Kuliah Esensi Al-Qur’an
A.
Pendahuluan
Islam
kenyataan dalam era global ini sebagai agama yang termaginlakan, tertindas dan
terampas hak-haknya. Hal itu merupakan
pemicu bagi agamawan-amawan yang mempunyai garah keberagamaan yang tinggi
timbul rasa ingin mengembalikan kejayaan Islam yang pernah diraih pada beberapa
abad yang lalu dengan menegakkan syariat-syariat Islam satunya adalah berjihad,
mereka melancarkan serangan-serangan pada kekufuran, syirik tanpa pandang bulu.
Namun kadang mereka tidak menghiraukan bahwa yang menjadi sasaran dari aksi
jihatnya terdapat orang-orang yang tidak berdosa, baik dari kalangan anak-anak
atau dari kalangan sekeyakinan.
Aksi
jihat yang dilakukan oleh sebagaian umat Islam menambah corengan hitam kepada
pada agama Islam sebagai “agama teroris”, mereka melaksanakan apa yang diperintahkan
dalam Al-Qur’an yaitu untuk memerangi segala kekufuran dan kesyirikan di muka
bumi ini. Akan tetapi jikan apa yang didapat dari hasil berjihad memerangi
kekufuran dan kemusyrikan agama Islam di cap sebagan agama teroris hal itu
perlu dikaji kembali sampai dimanakah umat islam memaknai jihat di jalan Allah.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian Jihad
Dalam
terminologi syar`i kata jihad mempunyai beberapa makna Suatu usaha optimal
untuk memerangi orang-orang kafir. Para fuqaha mengungkapkannya dengan defenisi
yang lebih rinci, yaitu: suatu usaha seorang muslim memerangi orang kafir yang
tidak terikat suatu perjanjiansetelah mendakwahinya untuk memeluk agama Islam,
tetapi orang tersebut menolaknya, demi menegakkan kalimat Allah. Ini makna umum
dari kata jihad dalam terminologi syar`i. Bila kata jihad dimaksudkan untuk
makna selain dari makna diatas biasanya diiringi dengan sebuah kata lain
sehingga konteks dari kalimat tersebut mengindikasikan makna yang dituju dari
kata jihad tersebut, ini berarti setiap kita menemukan kata jihad dalam
Al-Qur`an dan sunnah konotasinya adalah memerangi orang kafir dengan senjata.
Usaha
optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka mentaati Allah atau lebih
dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna kata jihad dalam sabda
Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam
Ketika seorang pemuda meminta izin
beliau untuk berjihad dan beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu
asih hidup?", ia menjawab," Ya", beliau bersabda,"
optimalkanlahbaktimu terhadap mereka. H.R.Bukhari.
Islam
menegaskan, jihad selain merupakan
salah satu inti ajaran Islam,
juga tidak bisa disimplifikasi sebagai sinonim kata qital dan harb (perang).
Sementara perang selalu merujuk kepada pertahanan diri dan perlawanan yang bersifat
tindakan bersifat fisik, jihad memiliki makna yang kaya nuansa. Demikian pula,
sementara qital sebagai terma keagamaan baru muncul di periode Medinah,
jihad telah menjadi dasar teologis sejak periode Mekkah.
Dari
tiga puluh enam ayat al-Quran yang mengandung (sekitar) tiga puluh sembilan
kata j-h-d dengan segala derivasinya, tidak lebih sepuluh ayat yang terkait
dengan perang. Selebihnya kata tersebut merujuk kepada segala aktivitas lahir
dan batin, serta upaya intens dalam rangka menghadirkan kehendak Allah di muka
bumi ini, yang pada dasarnya merupakan pengembangan nilai-nilai moralitas
luhur, mulai penegakan keadilan hingga kedamaian dan kesejahteraan umat manusia
dalam kehidupan ini. Pemaknaan ini didukung sepenuhnya oleh Hadits Rasulullah
semisal dalam Musnad Imam Ahmad yang menegaskan bahwa mujahid adalah orang yang
bersungguh-sungguh melawan subyektivitas kedirian demi untuk menaati ajaran
Allah.
Dalam
ungkapan lain, jihad adalah kesungguhan hati untuk mengerahkan segala kemampuan
untuk membumikan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan. Pada tataran
ini, beribadah dengan tulus dan penuh kesungguhan serta interaksi sesama
manusia yang dijalani dengan jujur dan tulus merupakan jihad.
2.
Tujuan Jihad
Dalam
sejarah Islam awal, jihad merupakan salah satu dari dua realitas utama Islam,
dan realitas lainnya adalah al-Quran. Sementara Kitab Suci ini (dan Sunnah
Rasul, pen.) sebagai sumber keimanan, maka jihad merupakan manifestasi dari
keimanan.
Dalam
perspektif al-Quran dan Sunnah, perwujudannya sangat beragam dan berspektrum
sangat luas menjangkau segala aktivitas selama dasar dan tujuannya berada dalam
bingkai ajaran dan moralitas luhur agama.
