Segala hal yang diklaim sebagai kebenaran harus terbuka untuk dikritik dan
difalsifikasi, demikian juga kebenaran sains yang bebas nilai dan bersifat
netral. Sains secara metodologis menggunakan pendekatan metode ilmiah
(saintific method) yang biasa disebut logico-hipotetico-verifikatif tersusun
dari sintesis rasionalis-empiris dengan objek yang telah ditentukan dan
dibatasi sesuai dengan karakter keilmuan. Bagaimana Pendapat kaum agamawan
memandang sains dalam kerangka keyakinan mereka.
Kaum katholik dengan sadar mengakui
bahwa pada abad skolastik gereja telah melakukan kesalahan fatal atas doktrin
kebenaran mereka, silang pendapat kebenaran dari prespektif sains dan gereja
yang semakin menghangat dimulai sejak teori heliosentrisnya copernicus yang
menentang dogma gereja tentang konsep geosentris yang diakui kebenarannya pada
masa itu. Ajaran gereja yang dogmatis semakin menguasai paradigma penganutnya
sehingga siapapun yang tidak sependapat dengan "kitab suci" mereka
maka di anggap kafir dan karena kafir itu sesat dan salah layak untuk dihukum
dan disiksa, bahkan pasca copernicus, bruno dengan lantang mengumandangkan
teori heliosentrisnya copernicus hingga dia dibakar hidup-hidup oleh kaum
pendeta. Demikian juga dengan galileo yang dipenjara seumur hidup karena ajarannya
dianggap menyesatkan dan menyimpang dari ajaran gereja. Kemudian pada abad ke
17 dimulailah abad pencerahan "aufklarung" diprancis yang mampu
membebaskan individu dari kungkungan hegemoni gereja sehingga perkembangan
sains dan teknologi bisa sedemikian cepat. Namun pekembangan tersebut menjadi
sebuah fenomena besar setelah dirasa bahwa banyak teknologi yang bebas nilai
sehingga muncul dunia modern kapitalistik mekanistik yang sangat tidak
memanusiakan manusia. dalam hal ini katholik mengeluarkan statement tentang
pentingnya prinsip nilai dalam internalisasi sains dan teknologi di kehidupan
sehari-hari, namun tidak diterangkan secara lebih lanjut bahwa prinsip nilai
itu hanya layak untuk diterapkan dalam ranah teknologi teknis yang praktis dan
fungsional bukan dalam tataran sains secara konseptual dan teoritik karena pada
hakekatnya perkembangan sains bersifat bebas nilai, alamiah, dan hierarkis.
Relatifitas einstein tak akan ditemukan tanpa teori deterministik klasik
newton, geometri non-euclid takkan ditemukan tanpa didahului geometri euclid.
Dalam hal ini sangat jelas kesalahan persepsi tentang sifat-sifat sains. Jika
sains itu bebas nilai tapi aplikasi sains yang berupa teknologi tidak bebas
nilai, dalam tataran inilah agama menjadi landasan moral dalam penggunaan
teknologi. Kemudian umat islam dalam sisi utility sama dengan kaum katholik,
tapi disisi lain menganggap bahwasannya segala konsep sains sekaligus
perkembangannya telah ada secara mutlak dalam al-quran sedangkan kemampuan
manusia hanya dapat mengetahui sedikit dari dalam al-quran. Artinya disini ada
tuntutan untuk mencari dan memahami sains dalam al-quran yang secara tersurat
maupun yang tersirat dengan menggunakan ijtihad atau nalarnya. Jadi pada
dasarnya islam mencoba untuk mereduksi al-quran pada wilayah sains serta
menafikan eksistensi hakekat sains sejarah dan pekembangannya yang telah
dimulai sejak zaman babilonia primitif sampai pada zaman modern sekarang ini.
