Pendahuluan
Bukan menjadi yang tabu lagi bila sekarang ini kita membicarakan hal
pendidikan. Sudah menjadi hal biasa bila kita membicarakan berbagai hal tentang
pendidikan. Di negara kita tercinta ini banyak kalangan berbicara mengenai
pendidikan, meskipun kita tahu apa yang mereka bicarakan, mulai dari kalangan
elit politik, kalangan cendikiawan, para ahli pendidikan, kalangan awam, mereka
berduyun-duyun membicarakan masalah pendidikan.
Memang berbicara mengenai pendidikan di negari kita ini tak akan pernah
ada habisnya. Ada saja permasalahan yang timbul dalam rangka pelaksanaan
pendidikan di negari ini. Dan setiap kali muncul permasalahan, di saat itulah
berbagai kalangan membicarakan dan mengeluarkan pendapat mereka. Mereka
berusaha mengkritisi permasalahan mengenai pendidikan di negeri ini. Mereka
berusaha mencari solusi atas permasalahan yang sedang melanda negeri ini dalam
hal pendidikan.
Pendidikan sudah bukan menjadi kebutuhan kedua. Namun saat ini pendidikan
merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi setiap insane manusia dimanapun
berada, termasuk di negeri kita tercinta ini. Karena itu pendidikan menjadi hak
bagi tiap warga negara dan menjadi kewajiban negara untuk menyelenggarakan
pendidikan yang terbaik untuk negaranya demi kemajuan negara itu sendiri. SDM
maju otomatis negara juga akan maju, betul kan?
Namun begitu meskipun menjadi hak tiap-tiap warga negara untuk mengenyam
pendidikan banyak saudara-saudara kita di kota, di Pedesaan, maupun di daerah
terpencil yang masih belum bisa menikmati pendidikan. Banyak juga yang sedang
duduk dibangku sekolah, namun mereka belum mendapat fasilitas yang layak
sebagai media pembelajaran untuk mereka. Dan bahkan banyak dari mereka yang putus
sekolah permasalahan ekonomi.
Sepertinya pendidikan di negeri ini berpihak pada si kaya, si kaya lebih
diutamakan, si kaya yang bisa menikmati bangku pendidikan setinggi mungkin.
Memang pemerintah telah berupaya untuk memberikan beasiswa kepada mereka yang
kurang mampu, tapi entahlah apakah sampai ke tangan mereka, atau masuk ke
kantong-kantong nakal yang tak bertanggung jawab.
Sebenarnya banyak masalah-masalah dalam pendidikan di negara ini, mulai
dari isinya, sistemnya, dan pelaksanaannya. Namun di sini kita tidak mungkin
membahas semua permasalahan yang ada, karena itu jelas tidak cukup waktu.
Dalam makalah ini saya akan coba memberi gambaran mengenai salah satu
permasalahan dalam dunia pendidikan kita yaitu ujian nasional. Siapa yang tak
kenal UN di negeri ini? Sungguh mencengangkan masalah-masalah yang terjadi
karena UN di negeri ini. Tapi sebenarnya apa itu UN? Apa saja problema di dalam
pelaksanaan UN?. Bagaimana sebaiknya kita mensikapi dalam UN ini? Akan saya
bahas dalam pembahasan selanjutnya.
Pembahasan
Bukan hal yang asing lagi bila saat ini kita membicarakan soal ujian
nasional (UN). Bahkan saat ini sedang panas-panasnya masyarakat Indonesia
membicarakan soal ujian nasional (UN) ini. Ada pihak-pihak yang setuju dengan
diadakan ujian nasional, namun banyak juga pihak-pihak yang kurang setuju dengan
diadakan ujian nasional, namun banyak juga pihak-pihak yang kurang setuju
dengan diadakan ujian nasional dengan alasan-alasan yang cukup rasional.
Sebelum berbicara terlalu jauh mengenai ujian nasional, ada baiknya kita
mengetahui apa itu ujian nasional, supaya kita lebih jauh mengenal mengenai
ujian nasional tersebut. Sebenarnya apa itu ujian nasional? Sering sekali kita
mendengar kata-kata ujian nasional dsan bahkan kita juga pernah mengalaminya,
betul kan? Dari mulai sekolah dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas tak pernah lepas dari Ujian Nasional.
