Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama
Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata,
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
agama itu mudah. Dan tidaklah seseorang memberat-beratkan agama itu melainkan
pasti ia (agama) akan mengalahkan orang itu. Maka bersikap lurus, moderat, dan
sikapilah dengan gembira (lapang dada).” (H.R. Bukhari)
Hadis ini diriwayatkan Imam Bukhari
dalam Kitabul-Mardha bab "Tamannil-maridhi almauta" (orang sakit
mengangankan mati) dan dalam Kitabur-Riqaq bab "Al-qashdu wal-mudawah
'alal-'amal" (bersikap tengah dan kontinyu dalam beramal).
Penjelasan Rasulullah saw. di atas
menegaskan kepada kita bahwa aslinya Islam adalah moderat dan jauh dari
ekstremitas. Al Quran dan Sunnah telah menggariskan segala sesuatu yang membuat
manusia mencapai kebaikan, kebahagiaan, dan kejayaan dunia serta akhirat. Tidak
ada sesuatu pun yang membuat manusia bahagia melainkan pasti dijelaskan oleh
Islam. Dan tidak ada pula sesuatu yang membuat manusia celaka melainkan pasti
diperingatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dalam menjelaskan hukum-hukum itu, ada
nash-nash yang amat rinci di antaranya penjelasan mengenai praktik ibadah
mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Petunjuk untuk ibadah-ibadah
seperti itu telah sangat gamblang dan lengkap. Hal lain yang diterangkan secara
rinci misalnya pembagian harta waris. Siapa yang berhak memperolah harta waris
dan berapa bagian untuk masing-masing orang yang berhak itu.
Selain itu, ada pula
petunjuk-petunjuk Islam yang bersifat global dan umum. Perinciannya diserahkan
kepada ijtihad orang-orang yang berkompeten untuk itu, yakni para ulama dengan
kualifikasi dan persyaratan tertentu. Petunjuk yang bersifat global ini banyak
berkaitan dengan masalah-masalah muamalah, politik, budaya, dan sebagainya.
Namun semua itu tidak lepas dari bingkai umum yang telah diberikan oleh Islam.
Semuanya tercantum lengkap dalam Al
Quran dan Sunnah Rasulullah saw. Dan itulah parameter dan acuan kita ber-Islam.
Tanpa parameter itu maka akan terjadi bias dalam penilaian. Bisa saja karena
seseorang tidak suka dengan cara temannya melaksanakan ajaran-ajaran Islam
–yang belum tentu salah— dicaplah dia sebagai ekstrem. Dan sebaliknya orang
yang selalu mengambil pilihan yang sulit dan ‘keras’ akan menuduh orang yang
berbeda dengan dirinya sebagai orang yang tidak komit, lembek, dan penakut.
Jadi, tidak ada Islam ekstrem, yang
ada adalah muslim ekstrem. Ini ditegaskan pula oleh Rasulullah saw.,
Dari Abi Mas'ud r.a., Nabi saw.
bersabda, “Binasalah
mutanath-thi’un.” Beliau mengulangi kalimat itu sampai tiga kali. (H.R. Muslim)
Imam Nawawi, dalam kitabnya
Riyadhush-Shalihin, menjelaskan kata ‘mutanath-thi’un’ yang ada dalam hadis
itu, “Mutanath-thi’un adalah orang-orang yang mendalam-dalami (secara
memaksakan diri) dan bersikap keras dalam hal yang tidak seharusnya keras.”
Mengapa muncul sikap
memberat-beratkan diri sendiri dalam melaksanakan Islam? Banyak sebab, antara
lain:Pertama, Ilmu Kurang Memadai, Membela dan menegakkan Islam memerlukan
kecukupan ilmu. Semangat saja belumlah cukup. Akibat kedangkalan pemahaman dan
tidak menguasai sendi-sendi hukum dalam Islam dapat pula memunculkan
ekstremitas. Syaikh Yusuf Qardhawi –semoga Allah menjaganya- menggunakan
istilah "dha’ful-bashirati bihaqiqatid-din" (lemahnya pemahaman
tentang hakikat agama) untuk menggambarkan hal itu.
Lebih jelasnya beliau menyebutkan, “Yang saya maksudkan bukanlah kebodohan mutlak
tentang agama. Kebodohan yang macam itu biasanya tidak memunculkan sikap
ekstrem bahkan boleh jadi memunculkan sikap sebaliknya: tidak punya pegangan
dan lumer. Yang saya maksudkan justru sepotong ilmu yang dengannya pemiliknya
merasa sudah masuk ke dalam kelompok ulama.” (Lihat Ash-Shahwatul-Islamiyyah
Bainal-Juhud Wat-Tatharruf, Dr. Yusuf Qardhawi, hal. 64.)
Dari kedangkalan ilmu pula dapat
muncul perilaku mudah mengafirkan orang lain. Pantaslah ilmu dan hujjah mutlak
wajib dimiliki oleh para da’i. Ini ditegaskan dalam Al Quran,
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (Q.S. Yusuf 12:108)
“Katakanlah, ‘Inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.’” (Q.S. Yusuf 12:108)
Kedua, Memahami Syari’at Islam
secara Parsial Islam diturunkan oleh Allah sebagai din syamil (agama yang
komprehensif). Oleh karena itu ia harus dipahami secara syamil pula. Pemahaman
parsial tentang Islam (syari’at Islam) mempunyai peran besar dalam memunculkan
perilaku ekstrem. Syari’at Islam merupakan bangunan utuh yang satu komponen
dengan lainnya saling menguatkan. Fondasinya adalah aqidah dan keimanan. Lantai
pertamanya adalah akhlak dan perilaku. Ibadah-ibadah ritual (ta’abbudi) adalah
lantai kedua. Lantai ketiganya adalah muamalat dengan segala cabangnya. Dan
bangunan Islam tidak akan tegak kecuali dengan tegaknya bagian-bagian itu.