Geneologi sejarah perkembangan sains ada pada umat islam an sich dan memandang sebelah
mata sains barat karena dianggap telah melakukan distorsi sejarah dalam tataran
sains dan teknologi. Kemudian umat islam menghembuskan pembongkaran sains dalam
al-qur'an, Dengan demikian ada semacam persamaan metodologi dalam mempelajari
al-quran dan sains padahal kedua hal tersebut pada hakekatnya mempunyai
pendekatan metodologis yang berbeda. Dimana agama dimulai dari keyakinan dengan
metode yang dogmatis dan menggunakan teori kebenaran yang doktriner, sedangkan
sains dimulai dengan keraguan yang menerapkan konsep kebebasan dalam
penjelajahan dunia sains dengan menggunakan metode ilmiah sebagai landasan dan
pencarian kebenaran. Bisa ditebak bahwa pemateri dari islam membawa misi dan
kepentingan islamisasi sains. Ada ketimpangan pemahaman ditingkatan banyak umat
islam penganut faham islamisasi sains yaitu bahwa sebenarnya apa yang telah
ditemukan dan dikembangkan dalam ranah sains dan teknologi sudah ada lengkap
dan sesuai dalam al-quran, sehingga banyak dari kalangan muslim yang
mencari-cari dalil dari ayat al-quran untuk mengembel-embeli atau
menjustifikasi bahwa kebenaran ilmiah juga diterima dan sesuai dengan al-quran,
akhirnya al-qur'an hanya difungsikan sebagai alat legitimasi dan klaim belaka,
tindakan ini tentunya tidak arif jika memang benar bahwa tujuan dari islamisasi
sains adalah menggali al-quran dalam kaitannya dengan ketertinggalan umat islam
atas non muslim tapi caranya mestinya bukan dengan mengislamkan sains karena
dengan demikian akan lebih membatasi ruang gerak penjelajahan keilmuan, apakah
mungkin metode doktriner yang kebenarannya dianggap mutlak bisa sejalan dengan
metode bebas yang kebenarannya relatif dan semua pihak boleh menguji dan
memfalsifikasi, terbuka, netral dan tidak dogmatis, yang suatu saat bisa
ditumbangkan dengan teori baru yang lebih valid. Kemudian dari konghucu
menganggap non dikotomi antara sains dan agama, seperti halnya kaum sofis
mereka menganggap kebenaran adalah relatif dan meniadakan kebenaran mutlak atas
segala sesuatu. Seperti ungkapan kausalistik klasik yang dengan statemen kaum
sofis juga meniscayakan bahwa stigma "tak ada kebenaran mutlak"
sejalan dengan dugaan bahwa stigma tadi kemungkinan salah. Senjata makan tuan
tadi bukan hanya meruntuhkan semua konsep yang telah tereduksi dari sana, namun
lebih pada pernyataan yang meragukan, berupaya pada apologi yang tidak
konsisten. Dari sinilah mereka kesulitan untuk menjawab pertanyaan sederhana
"bagaimana mereka mendefinisikan sains dan agama?" sementara mereka
sendiri yakin bahwa kebenaran adalah relatif, dan mereka juga yakin apapun
jawaban dari mereka sama sekali mereka ragukan dan tidak diyakini.
Inkonsistensi dari dua hal yang kontradiktif dalam segala ide yang muncul dari
kaum sofis juga dipersepsikan dalam konteks pendekatan metodologis sains dan
agama, sehingga muncul banyak kerancuan definisi dari istilah-istilah yang
tereduksi dari sana. Agamawan budha memulai persepsinya dari ketidakpercayaan
terhadap segala sesuatu, mereka sepakat dengan metode ilmiah sebagai metodologi
formal dari penjelajahan sains. Secara persepsional agama tidak diletakkan
sebagai landasan moral tapi sebagai objek dalam pencarian kebenaran, yang dalam
hal ini tampak subjektifitas dalam memahami sains dan agama sehingga keduanya
menjadi parsial, sporadis, hanya sekedar berjalan sendiri-sendiri, serta lebih
pada dikotomisasi sains dan agama, kedua-duanya tidak diposisikan secara
proporsional. Tapi mereka menganggap bahwa pencerahan yang telah diklaim
sebagai pembebasan dari belenggu akan kembali lagi menjadi mitos bagi
perkembangan peradaban manusia. jadi secara inklusif mereka lebih toleran
terhadap wacana yang memposisikan sains dan agama, namun tidak jelas peran
agama dalam perkembangan sains. Seperti halnya pandangan islam, hindu
meletakkan agama sebagai sumber pengetahuan, mereka secara induktif membaca
fenomena yang secara niscaya mereka terjebak pada masalah praktis yang tidak
substansial. Demikian juga mereka menganggap dengan kuasa memegang kendali
wacana kebenaran tanpa sedikitpun membuka diri untuk menerima kritik apalagi negasi
dari pihak eksternal mereka. Sikap tertutup semacam ini berimplikasi pada
kemandekan perkembangan sains dalam kerangka teoritik sekaligus menghambat
kemajuan peradaban manusia.
Demikianlah secara sederhana dapat
diprediksikan bahwa pandangan kaum agamawan terhadap sains dan teknologi sangat
lekat dengan kritik karena secara substansial mereka telah menghegemoni sains
yang dipersepsikan netral dan bebas nilai. Kecenderungan akhir dari pewacanaan
tersebut telah menyebabkan sains menjadi alat kuasa yang jelas bisa ditebak
bagaimana posisi agama dalam persinggungan wacana dengan sains. Tapi secara
arif sekali lagi diakui bahwa kebenaran sejati selalu terbuka untuk dikritik
dan difalsifikasi, dibongkar dan dipertanyakan, dan selebihnya adalah secara
alamiah mengiringi kebudayaan manusia. baiklah kalau tidak sepakat, sejenak
kita renungkan makna filosofis ungkapan Albert Einstein "ilmu tanpa
agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah hampa".
No comments:
Post a Comment