PERKAWINAN LINTAS AGAMA
FIKIH KONTEMPORER
PENDAHULUAN
Perkawinan adalah ekspresi
percintaan yang paling beradab. Akan tetapi dua insan yang memiliki keyakinan
berbeda tidak memiliki kesempatan untuk mewujudkan impiannya. Atas nama agama,
perkawinan yang dilakukan antar insan yang berbeda keyakinan itupun ditentang
dan dicap haram. Dengan begitu perkawinan menjadi simbol antagonisme. Semua itu
hanya karena satu sebab yaitu aeda agama.
Islam melarang adanya perkawinan
lintas agama dan ini dinarasikan secara sistematis, sejak dari Al-Qur’an,
penafsiran Al-Qur’an sampai fiqih sebagai praktik hukumnya. Hal ini dikarenakan
adanya mafsadah-mafsadah yang dikhawirkan oleh banyak pihak.
PEMBAHASAN
A.
Definisi perkawinan
Perkawinan yang istilah agama disebut “nikah”
ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antar kedua
belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketentraman dengan cara-cara yang di ridhai oleh Allah SWT.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan pengertian perkawinan adalah
sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung
tiga (3) karakter yang khusus, yaitu :
- Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa
unsur sukarela dari kedua belah pihak.
- Kedua belah pihak yang mengikat
persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan
perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.
- Persetujuan perkawinan itu mengatur
batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Perkawinan antar agama adalah ikatan lahir dan
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita yang karena berbeda agama
menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat
dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing
dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
B.
Hukum nikah beda agama dalam fiqih
Secara umum
dari penjelasan diatas terdapat hukum tentang pengharaman perkawinan muslim
dengan non muslim. Hanya ada beberapa pengecualian terutama akibat ketentuan
khusus dari QS al-Maidah ayat 5, menjadikan pergeseran dari tingkat hukum haram
menjadi makruh, mubah, atau lainnya.
a). Laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab.
Pada dasarnya
laki-laki muslim diperbolehkan mengawini perempuan ahli kitab berdasarkan
pengkhususan QS al-Maidah: 5 Allah berfirman yang Artinya : pada hari ini Dihalalkan
bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan Dihalalkan
mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat Termasuk
orang-orang merugi.
Dapat dikatakan bahwa ayat-ayat
tersebut adalah umum dan ditakhsisoleh surat al-Maidah: 5[1],
atau bahwa kata-kata musyrikat
ini tidak meliputi Ahli Kitab sama sekali menurut bahasa Al-Qur’an.
Pengertian ahli
kitab ini disini mengacu pada 2 agama besar sebelum islam, yakni Yahudi dan
Nasrani. Ibnu Rusyd menulis bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini
perempuan ahli kitab dengan syarat ia merdeka. Sedangkan mengenai ahli kitab
yang budak dan ahli kitab yang berstatus tawanan para ulama berbeda pendapat.
Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan
(laki-laki muslim mengawini perempuan ahli kitab).
Adapun pendapat fuqoha’ 4 madzhab
sunni adalah sebagai berikut:
MADZHAB HANAFI
Para ulama
Hanafi mengharamkan seorang laki-laki mukmin mengawini perempuan ahli kitab
yang berdomosili diwilayah yang sedang berperang dengan islam. Karena mereka
tidak tunduk terhadap hukum orang-orang Islam sehingga bisa membuka fitnah.
Seorang suami muslim yang menikah dengan perempuan ahli kitab dikhawatirkan
akan patuh terhadap sikap istrinya. Sedangkan mengawini ahli kitab Dzimmi (yang
berada di negara dan perlindungan pemerintahan Islam) hukumnya makruh, sebab
mereka tunduk pada hukum Islam.
MADZHAB MALIKI
Pendapat madzhab maliki ada 2:
Ø Mengawini perempuan ahli kitab baik di dar al-harb maupun dzimmiyah
hukumnya makruh mutlak. Hanya saja kemakruhan yang di dar al-harb kualitasnya
lebih berat.
Ø Memandang tidak makruh mutlak sebab dzohir/membolehkan secara
mutlak. Tetapi tetap saja makruh karena digantungkan kemakruhannya berkait
dengan dar al-Islam, sebab perempuan ahli kitab tetap boleh minum khomr,
memakan babi dan sebagainya.
MADZHAB SYAFI’I
Para fuqaha
madzhab syafi’i memandang makruh mengawini perempuan ahli kitab yang
berdomisili di dar al-Islam, dan bahkan sangat mengharamkan (tasydid
al-karohah).[2] Ulama
syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila terjadi dalam peristiwa
berikut:
Ø Calon suami tidak ada niat untuk mengajak calon istri untuk masuk Islam.
Ø Masih ada perempuan muslimah yang sholihah
Ø Apabila tidak mengawini perempuan ahli kitab ia akan terperosok
kedalam perbuatan zina.