Sesungguhnya syari’at Islam
bukanlah hanya berisikan hudud seperti hukum potong tangan, hukum rajam, atau
hukum cambuk. Karenanya, dalam kacamata
Islam, menegakkan syari’at Islam bukan hanya menegakkan hudud itu. Terkait
dengan hal ini, Dr. ‘Ali Juraisyah menegaskan:
“Bukan hanya dengan hudud syari'at Islam ditegakkan. Karena hudud hanyalah bagian dari hukum-hukum muamalah. Sedangkan muamalah merupakan lantai tiga atau empat dari bangunan syari’at. Jadi semata-mata menegakkan hudud atau bahkan muamalat secara keseluruhan, sama dengan kita membangun lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua, dan tanpa fondasi. Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak?”
“Bukan hanya dengan hudud syari'at Islam ditegakkan. Karena hudud hanyalah bagian dari hukum-hukum muamalah. Sedangkan muamalah merupakan lantai tiga atau empat dari bangunan syari’at. Jadi semata-mata menegakkan hudud atau bahkan muamalat secara keseluruhan, sama dengan kita membangun lantai tiga atau empat tanpa lantai satu dan dua, dan tanpa fondasi. Lalu bagaimana bangunan itu akan berdiri tegak?”
Oleh karena itu, pandangan yang
mengatakan bahwa Islam hanyalah mengatur urusan pribadi sama kelirunya dengan
pandangan yang menyatakan bahwa jihad lebih penting dari shalat, atau
sebaliknya. Dan sama salahnya dengan pandangan yang menyatakan bahwa
“mendirikan” negara Islam atau Khilafah Islamiyyah adalah lebih penting dari
membina aqidah dan akhlak, atau sebaliknya. Karena kesemuanya itu merupakan
bagian yang tak dapat dipisahkan dari integritas Islam.
Dalam pembahasan iman kepada Allah,
misalnya, ada bagian yang oleh para ulama diistilahkan dengan tauhidul-asma
wash-shifat (mengesakan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya). Dan tauhid ini
merupakan bentuk ketiga tauhid. Yang pertama dan keduanya adalah tauhid
rububiyyah dan tauhid uluhiyyah.
Dari situ jelas bahwa aqidah bukan
saja urusan tauhidul asma wash-shifat. Ia merupakan bagian dari pembahasan iman
kepada Allah. Iman kepada Allah adalah rukun pertama dari rukun iman. Selain
mempunyai rukun, iman juga mempunyai cabang-cabang. Dalam urusan ibadah, shalat
“hanyalah” satu dari rukun Islam. Dan rukun Islam adalah bagian asasi dari
Islam dan bukanlah keseluruhan Islam. Di dalam Islam ada zikir, ada ukhuwwah,
ada khusyu, ada tawadhu’, ada jihad, dan seterusnya.
Ketiga, Tergesa-gesa Untuk mencapai
tujuan selalu ada proses. Sifat tergesa-gesa pada manusia sering mencuat saat
menginginkan tercapainya tujuan-tujuan besar. Baik tujuan itu terkait dengan
dunia maupun terkait dengan akhirat. “Apabila untuk mencapainya mengambil jalan
pintas dengan cara berlebihan dalam ketaatan dan ibadah sambil berkeyakinan
bahwa manhaj Islam yang asli tidaklah cukup dan tidak akan mengantarkan kepada
tujuan, ini jelas kesalahan besar. Dari sinilah berangkatnya sikap mengharamkan
untuk dirinya hal-hal yang jelas-jelas mubah (boleh). Atau mewajibkan untuk
dirinya ibadah-ibadah yang hukumnya sunnah,” kata Dr. Muhammad
Zuhaili.
“Hal itu diperburuk dengan sikap membenarkan
hawa nafsunya dan merasa bangga dengan apa yang dilakukannya itu sembari
beranggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah jalan yang benar. Ini biasanya
juga diberangi dengan tudingan bahwa jalan yang ditempuh orang lain adalah
jalan yang salah atau kurang,” imbuh Muhammad Zuhaili. (Al-I’tidal
Fit-tadayyun hal. 11-12)
Sikap isti’jal kerap muncul dan seringkali
tampil sebagai ekstremitas. Tidak terkecuali di jalan dakwah. Ini bisa terjadi
ketika cita-cita menegakkan kedaulatan Islam tidak dibarengi dengan kesabaran
untuk menempuh perjalanan yang pernah ditempuh Rasulullah saw. Dr. Sayyid
Muhammd Nuh menggambarkan sikap isti’jal itu, “Ia
ingin mengubah kondisi atau realitas kehidupan kaum Muslimin dalam waktu
sekejap tanpa mempertimbangkan akibatnya, tanpa memperhatikan situasi dan
kondisi, dan tanpa persiapan yang matang dengan segala uslub dan wasilahnya.” (Terapi Mental Aktivis Harakah, hal.
81)
Akibat ketiga hal itu, muncullah
sikap-sikap ekstrem, tidak seimbang, dan sikap memberat-beratkan sesuatu yang
sesungguhnya ringan. Ini tentu saja bertentangan dengan semangat ayat:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu." (Q.S. Al Baqarah 2: 185)
Islam diturunkan oleh Allah dan
diajarkan oleh Rasulullah saw. dalam keadaan mudah, adil, seimbang, dan wasath
(moderat). Jadi, yang paling moderat adalah yang paling komitmen kepada seluruh
ajaran Islam. Dan ekstremitas sering ditampilkan justru oleh orang-orang yang
meninggalkan Islam atau menyimpang dari pelaksanaan Islam yang digariskan oleh
Rasulullah saw. Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment