Ali
as-Shabuni, Pengantar Studim al-Qur’an, Terj. M Chudori Umar dan Moh.
Matsna, Bandung, Al-Ma’arif, 1984.
Imam Badru
al-Din Muhammad Ibn Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz
2, t,k, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.
Hasbi ash-Shidieqi, sejarah dan pengantar Ilmu Tafsir al-Qur’an, Jakarta,
Bulan Bintang, 1974.
Sayid Musa Husaini, “Metode Penafsiran Sainitis di Dalam Buku-Buku Tafsir
Modern “ dalam situs Qur’n al-Shia Online, diakses 19 April 2013.
http://qur’an.al-shia.com/id/metode/01.htm
[1]
QS. Al-Baqarah/2: 185, QS. Al-An’am/6
38, QS. Al-Hijr/ 15:9.
[2]
Harun Nasution, 1996, Akal dan Wahyu
Dalam Islam, jakarta, UI-Press, Hal. 37.
[4]
Ahmad Syafi’e Ma’arif, 1989, “Posisi
Sentral Al-Qur’an dalam Studi Islam”, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim
(Ed.), 1989, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta PT. Wacana Yogya,
Hal. 129.
[5]
Ibid.
[6]
Muhammad assad, 1980, The Massage
of the Qur’an, Gibraltar: Daar al-Maktab, hal. 4.
[7]
Quraish shihab, 1992, “Membumikan
Al-Qur’an”, Bandung Mizan, hal. 105.
[8]
Ali Hasan al-Aridh, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, Terj. Ahmah Akram, Jakarta, Rajawali, 1992, hlm. 3.
[10]
Ibid.
[11]
Muhammad Ali as-Shabuni, Pengantar
Studim al-Qur’an, Terj. M Chudori Umar dan Moh. Matsna, Bandung,
Al-Ma’arif, 1984, hlm. 203.
[12] Imam Badru al-Din Muhammad Ibn
Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz 2, t,k, Dar Ihya
al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t, hlm. 150.
[13]
Hasbi ash-Shidieqi, sejarah dan
pengantar Ilmu Tafsir al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1974, hlm. 178.
[14]
Lihat Quraish shihab, “Membumikan.....”,
hal. 16.
[15]
Sayid Musa Husaini, “Metode
Penafsiran Sainitis di Dalam Buku-Buku Tafsir Modern “ dalam situs Qur’n
al-Shia Online, diakses 19 April 2013.
http://qur’an.al-shia.com/id/metode/01.htm
[16]
Ibid.
[17]
Ibid.
So usefull informations,,
ReplyDeletethanks for coment
Delete