Sebenarnya cukup sedikit sumber yang menjelaskan mengenai pengertian ujian
nasional. Namun begitu saya akan mencoba mendefinisikan mengenai ujian
nasional. Ujian nasional adalah suatu bentuk tes tertulis, beberapa mata
pelajaran tertentu yang diperuntukkan bagi mereka siswa-siswa yang berada di
tingkatan tertinggi suatu lembaga pendidikan (kelas 6 SD, kelas 3 SMP, kelas 3
SMA) sebagai syarat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Ujian
nasional juga bisa diartikan sebagai suatu bentuk tes tertulis guna menentukan
kelulusan dari suatu lembaga pendidikan, dan ujian nasional ini diadakan atau
diselenggarakan oleh pemerintah.
Dan ujian nasional ini bersifat menyeluruh, menyeluruh dalam artian baik
sekolah negeri maupun sekolah swasta yang berada di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia akan diharuskan bagi siswa-siswanya untuk mengikuti ujian
nasional.
Ujian Nasional (UN) sangat menjadi momok yang menakutkan bagi peserta
didik (murid) di dalam menyelesaikan studinya di sekolah formal. Hal ini dapat
dibuktikan dari banyaknya kasus peserta di didik yang tidak lulus dari ujian
nasional, baik pada jenjang pendidikan SMP maupun jenjang pendidikan SMA,
meskipun murid tersebut di nilai pintar, cerdas dan telah di terima di
perguruan tinggi baik di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Di samping itu timbulnya permasalahan tersebut karena adanya kesan tidak
adil untuk sekolah-sekolah yang kurang mendukung dalam hal media pembelajaran,
sarana dan prasarana belajar bagi sekolah yang berada di pedesaan dibandingkan
pada sekolah yang berada di perkotaan.
Selain itu penyebab permasalahan ini karena fenomena di kalangan peserta
didik (siswa) itu sendiri sebagai generasi penerus bangsa yang cenderung tumbuh
dan berkembang sebagai bangsa yang lembek, kurang gigih, dan kurang berani
dalam menghadapi tantangan hidup. Bila kita lihat realita di lapangan bahwa
sebagian dari murid di dalam kurangnya pandangan murid terhadap pentingnya
pendidikan baik bagi diri mereka sendiri maupun untuk bangsa dan negara.
Dari berbagai fenomena di atas jelas sekali penyebab dari murid yang
gagal di dalam menyelesaikan studinya di sekolah formal. Hal tersebut haru
mendapat perhatian yang lebih dan pemerintah untuk mencari benang merah dan
fenomena ataupun permasalahan ini.
Kita tahu bahwa setiap kali hasil Ujian Nasional itu jenjang SMP, maupun
SMA dipublikasikan, banyak siswa yang tidak lulus karena nilai di bawah nilai
minum kelulusan yang telah ditetapkan pemerintah saat itu juga lah bertubi-tubi
kritikan terus-menerus di layangkan masyarakat kepada pemerintah. Mulai dari “tidak
sensitif terhadap permasalahan”, sampai ke pelanggaran HAM oleh pemerintah.
Sayangnya hamper semua kritikan tidak konstruktif. Misalnya, pernah ada
siswa kritikan tidak konstruktif. Misalnya, pernah ada siswa yang memperotes
kenapa belajar 3 tahun di tentukan 3 jam? Ada juga yang protes kenapa kelulusan
ditentukan hanya dengan 3 mata pelajaran?. Kalau ujian 3 mata pelajaran saja
tidak lulus, kalau di tambah lagi, jangan-jangan semakin tidak lulus?
Ujian 3 jam untuk menilai proses belajar 3 tahun juga tidak dapat terlalu
dipersalahkan. Tentu saja hasil ujian nasional lebih bisa mencerminkan kualitas
akademik siswa kalau frekuensinya lebih sering (contoh: 3 bulan sekali). Tetapi
dengan kekurangan anggaran nasional yang terus terjadi, akan terasa lebih
pantas kalau dana pemerintah dipakai untuk memperbaiki kualitas guru dan sarana
pengajaran.
Ini mengingat kita kalau UN bukan masalah gampang. Di satu sisi eksekutif
ditekan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, dan disisi yang lain juga
dituntut untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa.
Ada dua rantai dalam meningkatkan kualitas pendidikan, pertama
meningkatkan kualitas pendidikan itu sendiri, dan yang kedua adalah
mengevaluasi output dari hasil pendidikan, antara lain dengan ujian nasional.
Jika kualitas pendidikan sudah lebih baik.