MADZHAB HANBALI
a)
Laki-laki
muslim diperbolehkan mengawini perempuan ahli kitab.
Bahkan tidak
dimakruhkan sama sekali, hal ini di dasrakan pada surat al-Maidah ayat 5.
Dengan syarat perempuan ahli kitab itu merdeka (tidak budak), karena
lafadz al-muhshonat yang dimaksudakan adalah perempuan merdeka
b)
Perempuan
muslim dengan laki-laki nonmuslim.
Semua ulama
bersepakat bahwa perempuan muslimah tidak
diperbolehkan (haram) kawin dengan laki-laki non muslim, baik ahli kitab
maupun musyrik. Pengharaman tersebut selain didasarkan pada surat al-Baqarah :
221 juga didasarkan pada surat al Mumtahanah: 10.
Ÿwur (#qßsÅ3Zs? ÏM»x.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym £`ÏB÷sム4 ×ptBV{ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³•B öqs9ur öNä3÷Gt6yfôãr& 3 Ÿwur (#qßsÅ3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í`ÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 78ÎŽô³•B öqs9ur öNä3t6yfôãr& 3 y7Í´¯»s9'ré& tbqããô‰tƒ ’n<Î) Í‘$¨Z9$# ( ª!$#ur (#þqããô‰tƒ ’n<Î) Ïp¨Yyfø9$# ÍotÏÿøóyJø9$#ur ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ ( ßûÎiüt7ãƒur ¾ÏmÏG»tƒ#uä Ĩ$¨Y=Ï9 öNßg¯=yès9 tbrã©.x‹tGtƒ ÇËËÊÈ
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik,
walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.Albaqarah:221), yang Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang
berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka
bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka
maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Bijaksana.(QS. Mumtahanah:10)
Asy-Sayyid
Sabiq menyebutkan beberapa argumen tentang diharamkannya wanita muslimah
menikah dengan laki-laki nonmuslim sebagai berikut:
-
Orang
kafir tidak boleh menguasai orang Islam, hal ini didasarkan pada surat
an-Nisa’: 141, yang Artinya: (yaitu)
orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai
orang-orang mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah mereka
berkata: "Bukankah Kami (turut berperang) beserta kamu ?" dan jika
orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan) mereka berkata:
"Bukankah Kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang
mukmin?" Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu di hari kiamat
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
memusnahkan orang-orang yang beriman.
Ø Laki-laki kafir dan ahli kitab tidak akan mau mengerti agama
istrinya yang muslimah, malah sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari
ajaran nabinya.
Ø Dalam rumah tangga campuran pasangan suami isrti tidak mungkin
tinggal dan hidup bersama karena perbedaan yang jauh.
c)
Laki-laki
muslim dengan perempuan musyrik
Para ulama
sepakat mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan penyembah
berhala (musyrik). Perempuan musyrik disini mencakup penyembah berhala
(al-watsaniyyah), ateis (zindiqiyyah), perempuan murtad, penyembah api dan
sebagainya.
Satu hal
membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan ahli kitab, menurut
As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang
berkhianat, mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Apa yang dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran
kemusyrikan yakni khurafat dan spekulasi (teologis) atau lamunan dan bayangan
yang dibisikkan syetan. Inilah yang bisa menyebabkan ia mengkhianati suaminya
dan merusak akidah anak-anaknya. Sementara perempuan ahli kitab mengimani Allah
dan menyembahnya, beriman kepada nabi, hari akhirat dan menganut agama yang
mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran.
d)
Laki-laki
muslim dengan perempuan Shabi’ah, Majusi dan lainnya.
Selain menyebut
yahudi dan nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk agama
Shabi’ah (QS al-Baqarah: 62, QS al-Maidah: 69, al-Hajj: 17), majusi (QS
al-Hajj: 17), serta orang-orang yang berpegang pada suhuf (lembaran kitab
suci).
Penyebutan
agama-agama ini mungkin sangat terkait dengan agama-agama yang pernah berkembang dan dikenal dalam masyarakat Arab pada saat
itu. Al-Qur’an mungkin tidak pernah bersentuhan dengan pengalaman masyarakat
Asia Timur (India-Cina) secara langsung, maka agama-agama semisal Hindu, Budha
atau Konghucu tidak terakomodasi. Penyebutan agama-agama diatas dalam Al-Qur’an
timbul pertanyaan: bagaimana hukumnya seorang laki-laki mengawini perempuan
perempuan pemeluk agama tersebut ?
Mengenai
perempuan Shabi’ah para Fuqoha madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka
sebenarnya termasuk ahli kitab hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan palsu.