Makna
jihad menjadikan ajaran ini sebagai kekuatan simbol bagi ketekunan, kerja keras
dan keberhasilan dalam sejarah Islam. Jihad merupakan ajaran yang dapat
mengantarkan umat Islam sebagai khalifah Allah yang mengisi kehidupan dengan
peradaban agung dalam berbagai aspeknya. Peradaban Islam dari saat ke saat
adalah konkretisasi darijihad. Dari jihad semacam itu, umat Islam menggapai
puncak prestasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan –baik aqli maupun naqli –,
sekaligus
Pembumiannya
dalam kehidupan sepanjang sejarah yang dilalui. Namun dalam sejarah itu pula,
jihad mengalami reduksi yang awalnya terkait erat dengan kondisi tertentu yang
menuntut penekanan jihad padabentuk pertahanan dan pembelaan diri. Hal ini
berhubungan dengan keadaan di masa sebelum hingga kedatangan Islam, di mana
tanah Arab berada dalam state of war yang sejatinya juga merupakan
karakteristik umum dunia sebelum abad modern. Kondisi semacam itu menjadikan
tiap-tiap komunitas harus terlibat dalam peperangan untuk melindungi dan
menyelamatkan diri agar tidak diserang terlebih dulu oleh kelompok lain. Saat
kedatangan Islam, fenomena kehidupan semacam itu terus berlangsung menjadi
bagian kehidupan umat. Dengan demikian, ketika Rasulullah dan umat Islam hijrah
ke Madinah, dan mereka diizini untuk melakukan perlawanan terhadap kaum politeis,
jihad dititikberatkan pada upaya mempertahankan diri dari ancaman dan serangan
mereka yang terus membayang-bayangi umat Islam dari saat ke saat. Pada sisi
ini, perlawanan Muslim awal itu tidak terlepas dari ayat-ayat qital atau pedang
yang turun saat itu.
Menyikapi
ayat pedang yang terdapat di antaranya dalam surat al-Hajj 39 dan surat
al-Baqarah 190-194 itu, para ulama Sunni dan Syiah nyaris sepakat, jihad (yang
berhubungan dengan qital, pen) diberlakukan untuk mempertahankan teritorial,
kehidupan, dan properti. Jihad-qital dibolehkan untuk melawan invasi atau ancaman,
dan diperlukan untuk menjamin kebebasan dalam dakwah Islam. Mereka juga sepakat
bahwa jihad-qital harus didasarkan pada intensi yang tulus dengan tujuan
semata-mata mendekatkan diri dan mengharap kerelaan Allah, serta serangannya
tidak boleh mengarah kepada penduduk sipil. Konkretnya, dalam prespektif ulama moralitas
luhur harus menjadi dasar dalam jihad, mulai dari awal hingga akhir, mulai dari
niat, tujuan, hingga pelaksanaannya.
Pada
saat yang sama mereka berbeda pendapat mengenai hubungan ayat-ayat pedang
tersebut dengan ayat-ayat lain yang menjelaskan signifikansi kesabaran dan
sejenisnya yang turun sebelum itu. Sebagian ulama menjelaskan, ayat-ayat pedang
tersebut menaskh (menghapus) ayat-ayat yang menyerukan kesabaran, kepemaafan,
dan seumpamanya sehingga ayat-ayat tersebut tidak berlaku lagi. Pendapat ini
dibantah ulama lainnya dengan argumentasi bahwa ayat yang mendorong umat Islam
untuk bersikap sabar –semisal ayat 109 al-Baqarah merupakan ayat muhkam yang
tidakdapat dimansukh. Dalam konteks itu al-Jabiri menegaskan, ayat 106
al-Baqarah tentang nasikh-mansukh yang sering dijadikan dasar bagi ulama untuk
menaskh ayat yang menyerukan kesabaran dan kepemaafaan itu sejatinya tidak
bermakna naskh. Justru ayat-ayat qital dalam perspektif al-Baqarah 106 melalui
ungkapan nunsiha yang berarti mengakhirkan menunjukkan bahwa perintah qital
merupakan kewajiban yang pelaksanaannya diakhirkan setelah umat Islam memiliki
kemampuan untuk melawan serangan kaum politeisyang menyerang umat Islam. Dengan
demikian, kendati qital mendapat legitimasi, ayat-ayat mengenai keharusan umat
Islam untuk berpegang pada etika-moral luhur, dan jihad dalam makna luas, tetap
berlaku. Bahkan melalui pengaitan qital dengan jihad, umat Islam dituntut untuk
tetap berpegang teguh dengan keluhuran akhlak kendati saat melakukan perlawanan
yang bersifat fisik.
C.
Penutup
Pada dasarnya
semua orang melakukan jihat adalah bertujuan untuk menuju jalan yang di ridloi
Allah SAW, namun kadang ada sesuatu yang dilupakan yaitu sesuatu yang baik mennurut
kita belum tentu baik murut Allah dan bagi sesame umat-Nya. Memaknai Al-Qur’an
hanya dari segi tekstualitasnya dapat kadang tidak cocok ketika diterapkan
dalam kehdiupan politik, social budaya bahkan agama. Maka dari itu dalam
memaknai kitabullah harus di kaji dari sisi tekstulalias, karena dengan hal
tersebut akan dapat diketahui situasi dan kondisi dimana akan diterapkan atau
ditetapkan hokum sesuai dengan kultur atau budaya yang dimiliki suatu daerah.
Jihat dengan
mengangkat senjata pada era globalisasi ini di pandang kurang relevan dengan
kondisi saat ini, karana masyarakat dunia pada era sekarang lebih beradab
dibanding pada jaman jahiliyah (kebodohan). Jihad yang lebih utama dilakukan
adalah jihad memerangi hawa nafsu, sebab hawa hafsu syetan lah yang menjadi
penyebab terganggunya stabilitas baik nasional maupaun internasional.
Pereprangan baik antar Negara, suku bangsa, atau antar agama adalah timbul dari
pribadi masing-masing yang meluas menjadi pertikaian mengglobal.
“Menurut penulis jihad dapat bermakna
melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena Allah”
D.
Daftar
Pustaka
Ahmad Syantut
Khalid, Al-Muslimun wa At-Tarbiyah
Al-‘Askariyah, Era Intermedia. Laweyan. 2006.
Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-Pesan
Universal Islam untuk Kemanusiaan, Terjemahan (Bandung: Mizan, 2003)