Namun begitu di dalam pelaksanaannya, Ujian Nasional tetap saja menuai
kontroversi. Jika disimpulkan, kontroversi yang terjadi terbagu menjadi dua
bagian, yaitu: pertama, Ujian Nasional dihapuskan saja baik sebagai penentu
kelulusan maupun tidak. Kedua, Ujian Nasional tetap dilaksanakan, namun hanya
sekedar pemeta mutu pendidikan saja bukan sebagai satu-satunya penentu kelulusan.
Kedua kontroversi itu mempunyai alasan-alasan tersendiri. Bagi pihak yang
mendukung Ujian Nasional atau bisa juga disebut pihak yang menolak sama sekali
keberadaan atau pelaksanaan Ujian Nasional mempunyai beberapa alasan. Pertama,
Ujian Nasional tidak mencerminkan keadilan bagi si anak didik. Dianggap tidak
mencerminkan rasa keadilan karena kelulusan Ujian Nasional hanya ditentukan
oleh hasil Ujian Nasional yang dilakukan dalam beberapa hari saja. Padahal
dalam waktu beberapa hari itu, bisa saja si anak didik kurang fit atau mendadak
sakit. Oleh karena itu, apa yang sudash dipelajari dan dikerjakan selama tiga
tahun serasa sia-sia.
Selain itu, perlu diketahui bahwa tidak semua anak didik paham dan
menguasai semua bidang studi. Pada bidang studi. Pada bidang studi tertentu, ia
akan mengalami kewalahan. Misalnya, bisa saja si anak didik sangat menguasai
bidang kimia bahkan sangat menguasainya, namun dalam bidang bahasa Inggris atau
bahasa Indonesia dia justru lemah. Hal-hal seperti inilah yang terjadi ketika
seorang juara Olimpiade Fisika Nasional ternyata bisa kalah di Ujian Nasional.
Pada kasus yang lain, tujuan pendidikan sesungguhnya bukan hanya
membentuk manusia yang berkualitas dalam bidang akademik, namun lebih dari itu
membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berkepribadian baik, berakhlak,
bermoral, berbudi pekerti dan beretika adalah tujuan yang seharusnya lebih
diprioritaskan. Saat ini, begitu banyak manusia pintar di Indonesia, namun
mengapa keadaan bangsa kita begitu-begitu saja? Hal itu disebabkan tak lepas
dari minimnya manusia bermoral dan beretika sehingga kepintaran dan
kelebihannya itu bukannya digunakan untuk membangun bangsa malah hanya
digunakan untuk membangun bangsa malah hanya untuk kepentingan sendiri dengan
cara membodohi atau menipu orang lain bahkan dengan melakukan korupsi. Lalu
apakah di butuhkan orang pintar namun tak berakhlak mulia? Bukankah minimal
lebih sebaliknya? Walaup sebenarnya sangat diharapkan orang yang pintar dsan
berakhlak mulia, bukan?
Alasan kedua mengapa pihak-pihak tersebut menolak ujian nasional adalah
belum meratanya kelengkapan sarana dan prasarana persekolahan kita. Bukan hanya
sekolah di kota atau desa terpencil, namun antara sekolah negeri dan swasta
juga masih berbeda jauh. Sebagai contoh masih mampukah kita menyetarakan
pendidikan di kota Medan yang hamper semuanya sudah memenuhi standar baik
sarana dan prasarananya dengan pendidikan di Samosir misalnya yang guru untuk
SD yang terdiri dari enam kelas saja hanya tiga atau empat orang, itupun sudah
dihitung bersama kepala sekolahnya?
Lulus ujian nasional adalah impian setiap siswa atau siswi kelas tiga
pada jenjang SMA dan SMP. Gonjang-ganjing Ujian Nasional (UN) telah menjadi
polemic yang tak terselesaikan di Indonesia. Setiap tahun ada saja masalah yang
membuat terkait penyelenggaraan Ujian Nasional. Beberapa diantaranya seperti
makelar jawaban, jual beli soal, pencurian soal, unjuk rasa, kasus-kasus bunuh
diri, frustai, dan dampak psikologis terkait siswa atau siswi yang tidak lulus
dan lain-lain.
Penyelenggaraan Ujian Nasional menjadi momok menakutkan bagi siswa atau
siswi kelas tiga SMP maupun SMA. Beban yang dipikul pelajar jenjang pendidikan
pada kelas tiga ini sangat berat. Untuk mencapainya, mereka harus belajar,
mengikuti les tambahan, bahkan kursus private. Ini bagi mereka yang mampu
membayar. Bagaimana dengan yang tidak mampu? Kesibukan menyiapkan diri
menghadapi Ujian Nasional ini menyebabkan siswa atau siswi kehilangan waktu
untuk istirahat dan bersosialisasi dan keluarga maupun lingkungan sekitarnya
sehingga siswa atau siswi terkesan menjalani hidup yang tidak alamiah atau
wajar dan penuh tekanan ini tidak baik bagi perkembangan emosional siswa atau
siswi yang bersangkutan.