Mereka disamakan dengan pemeluk yahudi dan nasrani sehingga laki-laki mukmin
boleh mengawininya. Sedangkan para Fuqaha Syafi’iyah dan Hanbaliyah membedakan
antara ahli kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka orang-orang
yahudi dan nasrani sependapat dengan Islam dalam hal-hal pokok agama yaitu membenarkan
rasul-rasul dan mengimani kitab-kitab Allah. Barang siapa yang berbeda darinya
dalam hal pokok-pokok agama (termasuk Shabi’ah) maka ia bukanlah termasuk
golongannya. Oleh karena itu, hukum mengawininya juga seperti mengawini
penyembah berhala yakni haram.[3]
Adapun
mengawini perempuan Majusi Abdurrahman bin Auf berkata: “perlakukanlah
mereka (pemeluk Majusi) seperti memperlakukan Ahli kitab.” Logikanya mereka
bukan ahli kitab dan haram mengawininya.
Tetapi Abu Tsur berependapat bahwa mengawini perempuan Majusi adalah halal
karena agama mereka juga diakui dengan diberlakukannya membayar jizyah (pajak)
sebagaimana yang diberlakukan kepada orang yahudi dan nasrani.
Sementara
mengawini perempuan yang berkitab diluar yahudi, nasrani, majusi dan shabi’ah juga
ada 2 pendapat. Ulama madzhab Hanafi menyatakan barang siapa memeluk agama
samawi dan baginya suatu kitab suci seperti suhuf Ibrahim dan Dawud maka adalah
sah mengawini mereka selagi tidak syirik. Karena mereka berpegang pada sebuah
kitab Allah maka dipersamakan dengan orang yahudi dan nasrani. Sedangkan ulama
madzhab Syafi’i dan Hanbali tidak membolehkan, alasannya karena kitab-kitab
tersebut hanya berisi nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama
sekali tidak memuat hukum sehingga tidak disebut kitab hukum.
Pengaturan
mengenai perkawinan antar agama
menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Perkawinan
dianggap sah apabia diakui oleh negara. Diakui oleh negara berarti harus telah
memenuhi syarat-syarat dan acara-acara yang ditentukan oleh hukum positif.
Mengenai
perkawinan antar agama apabila kita teliti pasal-pasal dan penjelasan UU
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, kita tidak menemukan ketentuan yang
mengatur secara tegas mengenai masalah perkawinan antar agama tersebut,
disamping itu apabila kita teliti maka kita hanya dapat menyimpulkan bahwa
tidak ada satu pasalpun baik secara tersurat maupun tersirat yang melarang
dilakukannya perkawinan antar agama.
Mengenai pasal
perkawinan tersebut hanya ada 2 pasal yang bisa dijadikan sebagai pedoman,
yaitu :
- Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Menurut pasal 2
ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut yaitu perkawinan sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Yang
dimaksud dengan hukum agamanya dan kepercayaannya itu termasuk juga ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya
tersebut sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam UU Nomor
1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Hal ini berarti undang-undang menyerahkan
kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat
pelaksanan perkawinan tersebut disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh negara.
Jadi apakah
suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon mempelai telah
memenuhi syarat-syarat atau belum disamping tergantung kepada ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga ditentukan
oleh hukum agamanya masing-masing.
- Pasal 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku ,
dilarang kawin.
Dari ketentuan
pasal 8 (f) tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa disamping ada
larangan-larangan yang secara tegas disebutkan didalam UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan dan peraturan-peraturan lainnya juga ada larangan-larangan
yang bersumber dari hukum masing-masing agamanya.
Oleh karena
didalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak terdapat adanya larangan
terhadap perkawinan antar agama, maka tahap terakhir yang menentukan ada
tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama tersebut adalah hukum agama
itu sendiri. Berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo 8 (f) UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan diperbolehkan atau
tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum agama itu sendiri.
Pembuat undang-undang agaknya menyerahkan persoalan tersebut sepenuhnya kepada
ketentuan agama masing-masing pihak
KESIMPULAN
Masalah
Hukum
|
Hukum
|
Dasar
Hukum
|
Alasan
|
Muslim x Musyrik
|
Haram
|
Al-Baqaroh
:221
|
Beda agama
|
Muslim x Ahli
kitab
|
Boleh
|
Al-Maidah: 5
|
Sama
keyakinan
|
Muslim x Non
Muslim
|
Haram
|
Al-Baqarah:
221
|
Beda agama
|
Dari UU Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan
diperbolehkan atau tidaknya perkawinan antar agama tergantung kepada hukum
agama itu sendiri. UU menyerahkan sepenuhnya pada agama tentang perkawinan
antar agama tersebut
PUSTAKA
Suhadi, 2006, Kawin Lintas Agama, Yogyakarta, LkiS
Ridlo Rosyid, Tafsir al
Manar juz 6, Darul Fikr, Beirut Libanon
Qardhawi Yusuf, 1995, Fatwa
Fatwa Kontemporer jilid 1, Jakarta, Gema Insani Press.
[1] Yusuf Qardlawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid
1, hal 586
[2] Dr. Irwan Abdullah, Kawin Lintas Agama, hal
41
[3] Ibid hal 43
No comments:
Post a Comment