Selama ini belum ada formula yang efektif untuk menggantikan Ujian Nsional.
Pemerintah dituntut untuk menaikkan standar pendidikan. Cara pemerintah yang
dapat dilihat orang awam adalah dengan selalu menaikkan angka standar lulus.
Jika standar ini diterapkan terus bagaimana dengan sekolah di desa terpencil
yang guru cuma tiga orang untuk melayani tiga kelas? Bagaimana dengan sekolah
yang tidak memiliki sarana prasarana seperti laboratorium dan perpustakaan?
Apakah mereka mampu menjawab soal yang sama dengan anak-anak di Ibukota yang
jelas sekali perbedaannya? Tidak adanya pemerataan ini menyebabkan penerapan
Ujian Nasional tidak dapat meratakan kualitas pendidikan di Indonesia.
Ada seseorang yang merasa prihatin terhadap permasalahan Ujian Nasional
ini. Dan beliau mengusulkan sebuah metode yang diberi nama Nilai Akhir
Kumutatif. Inti dari metode ini adalah mengumpulkan nilai laporan pendidikan
selama tiga tahun untuk di jadikan nilai akhir kumulatif. Rekapitulasi nilai
siswa/siswi yang dihitung secara kumulatif lebih mewakili prestasi siswa/siswi
selama tiga tahun disbanding nilai ujian nasional yang hanya tiga hari.
Dengan menerapkan metode ini, peran guru yang beberapa waktu hilang
karena kekakuan dari Ujian Nasional akan kembali seperti sediakan. Perlu
diketahui, guru lebih mengenal siswa/siswinya disbanding dengan mesin pengolah
data UN.
Pemerintah dapat mengatur berapa standar Nilai Akhir Kumulatif yang
dibutuhkan sebagai syarat kelulusan siswa/siswi tidak akan merasa kecewa jika
kerja kerasnya selama tiga tahun dinilai dengan prestasi belajar yang diperoleh
selama tiga tahun pula. Demikian juga dengan guru, mereka akan rela dan senang
melepaskan siswa/siswinya ke jejang yang lebih tinggi dengan penilaian akhir
seperti ini.
Beberapa keunggulan dari solusi ini:
1)
Pemerintah mengkaji ulang tulisan
ini untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif.
2)
Masalah makelar soal, jual beli
soal penipuan dan pencurian terkait UN, dan lain-lain akan dapat dihapuskan.
3)
Peran guru akan kembali seperti
biasa seperti sediakala, dan peran guru sangat sentral dalam memajukan standar
pendidikan.
4)
Nilai akhir kumulatif dapat
mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama yang bersangkutan menempuh jejang
pendidikan. Demikian juga, metode ini mewakili kinerja guru selama mereka
mengajar.
5)
Dampak psikologis bagi siswa/siswi
guru maupun orang tua akan berkurang. Siswa/siswi tidak sertakan dan memiliki
waktu untuk bersosialisasi dengan sekelililingnya.
Demikian solusi yang ditawarkan oleh seorang sumber. Perlu diadakan
pengkajian lebih lanjut guna untuk mencari dan menemukan solusi yang tepat guna
penyelesaian masalah UN ini.
Kesimpulan
Dengan mempertimbangkan apa yang telah saya kemukakan di depan, baik
ditinjau dari tujuan beserta permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan, saya
berpendapat bahwa sebaiknya ujian nasional tetap dilaksanakan sebab persiapan-persiapan
kea rah ini pasti sudah dilakukan baik oleh pemerintah, guru, hanya mengubah
kebijakan bahwa ujian nasional tidak dijadikan lagi sebagai satu-satunya
standar kelulusan bagi peserta didik.
Ada baiknya pemerintah bersama masyarakat bermusyawarah, bersama-sama
mencari solusi dan jalan yang terbaik yang tentunya tidak merugikan pihak
manapun guna menyelesaikan masalah ujian nasional tersebut.
Demikian kiranya yang dapat saya sampaikan dalam makalah ini. Semoga bisa
bermanfaat bagi kita semua. Sungguh kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan
kekurangan semata karena kelemahan saya.
No comments:
Post a Comment